Monday, March 11, 2024

Guru Agama Islam: Persyaratan, Ketentuan, dan Peran yang Ditagih darinya

Oleh: Syamsul Kurniawan

GURU adalah profil yang mengabdi pada dunia pendidikan. Hal ini pun harus disadari oleh seorang guru agama Islam. Namun tidak sembarang, bisa menjadi guru agama Islam. Untuk menjadi guru agama Islam, terdapat berbagai syarat yang telah ditetapkan. Beberapa persyaratan tersebut sebagai berikut: Satu, guru wajib memiliki kualifikasi akademik. Kualifikasi akademik dimaksud adalah seorang guru harus diperoleh melalui pendidikan tinggi (minimal S1 atau diploma 4). Dua, guru wajib memiliki kompetensi. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Adapun yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik, yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam; serta yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Tiga, guru wajib memiliki sertifikat pendidik. Keharusan guru memiliki sertifikat pendidik merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Empat, guru harus sehat jasmani dan Rohani. Faktor kesehatan secara fisik maupun kejiwaan/mental guru merupakan faktor penentu dalam melaksanakan proses pembelajaran; dan terakhir yang kelima, guru harus memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Beririsan dengan ini, Djohar menyebut bahwa seorang guru mestinya kompeten mengajar pada mata pelajaran yang diamanahkan kepadanya untuk diajarkan, professional dalam menjalankan kewajibannya, terampil dalam melaksanakan tugas kesehariannya, dan kompeten baik dari sisi professional, pedagogik, personal maupun sosial.(Djohar, 2006, hlm. 11–12) Guru agama Islam pun demikian. Tanpa memiliki kompetensi yang baik dalam soalan ini, tidak mungkin guru memiliki kinerja yang baik.(Sulthon, 2015, hlm. 129)

Kecuali persyaratan di atas, seorang guru agama Islam dalam menjalankan aktifitasnya mesti didasarkan pada ketulusan. Dengan ketulusan, seorang guru akan betul-betul peduli – tanpa rekayasa – sungguh-sungguh mendidik untuk membangun karakter dari siswa-siswanya. Dengan ketulusan pula, sebagai guru agama Islam ia tidak akan mengeluh terhadap keharusan menyiapkan dan berinovasi dalam hal strategi dan metode dalam rangka optimalisasi hasil pembelajaran siswa-siswanya pada mata pelajaran agama Islam.

Guru adalah “pendidik professional” dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan menengah.(Sulthon, 2015, hlm. 115–116) Guru adalah profil yang secara sadar membantu seorang individu untuk berkembang pengetahuan, pengalaman, dan sikapnya melalui proses yang disebut pendidikan. (Uno, 2007, hlm. 15)

Berdasarkan ini, guru mempunyai tanggung jawab menjadikan siswa-siswanya berpengetahuan/ berwawasan dan bermoral/berperilaku positif sejalan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Dalam konteks membekali siswa dengan pengetahuan dan pengalaman terhadap kebutuhan inilah, seorang guru selayaknya bisa bersikap tulus untuk mengayomi dan memperlakukan siswa-siswinya dengan baik dengan penuh kesabaran. Sebab banyak dari guru yang hanya memindahkan pengetahuannya kepada siswa-siswanya, sementara tidak begitu memperhatikan pentingnya menanamkan nilai-nilai dan membangun karakter. Betul bahwa salah satu tugas dari guru adalah mengajar, tetapi dalam proses pembelajaran tidak selayaknya hanya fokus pada kecerdasan kognitif siswa, melainkan juga penting memperhatikan sisi afektif dari siswa sehingga diharapkan siswa-siswa yang belajar bisa memiliki kepekaan budi dan hati nurani.(Sulthon, 2015, hlm. 117) Atau dengan kata lain, kecuali memiliki kecerdasan kognitif juga memiliki kecerdasan sosial. Guru agama Islam pun selayaknya demikian. Tekanannya tidak hanya pada upaya mencerdaskan siswa secara kognitif (yang berarti siswa tahu dan paham akan agama Islam yang ia pelajari) tetapi juga memiliki kecerdasan sosial (mampu mengamalkannya dalam ranah sosial-kemasyarakatan).

Peran Fungsional Guru Agama Islam yang Ditagih Darinya

Setelah memiliki persyaratan sebagai guru, sadar terhadap tugasnya sebagai guru, seorang guru agama Islam selayaknya mampu memerankan secara fungsional sekurang-kurangnya dua belas peran sebagai berikut: satu, sebagai manajer pendidikan atau pengorganisasian kurikulum; dua, sebagai fasilitator pendidikan; tiga, pelaksana pendidikan; empat, pembimbing dan supervisor; lima, penegak disiplin; enam, menjadi model perilaku yang akan ditiru siswa; tujuh, sebagai konselor; delapan, menjadi penilai; Sembilan, petugas tata usaha tentang administrasi kelas yang diajarnya; sepuluh, menjadi komunikator dengan orang tua siswa dan masyarakat; sebelas, sebagai pengajar untuk meningkatkan profesi secara berkelanjutan; dan dua belas, menjadi anggota dari organisasi profesi pendidikan. (Pidarta, 1997, hlm. 279)

Sebagai manajer pendidikan atau pengorganisir kurikulum, seorang guru agama Islam melakukan pengelolaan pembelajaran melalui penerapan kurikulum. Sebagai guru agama Islam tentu ia memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan materi pelajaran dan bertindak sejalan dengan keilmuannya, namun juga harus sesuai dengan pedoman kurikulum meskipun dituntut kemampuannya dalam mengembangkannya. Sebagai fasilitator pendidikan, seorang guru agama Islam akan melakukan perubahan-perubahan dalam pembelajaran yang dilakukan oleh siswa. Sebagai pelaksana pendidikan, guru agama Islam sama dengan guru-guru lainnya bertindak sebagai agen pelaksana pembelajaran, administrasi pembelajaran, dan mengevaluasi hasil belajar siswa sebagai wujud nyata keberhasilan pelaksanaan pembelajaran pada mata pelajaran agama Islam. Sebagai pembimbing atau supervisor, guru juga mesti bisa memberikan bimbingan dan pengawasan pada siswa sehingga perkembangan siswa bisa berkembang baik. Sebagai penegak disiplin, guru agama Islam perlu menegakkan disiplin dan bisa diteladani oleh siswa-siswinya dalam hal bersikap disiplin. Guru agama Islam juga selayaknya bisa menjadi model yang diteladani oleh siswa-siswinya. Sebagai konselor, guru agama Islam mesti juga mampu mengatasi masalah-masalah siswa terutama masalah-masalah yang menghambat optimalisasi hasil positif dalam pembelajaran agama Islam. Sebagai penilai, guru agama Islam dituntut mampu melakukan penilaian, terutama seberapa mampu siswa-siswinya menyerap pembelajaran yang ia berikan. Penilaian ini perlu dilakukan sebagai umpan-balik. Sebagai tata usaha, guru agama Islam maksudnya penting untuk mengadministrasikan semua bukti administratif pembelajaran, yang kemudian akan ia manfaatkan sebagai pelaporan pertanggung jawaban seputar tugas keguruan yang diamanahkan kepadanya. Sebagai komunikator dengan orang tua dan masyarakat, maksudnya bahwa guru agama Islam mesti bersedia memberikan informasi atas kemajuan dan keberhasilan selama pembelajaran dalam bentuk laporan hasil belajar yang ia sampaikan pada wali kelas, dan wali kelas membubuhkannya ke rapor yang diterima oleh orangtua/wali siswa. Hal ini juga sebagai bentuk tanggung jawab sekolah kepada masyarakat sebagai stakeholder. Guru agama Islam juga mesti berperan terhadap upaya peningkatan kualitas kompetensinya, sebab kualitas kompetensinya ini jelas baik langsung atau tidak langsung akan berdampak pada materi dan optimalisasi pembelajaran yang ia berikan. Terakhir, guru agama Islam sangat penting bergabung ke dalam organisasi profesi. Hal ini karena organisasi ini akan melindungi hak-haknya sebagai guru.   

Dalam pendidikan agama Islam, guru agama Islam juga menjadi ujung tombak keberhasilan pendidikan agama Islam. Sebab, tanpa guru agama Islam takkan ada pembelajaran agama Islam yang dapat berlangsung. Sebab itu, selayaknya persyaratan, ketentuan dan peranan di atas bisa jadi bahan perhatian, khususnya oleh calon-calon guru agama Islam dan/atau mereka yang saat ini telah berprofesi sebagai guru agama Islam.***  

Bahan Bacaan

Djohar. (2006). Guru, Pendidikan dan Pembinaannya: Penerapannya dalam Pendidikan dan Undang-Undang Guru. Yogyakarta: Gravika Indah.

Pidarta, M. (1997). Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Sulthon. (2015). Konsep Guru yang Menginspirasi dan Demokratif. Elementary, 3(1), 115–134.

Uno, H. B. (2007). Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia (Cet. 1). Jakarta: Bumi Aksara.

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...