Sunday, December 5, 2021

ASN, Kasus Korupsi, dan Ironi Sumpah Jabatan yang Diucapkan

Oleh: Syamsul Kurniawan

Korupsi masih menjadi potret buram di negara yang menjadikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dari dasar negaranya. Dari tahun 2004 hingga 2021, berdasarkan sumber dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada 1.146 kasus korupsi. Bukan main banyaknya!.

Potret buram ini melahirkan suatu pertanyaan, “apakah bagi bangsa ini, sila pertama dari Pancasila ini tidak dijadikan junjungan?”. “Jika dijadikan junjungan, tidakkah mestinya sikap dan perilaku warga negara Indonesia bisa religius, jujur dan anti korupsi?”. Ironinya, pelaku tindak pidana korupsi terbanyak berasal dari kalangan Aparatur Sipil Negera (ASN) di Pemerintah Daerah. Setidaknya, sumber dari pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang tahun 2019 menunjukkan kecenderungan demikian.

ASN yang seharusnya bertugas melayani, mengayomi, melindungi dan menyejahterakan rakyat serta menjadi figur teladan bagi mereka dari kasus ini, kesannya malah memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan pribadi serta mengabaikan tanggung-jawab. Mereka menumpuk harta kekayaan dengan menyalahgunakan fasilitas jabatan serta menghambur-hamburkan aset kekayaan negara untuk keuntungan pribadi. Apakah ASN yang terjerat kasus tersebut ini tidak beragama? Tentu saja, jika ditanya ke mereka soal ini, mereka akan “mengaku” beragama. Tentu saja antara pengakuan dengan fakta sosialnya bisa jadi sesuatu yang berbeda. Kita sependapat semua, bahwa sifat dan perilaku yang korup, jelas sangat jauh dari cerminan seseorang yang memiliki agama.

***

Sebagian di antara ASN yang terjerat kasus korupsi malah adalah berstatus pejabat, yang jelas-jelas untuk menduduki suatu jabatan mereka bersumpah atas nama Tuhan mereka, untuk tidak bersikap dan berperilaku yang buruk. Secara yuridis mengucapkan sumpah jabatan sebelum menjadi pejabat adalah suatu keharusan bagi pejabat atau pegawai negeri. Dalam buku Panduan Sumpah Keagamaan yang diterbitkan oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI (2013: 1), dijelaskan bahwa sumpah menjadi suatu cara untuk memperkuat pengakuan dan pernyataan, menjadi sesuatu hal yang melembaga dalam tata cara pengangkatan pejabat dan pengangkatan ASN dalam pemerintahan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat antara lain pada pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1959, pasal 29 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970, pasal 26 Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1975.

 

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden RI Nomor 11 tahun 1959 menyatakan: “ASN yang bertanggung jawab, menurut ketentuan menteri yang memimpin pegawai itu, dan anggota angkatan perang yang memangku jabatan, menurut ketentuan menteri yang memimpin departemen pertanahan, harus bersumpah menurut peraturan ini pada waktu menerima jabatan atau pengangkatannya.”

 

Kemudian Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 yang menyatakan bahwa sebelum melakukan jabatannya, hakim, panitera, panitera pengganti dan juru sita untuk masing-masing lingkungan peradilan harus bersumpah dan berjanji menurut agamanya. Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 menyatakan bahwa setiap calon ASN pada saat pengangkatannya menjadi ASN wajib mengangkat sumpah/ janji pegawai negeri sipil menurt agama atau kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian pasal 27 Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 menyatakan pula bahwa setiap ASN yang diangkat untuk memangku jabatan tertentu wajib mengangkat sumpah/ janji jabatan negeri.

 

Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1975 mengatur secara khusus tentang pelaksanaan sumpah/ janji ASN sebagai pengaturan lebih lanjut dari pasal 26 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974. Adapun peraturan khusus tentang pelaksanaan sumpah/ janji jabatan PNS sampai saat ini belum ada, sehingga Peraturan Presiden Nomor 11 tahun 1959 yang mengatur tentang sumpah jabatan pegawai negeri sipil dan anggota angkatan perang berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 sampai sekarang masih berlaku karena belum ada penggantinya.

 

Pada tanggal 2 September 1976 dikeluarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 50 tahun 1976 tentang pelaksanaan PP Nomor 21 tahun 1975 tentang pengambilan sumpah/ janji ASN. Peraturan ini khusus mengatur tentang pengambilan sumpah/ janji ASN, selanjutnya pada tahun 1976 mengatur tentang sumpah jabatan dan ASN. Peraturan ini hanya berlaku di lingkungan Kementerian Agama.

 

Bagi para ASN apalagi yang dengan status “menjabat”, dengan demikian ada ketentuan hukumnya, bahwa sumpah jabatan memang menjadi sebuah keharusan. Pasalnya, dengan ilmu dan keahliannya, mereka memiliki hak dan kewajiban yang tidak dipunyai oleh warga negara biasa, atau setidaknya mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara biasa, tetapi dalam taraf yang berbeda.

Berdasarkan sumpah ini, korupsi adalah salah satu di antara sikap dan perilaku yang harus ASN jauhi saat mendapatkan Amanah berupa jabatan di suatu instansi. Tetapi jauh panggang dari api, sumpah ini seolah-olah tidak bisa dijadikan pegangan mereka bisa konsisten terhadap itu.

***

Dalam Islam, mengucapkan sumpah, apalagi atas nama “Allah Swt”, tentu bukanlah perkara main-main. Sebab seorang muslim yang mengucapkan dan menanda-tangani sumpah dengan menyebut nama Allah, sama saja dengan menuliskan suatu perjanjian kepada Allah Swt, Tuhannya, di mana para malaikat menyaksikan serta mencatat semua yang terucap, serta ucapan tersebut selayaknya akan dimintai pertanggung jawabannya kelak. Dalam Qs Yaasin (36) ayat 65, Allah Swt berfirman, “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.”

Tafsiran ayat tersebut menurut Wahbah Zuhaili (2007), bahwa di akhirat nanti, Allah Swt akan membuat mulut orang-orang sehingga mereka seperti orang yang bisu, dan tidak mampu berkata-kata. Kemudian, Allah Swt menyuruh seluruh anggota badan dari orang tersebut untuk bersaksi. Dengan kata lain, pada waktu itu, tidak ada kebohongan, dan apapun yang dilakukan seseorang semasa hidupnya, termasuk korupsi, akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt, Tuhannya kelak. Apalagi mereka yang bersumpah atas nama Allah Swt, dan bermain-main dengan sumpahnya, jelas akan mempertanggung jawabkannya.

Dalam Qs Ali ‘Imran (03) ayat 77, Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.”


Tidak hanya Islam yang secara teologis mengecam mereka yang melanggar sumpah jabatannya untuk korup. Penulis yakin, agama yang lainpun secara teologis mempunyai ajaran yang sama tentang ini. Sehingga ada cukup alasan untuk mencurigai pejabat-pejabat ASN-ASN yang tersangkut kasus korupsi ini sebagai orang-orang yang beragama "sebatas di KTP" saja. Karena faktanya dalam sikap dan perilaku mereka yang korup, serta melanggar sumpah jabatan yang mereka ucapkan, jelas adalah sikap dan perilaku yang jauh dari agama.***

Tuesday, July 13, 2021

Social Stratification, Why Is It Formed?

By: Syamsul Kurniawan

The existence of humans as social beings in social life clearly cannot be separated from the possibility of social stratification. In fact, in religion, social stratification also occurs and even influences. The existence of belief in a place, for example, is difficult to deny that it often affects the social and cultural conditions that exist in the social environment, including also influencing the existing social stratification.

Robert M.Z Lawang explained that social stratification classifies people belonging to a specific social system into hierarchical layers based on power, privilege, or prestige qualifications. (Lawang 1985) Meanwhile, according to Pitirim A Sorokin, social stratification is the difference in population or society based on hierarchical (tiered) class layers. (Sorokin 1927)

Social stratification is a form of social practice, as a social practice during society. As understood, social stratification is generally measured from: first, wealth (Capital) such as one's ownership of property, high income, and the like; second, power; for example, someone who has great power and authority often occupies better social strata than those who do not; third, honor (nobility) such as nobility, habaib, and so on; fourth, science (sciences), an example of someone who has a particular position amid society because of his advantages in terms of science or education that he takes.

As a consequence of social practice, social stratification can be divided into: first, open social stratification, namely the attitude of citizens who have the opportunity to experience social mobility, move up to a higher social layer for those who have the ability and vice versa; and second, closed social stratification, namely the existence of limits on a person on the possibility of moving positions from one social layer to another and is permanent. A concrete example of the second is birth which determines one's caste, especially in feudal society.

In constructing everyday social practice, we can analyze social stratification based on Pierre Bourdieu's theory. In this connection, social stratification is a dialectical dynamic between 'exterior internalization' and 'interior externalization' (Jenkins 1992, 67). exists outside the social actor, while the interior is everything that is attached to the social actor. Thus, how social stratification is formed can be understood from both. In social practice, everything observed and experienced outside the social actor (interior) moves dynamically dialectically with the disclosure of everything internalized to become part of the self—social actors (interior).

Of course, social stratification exists in time and space. As a product of social practice, stratification cannot be understood outside the context of space and time, which Bourdieu calls 'tempo.' (Bourdieau 1997) The formation of this social stratification, due to the existence of this 'tempo,' obviously takes time and takes place in a particular space. Not immediately, or naturally. The reason is that adaptation will require time and place for specific areas to be practiced in a social system. The practice is often regulated and driven unconsciously or not fully conscious.

According to Bourdieu, the social actions that form social stratification in this realm are more likely to result from individual improvisation and the ability to play a role in social interaction. In social life, most agents (individuals or groups, Bourdieu often also calls them actors) tend to accept the social world as it is. Likewise, with the social stratification in their midst. Agents don't rethink why they have to do this and that, why this or that. The reason is that agents deal with their social world and become an integral part of their social world. In it, agents grow, learn and acquire a series of cultural practice competencies, including social roles and identities. These roles and social identities are formed and, at the same time, develop social stratification.

Thus, social stratification is related to what Bourdieu formulated with '(habitus x capital) + field = social practice. (Bourdieau, 1984)

 

Social stratification as habitus

Habitus in Bourdieu's theory is a system that is durable and transposable regarding what we accept, values, and how to act in the social world. Likewise, with social stratification. Habitus is a scheme obtained by the agent through dismantling the conditions faced by the agent and conditions faced by the agent through the internalization of external constraints and various possibilities. In this case, social stratification as habitus is a shared experience owned by the agent as a subject, even though it has its uniqueness.

Social stratification as habitus includes cognitive and affective dimensions, which are manifested in the disposition system. Thus, social stratification is also a set of dispositions. 'Disposition' in this case is: first, the result of a governing action; second, the way to be; and third, intention or inclination. (Bourdieau, 1997)

Decision-making by agents can be related to: first, the reflection of what the habitus does; second, the choice of situation, or third, is an illusion, namely the unconscious doing something because he is trained and practiced continuously about his habitus. In other words, a person's attitude, tendency to perceive, feel, act, and think about the social stratification around them is nothing but the result that is internalized thanks to the person's objective conditions.

In short, habitus functions as a framework that gives birth to and shapes a person's perceptions, representations, and actions (structuring structure) of the social stratification in their midst. Habitus in this context is a patterned rule, but humans do not have to be subject to specific regulations, and at the same time, have a focus on the goals and results of particular actions. However, goal-directedness does not necessarily have a conscious intention to achieve the goal without mastery of exceptional intelligence. In the context of the formation of social stratification during society, this is the case. (Bourdieau, 1984)

 

Social stratification occurs in a domain.

In Bourdieu's view, habitus underlies the field. So social stratification is also related to the domain. Moreover, it is difficult to deny how social stratification is closely related to systems and relationships (relationships) in a particular space and time. By digesting this realm, we can rationalize the social stratification that forms. Bourdieu said, 'to think in terms of field is to think relationally.' (Updated 2011)

Based on Bourdieu's logic, social stratification is in a field where it is impossible to separate this field from social space. Social space in this context is an integral arena, which contains a system of domains. The social space, according to Bourdieu, is also a place of power contestation. There is an effort to struggle for resources (Capital) and fight for access to power. The struggle is to obtain a position in the realm. What about the agent position? The place of an agent in the arena is highly dependent on the amount of ownership (volume) of capital it has, its composition, and changes in its size and design from time to time. (Bourdieau, 1984) In the field, reproduction or transformation occurs. (Webb, Schirato and Danaher 2002) In the context of the formation of social stratification, this is what happens.

 

Social Stratification Related to Capital

Bourdieu's capital is essentially social relations. Capital is a social energy that only exists and produces results in the realm of struggle where capital produces and reproduces. One of them is the social stratification that is formed.

Bourdieu mentions several types of capital at stake in the field: economic Capital, Social Capital, Cultural Capital, and symbolic Capital. (Ritzer 1996) Financial capital includes the means of production (machinery, land, labor), materials (income and goods), and money. The latter is the most visible, can be used for any purpose, and is usually passed down from one generation to the next. Social Capital is manifested through relationships and networks, which are helpful resources in determining and reproducing social positions. Then what is included in cultural capital is the overall intellectual qualifications produced formally and family heritage. This capital has, for example, diplomas, the knowledge obtained, cultural codes, ways of speaking, writing skills, manners of character, manners or manners, methods of getting along, and so on that play a role in determining reproducing social positions. At the same time, symbolic capital is understood not to be separated from symbolic power, namely power that makes it possible to get equivalent to what is obtained through physical and economic strength, thanks to the special effects of mobilization. This model can be a house in an inclusive settlement, an office located in a strategic trade center, a car with a driver, and so on. But it can also be in the form of clues that are not conspicuous.

Another example is the title listed on the business card, how to speak in front of subordinates, and so on that show the owner's status. These capitals, all of which are at stake and contested in the realm. These three capitals are very potential in forming social stratification.

As previously explained above, there are social stratifications that are open, and some are closed. Both are easy to understand because stratification is indeed formed due to contestation in the social sphere. "The field is also a field of struggles…" (the field is also an arena of struggle), Bordieau wrote. (Bourdieau and Wacquant, 1996). The structure of the realm guides and provides strategies for positional agents, individuals, or groups to maintain or increase positions in achieving social standing. In this regard, the formation of social stratification, the strategy of these agents depends on the position occupied and the capital they have in that realm. "The strength and form of the procedure depend on the place the agent occupies in the power relationship (rapport de force). (Bourdieau, 1993)

According to Bourdieu, two types of strategies are relevant to social stratification in society: first, the reproductive system. Agents design this strategy to maintain or increase capital towards the future. This strategy is a set of practices; the amount and composition of production capital become the primary benchmark. Even social stratification is designed for this reason; second, the return strategy (reconversion strategies). This strategy is concerned with the movements of agents in the social space, which then constructs social stratification. The social space in which agents move is structured in two dimensions: the total amount of structured capital and the formation of dominant and dominated types of money.

Apart from these two strategies, there are also other types of systems that can construct social stratification. In this context, according to Bourdieu, are possible, such as biological investment strategies, inheritance strategies, educational strategies, and symbolic investment strategies. Natural investment strategies are seen in efforts, for example, to control the number of offspring. It is done to ensure the inheritance of capital and facilitate the increase in social position. This strategy is also related to efforts to maintain health, such as food consumption choices, exercise, rest, recreation, and entertainment. The inheritance strategy serves to guarantee wealth, especially material. It is done because of the understanding that economic capital is relatively more decisive in power relations. Educational systems are directed towards the goal that social actors have the appropriate skills and are needed in the social structure to receive group inheritance or even improve their social position. At the same time, the economic and symbolic investment strategies are directed directly to struggles in the social sphere. Economic and symbolic investment strategies are required now about works in the social sphere. The financial investment strategy is directed at maintaining and increasing various types of capital. Investment in this domain is not only financial capital but also social capital. This strategy is carried out to perpetuate and build long-term and short-term social relationships. In maintaining eternity, social relationships are transformed into long-lasting obligations, such as the exchange of money, marriage, employment, provision of time, etc. Symbolic strategies are used to maintain or increase social recognition. This strategy aims to produce perceptions and judgments that support its uniqueness, for example, name inheritance. In addition to encouraging efforts to be respected, the inheritance of family names is also a significant element of symbolic capital.

Again, the use of strategy by agents is to maintain position (in social stratification), improve function, differentiate themselves, or acquire new posts in the realm. As explained, there will always be a social "battle" in the domain, where the constant who wins will be at the top of the pyramid of social stratification.***

 

REFERENCES

Bourdieau, Pierre. 1984. Distinction; A Social Critique of the Judgement of Taste. UK: Routledge & Kegan Paul LTd.

—. 1997. Outline of Theory of Practice. USA: Cambridge University Press.

—. 1993. The Field of Cultural Production; Essay on Art and Literature. Cambridge; UK: Polity Press.

Bourdieau, Pierre, and Loic J. Wacquant. 1996. An Innovation to Reflexive Sociology. Cambridge; UK: Polity Press.

Jenkins, Richard. 1992. Pierre Bourdieau. Newyork; USA: Routledge.

Lawang, Robert MZ. 1985. Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Karunika, Universitas Terbuka.

Mutahir, Arizal. 2011. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieau; Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Newyork; USA: McGraw Hill Companies inc.

Sorokin, Pitirim Aleksandrovich. 1927. Social Mobility. California: Harper & Brothers.

Webb, Jenn, Tony Schirato, and Geof Danaher. 2002. Understanding Bourdieau. London; UK: Sage Publication.

Tuesday, April 20, 2021

Kartini dan Budaya Literasi yang Dicitakannya

Oleh: Syamsul Kurniawan

Hari ini, di Indonesia, hampir dipastikan tidak ada yang tidak mengenal sosok Kartini. Seorang anak di bangku sekolah atau pernah mengenyam sekolah, paling tidak pernah menghapal lagu “ibu kita Kartini”. Atau, paling tidak di tiap tanggal 21 April – peringatan Hari Kartini – siswi-siswi dan guru-guru berkebaya mengenang sosok tersebut.

Lantas, sebenarnya apa yang membuat Kartini begitu menyejarah? Sebagian menjawab, karena ia pahlawan. Pertanyaannya, “apakah Kartini mengangkat senjata dan berperang dalam rangka mengusir penjajah di negeri ini?”. Tentu tidak. Kartini bukanlah Cut Nyak Dien, Cut Meutia atau pahlawan-pahlawan dari kalangan perempuan lainnya. Kartini tidak berjuang dengan cara seperti itu.

Semua kita tentu setuju, Kartini memperjuangkan emansipasi perempuan untuk Indonesia tanpa diskriminasi. Tidak dengan mengangkat senjata, tetapi melalui tulisan-tulisannya yang berupa surat, yang dikirimkan kepada sahabat penanya (orang Belanda). Perjuangan Kartini bukan pula sebatas memperjuangkan bagaimana anak-anak perempuan bisa bersekolah. Kartini juga mewariskan sebuah ajaran tentang pentingnya budaya literasi.

Habis Gelap Terbitlah Terang

“Habis Gelap Terbitlah Terang”, - demikian judul sebuah buku – yang sejatinya adalah kumpulan surat-surat Kartini pada sahabatnya. Lebih merupakan catatan harian seorang gadis muda dan sekaligus catatan sejarah Indonesia terutama Jawa pada masa itu. Apa yang membedakan remaja putri seusia Kartini pada saat sekarang?.

Remaja-remaja putri seusia Kartini pada hari ini tidak lagi menulis dan menerima surat.Bahkan, tidak lagi banyak remaja-remaja putri sekarang yang menulis curhatnya di buku catatan harian, karena lebih memilih menulis “status” atau “curhat” mereka di twitter, facebook, dan media sosial lainnya. Ini tidak salah. Zaman telah berubah. Teknologi juga semakin maju dari hari ke hari. Sulit, mengharapkan seseorang pada hari ini lebih memilih menulis dengan tinta dan kertas, sementara ada komputer atau internet yang lebih mempermudah mereka dalam mengetik atau menulis.

Tidak apa-apa!. Medianya bisa saja bebeda, karena yang terpenting adalah bagaimana semangat berbagi pengalaman, pengetahuan, bahkan perasaan itu dapat disampaikan melalui tulisan. Tentu itu tak dapat dilakukan dengan sekadar menulis satu atau setengah kalimat status. Mengapa tidak menuliskan 3 atau 4 alinea? Dalam setahun, status di twitter, facebook atau yang lain akan memiliki sebuah cerita panjang, yang mungkin bisa menjadi novel fiksi, renungan evaluasi akhir tahun, kumpulan kisah berhikmah, dan sebagainya. Sama seperti surat-surat Kartini yang menjelma menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Syukurlah kita tidak hidup di zaman, di mana buku-buku dibakar atau dibuang, seperti yang pernah dilakukan tentara mongol pada perpustakaan agung Baghdad pada masa lampau. Diceritakan oleh sejarah, tentang bagaimana Perpustakaan Agung Baghdad, yang menyimpan banyak sekali dokumen sejarah dan buku yang sangat berharga dalam berbagai bidang mulai dari pengobatan sampai astronomi, dihancurkan. Orang-orang yang selamat melaporkan bahwa air sungai Tigris menjadi hitam akibat tinta dari banyak sekali buku yang dibuang ke sungai itu dan juga menjadi merah akibat darah dari para ilmuwan dan filsuf yang dibunuh di sana. Dapatkah Anda membayangkan hidup pada masa ini?. Zaman ketika buku-buku dianggap sebagai racun dan selanjutnya dimusnahkan?.

Syukurlah kita tidak hidup di zaman ini. Hari ini, perayaan Kartini harusnya tidak hanya perayaan tentang emansipasi atau perayaan berkebaya sebagaimana yang nampak dalam perayaan Hari Kartini dari tahun ke tahun. Lebih dari itu, Hari Kartini adalah perayaan tentang literasi. Ketika menyadari hal ini, harusnya, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan literasi marak juga diadakan, seperti beramai-ramai mengunjungi perpustakaan, kompetisi menulis surat, lomba meresensi atau menulis, dan lain-lain.

Hari ini, gairah “baca tulis” seperti barang langka. Dalam beberapa kesempatan penulis bertanya pada beberapa mahasiswa penulis, - sebagian di antaranya perempuan – tidak banyak di antara mereka yang terbiasa membaca buku di tiap harinya. Berbanding terbalik dengan jumlah mereka yang menulis status, terutama di facebook dan bbm. Wajarlah, jika perpustakaan nampak sepi karena kurang peminat. Padahal, ada korelasi antara kemampuan menulis seseorang dengan minat seorang membaca. Karena, sulit bagi seseorang menuangkan gagasan-gagasannya sementara di otaknya tidak punya cukup wawasan. Wawasan ini tentu saja di antaranya bisa diperoleh dari kesediannya meluangkan waktu untuk membaca buku. Mengutip Hernowo, “Penulis yang baik, karena ia menjadi pembaca yang baik”.

Kartini sendiri adalah pembaca dan penulis yang baik. Melaluinya, bangsa ini – terutama kaum perempuan – harusnya dapat belajar tentang pentingnya membudayakan literasi. “Buku ibarat jendela dunia”, demikian pepatah mengatakan. Memang benar, perpindahan pengetahuan dari seorang ahli kepada orang awam adalah melalui buku. Seseorang yang banyak membaca berarti ilmu pengetahuan yang dimiliki juga akan semakin luas. Seorang guru yang malas membaca pengetahuan yang dimiliki juga akan sempit. Sebaliknya yang gemar membaca membuat mereka memiliki cakrawala berpikir yang luas. Tanpa buku, seseorang tidak akan dapat mengerti lebih jauh tentang ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah karya tulis, buku mampu menjaga pemikiran ataupun pesan-pesan tertentu hingga akhir hayat. 

Mengenang Kartini sambil merayakannya dengan membaca dan menulis tentu sangat positif. Semoga semakin banyak anak muda tergerak untuk menulis dan menerbitkan karya-karyanya, belajar dari seorang Kartini. Dengan begitu, penulis yakin, “Habis Gelap Terbitlah Terang” sebagaimana diandaikan Kartini betuk-betul terwujud.***

Thursday, January 21, 2021

Kekerasan Simbolik

 

Oleh: Syamsul Kurniawan (Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan di IAIN Pontianak)

Belum lama ini viral di media sosial video adu argumen antara orangtua siswi nonmuslim dan pihak sekolah tentang penggunaan kerudung atau jilbab. Orangtua siswi nonmuslim keberatan, karena merasa pihak sekolah telah merampas hak asasi anak mereka yang nonmuslim dengan aturan penggunaan kerudung atau jilbab ini. Sementara pihak sekolah, berdalih bahwa yang terjadi bukanlah pemaksaan melainkan himbauan. Kasus ini terjadi di sebuah SMK di Padang.

Hemat saya, kalaupun sifatnya himbauan tetap saja apa yang dihimbau itu keliru. Dalam istilahnya Pierre Bourdieu, apa yang tengah terjadi dalam kasus ini sedang menunjukkan apa yang ia sebut dengan ‘kekerasan simbolik’. Apalagi kekerasan simbolik ini dikabarkan terjadi sudah lama, bertahun-tahun di Padang. Seperti dimafhumi, kebijakan yang kontraproduktif dengan hak asasi manusia (HAM) ini telah dimulai sejak tahun 2004, yang kala itu walikota Padang dijabat oleh Fauzi Bahar. Dengan demikian, sejak 2004 pula penyebaran habitus itu telah terjadi di sekolah-sekolah di Padang. Namun, tentu saja apa yang terjadi ini hanyalah puncak gunung es dari banyak kasus yang terjadi di Indonesia. Di Bali, pada tahun 2014 mencuat kabar di mana para siswi dilarang mengenakan jilbab, dan menurut KOMNASHAM ini terjadi pada sejumlah besar sekolah yang ada di seluruh kabupaten dan kota di Bali.

***

Fenomena seperti ini akan terus hidup kerena dibungkus dalam bahasa yang halus (bujukan dan rayuan), seolah-olah semua baik adanya karena dibungkus oleh dalih ‘kearifan lokal’, namun dibalik itu selayaknya terdapat kekuasaan simbolik yang dimanfaatkan, dipaksakan oleh mereka yang memiliki kuasa.

Ini jelas tidak adil, karena habitus ini jelas akan punya pengaruh terhadap struktur mental atau kognitif yang kelak mempengaruhi individu siswa berhubungan dengan dunia sosialnya. Individu-individu siswa ini telah dibekali dengan serangkaian skema yang telah diinternalisasikan pada diri mereka yang kemudian gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosialnya.

Sangat mungkin dengan himbauan tersebut, individu-individu siswa muslim di sekolah akan merasa paling dominan, dan sebaliknya pula siswa non muslim merasa bahwa mereka terdiskriminasi. Dan ini membekas dalam struktur mental dan kognitif mereka. Hal ini karena habitus adalah struktur yang dibentuk dan membentuk. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh dunia sosial. Di satu sisi, habitus ‘menstrukturkan struktur’ artinya habitus adalah struktur yang menstrukturkan dunia sosial. Di sisi lain, dia adalah ‘struktur yang terstrukturkan’ artinya habitus adalah yang distrukturkan oleh dunia sosial. Ironinya, kekerasan simbolik inilah yang terstrukturkan pada sekolah di Padang.

Jadilah pendidikan sebagaimana dikatakan Bourdieu menjadi reproduksi sosial kelas, melalui penyebaran habitus kelas sosial dominan. Dalam kasus ini, identitas muslim pada nonmuslim. Reproduksi sosial kelas itu terjadi, ketika sekolah-sekolah masih menjadikan aturan kewajiban berjilbab bagi semua siswa tanpa terkecuali. Walaupun tidak diungkap secara langsung, tersirat secara simbolik, kelas dominasi diwakili oleh mereka yang muslim dan siswa yang nonmuslim menjadi kelas terdominasi. Dengan begitu, bukan tidak mungkin siswa-siswa nonmuslim tidak bisa melakukan transformasi ideologi kelas sosialnya yang terdominasi, jika diberikan habitus oleh sekolah berupa habitus kelas terdominasi (misalnya: terlalu patuh, pasrah pada nasib, dan tidak kritis pada aturan yang merugikan mereka).

Apa yang dikhawatirkan oleh James Banks tidak seharusnya terjadi di dunia pendidikan, yaitu suatu kondisi ketika siswa-siswa terperangkap pada dua sikap berikut: pertama, ethnic psychological capacity. Pada konteks ini individu siswa dari apa yang terkondisikan padanya membuatnya terperangkap dalam stereotif kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai budaya sendiri dan menganggap budaya lain inferior. Kedua, ethnic encapsulation, di mana siswa-siswa dalam kepribadian mereka terperangkap dalam kapsul kebudayaan sendiri terpisah dari budaya lain. Sikap ini biasanya mempunyai perkiraan bahwa hanya nilai-nilai budayanya sendiri yang paling baik dan paling tinggi, biasanya memiliki sikap curiga terhadap budaya atau kelompok lain.

Sementara yang harusnya terkondisikan di dunia pendidikan menurut Banks adalah: pertama, ethnic identities clarification, di mana individu-individu siswa mengembangkan sikapnya yang positif terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban positif kepada kepada budaya plus minus budaya lainnya. Pada level kedua, the ethnicity, yaitu masing-masing individu siswa menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap budaya yang datang dari etnis lain, seperti budayanya sendiri. Di level ketiga, multicultural ethnicity, di mana masing-masing individu siswa ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam menghayati kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya. Terakhir, yang paling ideal, adalah keempat, globalism, yaitu siswa-siswa dapat menerima berbagai jenis budaya dan kelompok lain yang berbeda dengan mereka, dapat bergaul dan mengembangkan keseimbangan keterikatannya terhadap budaya-budaya dan kelompok lainnya.

*** 

Apa yang terjadi di Padang sekarang atau di Bali pada tahun 2014 silam, hemat saya adalah potret buram dari dunia pendidikan. Aturan tentang penggunaan jilbab atau kerudung bagi semua siswa tanpa terkecuali, hemat saya perlu ditinjau ulang karena jelas-jelas aturan ini sudah bertentangan dengan cita-cita dari pendidikan nasional yang mendukung multikulturalisme. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, pada pasal 4 ayat 1, disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secarademokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa.***

Tuesday, January 19, 2021

Pengalaman Bertuhan dan Atmosfer Perdamaian

Oleh: Syamsul Kurniawan 

Agama-agama hakikatnya mengajarkan tentang pentingnya perdamaian. Sekalipun demikian, dalam faktanya ajaran penting tentang perdamaian dari semua agama ini tidaklah selalu merembes pada perilaku sebagian pemeluknya. Hubungan antar umat Kristiani dan umat Islam misalnya, seringkali diwarnai dengan stereotype, cuek, acuh tak acuh, ketakutan dan konflik. Fokus inilah yang menjadi perhatian dari Syafaatun Almirzanah melalui bukunya “Ketika Umat Beriman Mencipta Tuhan”, yang baru-baru ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

Padahal sebagaimana diungkap oleh Almirzanah pada bukunya, Kristiani dan Muslim mempunyai sumber-sumber teologi dan spiritual untuk membangun atmosfer perdamaian yang menekankan prinsip pluralitas agama dan toleransi dalam pengertian saling mengerti, memahami dan menghormati keyakinan satu dengan yang lain. Apalagi menurutnya baik Kristiani dan Muslim, keduanya berbagi iman, termasuk pengakuan dan penyembahan satu Tuhan, Pencipta, Pemelihara, dan Hakim; berbagi iman kepada rasul yang sama (Adam, Ibrahim, Musa dan Isa) dan berbagi dalam hal wahyu Tuhan (Torat dan Injil); iman terhadap tanggung jawab moral dan akuntabilitas, hari pengadilan akhir dan pahala serta siksa.

Kedua tradisi agama ini menegaskan monotesime etik atas dasar keimanan bahwa Tuhan mengharuskan makhluknya, yaitu manusia memegang teguh keadilan dan mampu mengendalikan amarah. Pada kedua tradisi agama, Tuhan dikenali sebagai Tuhan Yang Maha Kasih dan Sayang, Rahman dan Rahim, dan Tuhan Yang Maha Pengampun. Kedua agama ini memproklamasikan adanya Golden Rule yang ditemukan dalam sumber-sumber keagamaan. Pada Lukas 6: 31, disebutkan: “berbuatlah sebagaimana engkau ingin orang lain berbuat kepadamu.” Prinsip yang sama juga ditemukan pada Hadits Nabi, “Tak seorangpun dapat disebut beriman yang benar, kecuali dia menginginkan sesuatu untuk saudaranya apa yang ia inginkan untuk dirinya sendiri.” (HR. Muslim)

Perbedaan-perbedaan yang jelas ada, namun sulit dimungkiri bahwa ada titik temu dari semua agama, terutama jika kita menyelaminya dari sudut pengalaman mistik. Pada ranah ini, misalnya pengalaman mistik dua tokoh besar dalam sejarah Kristiani dan Muslim abad pertengahan, yaitu Master Eckhard (mistikus dan teolog Dominikan Jerman) dan Muhyi a-Din Ibn al-‘Arabi (guru sufi), menunjukkan bahwa, Tuhan dalam konsepsi teologi dan tuhan yang ada dalam doktrin adalah merupakan ciptaan umat beriman dan lembaga agama, digunakan sebagai konstruksi manusia dalam bahasanya yang terbatas, untuk menjelaskan sesuatu yang tidak terbatas. Sekalipun berguna, akan tetapi perlu dibedakan dengan “the god-head”, hakikat yang benar dari Tuhan yang melampaui cakupan bahasa manusia dan kategorisasi. Dengan memfokuskan kembali pada “the Oneness of God” (Tuhan yang Tunggal), yang membawa kita justru melampaui batas-batas bahasa dan formulasi manusia tentang doktrin, dan membiarkan “God be God” (Tuhan menjadi Tuhan) sehingga memungkinkan kita – sebagai pemeluk dari sebuah agama – melandasi pemahaman, penyembahan, dan ibadah kita tanpa terganggu dengan perbedaan dalam cara beragama. Visi dan pengalaman yang sama ini nanti akan memberi ikatan bersama yang akan membawa kepada apresiasi yang lebih besar terhadap iman kita maupun iman yang lain.

Keanekaragaman agama menurut Almirzanah merupakan realitas eksistensial; ia merupakan kenyataan dunia sosial kita sebagai makhluk yang bertuhan. Tentu saja, keragaman – dalam beragama, misalnya - ini bukan sesuatu yang muncul baru-baru ini. Keragaman sudah setua eksistensi manusia itu sendiri. Sama tuanya dengan pengalaman konflik dalam sejarah umat manusia di muka bumi. Di dalam salah satu bagian dari kisah Al-Qur‘an (Qs Al-Baqarah 2: 30), Tuhan mengemukakan maksudnya untuk “menciptakan khalifah untuk dunia” kepada malaikatnya. Malaikat keberatan dan menanyakan, “Apakah Engkau akan menciptakan di dunia (wujud lain yang) akan menyebar ketidakjujuran dan menumpahkan darah di dalamnya, sementara kami selalu bertasbih memuji-Mu dan menyucikan-Mu?.” Sekalipun Tuhan merespon, “Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui,” tetapi apa yang malaikat ragukan tentang penciptaan “khalifah untuk dunia” yang kelak diamanahkan pada manusia belakangan juga ternyata terbukti; sedikit banyak membenarkan keraguannya atas penciptaan manusia yang menjadi alamat terjadinya pertumpahan darah. Keturunan Adam, Qabil melakukan kejahatan pembunuhan pada saudaranya Habil, sebagai kejahatan pembunuhan pertama yang terekam dalam sejarah umat manusia. Kisah ini juga bisa ditemukan pada Genesis 4: 3-16 pada Bible.

Akan tetapi, apa sebenarnya maksud Tuhan, bahwa ada sisi yang tidak diketahui oleh malaikatnya tentang penciptaan manusia sebagai khalifah untuk dunia. Menurut dugaan Al-Mirzanah, hal tersebut adalah kapasitas kita umat beragama untuk mengetahui kebenaran, berpengetahuan dan berkasih sayang. Mungkin pula, hal tersebut berupa kapasitas kita umat beragama untuk bertaubat dari kejahatan yang dilakukan dan mengambil jalan perubahan. Tidakkah, di dalam kisah pada kitab suci diceritakan, bagaimana setelah membunuh saudaranya Habil, Qabil menyesali perbuatannya dan bertaubat. Melalui seekor burung, Qabil belajar tentang bagaimana mengubur mayat saudaranya.

Buku setebal 356 halaman ini, merupakan kajian serius atas pemikiran dua tokoh besar abad pertengahan dalam sejarah Kristiani dan Muslim, yaitu Master Eckhard dan Muhyi a-Din Ibn al-‘Arabi, di mana keduanya diidentifikasi oleh Almirzanah pada buku ini sebagai dua tokoh yang penting dihadirkan dalam perbincangan seputar isu-isu keanekaragaman dan dialog agama-agama. Setelah membaca pandangan dan pengalaman keduanya tentang Tuhan, pada gilirannya akan sampai pada simpulan bahwa ada perbedaan antara Tuhan sebagai “the Godhead” dengan “Tuhan yang diciptakan”, yang merupakan kunci untuk membangun atmosfer perdamaian, karena dengan begitu seseorang yang bertuhan akan mampu memandang keanekaragaman yang ada (the diversity of created order) dengan perspektif yang lebih luas dan tidak terbatas. Bukan, dengan perspektif “kacamata kuda” sebagaimana yang lazim dipraktikkan oleh sebagian umat beragama dari kalangan fundamentalis, yang melihat dan memperlakukan umat lainnya yang mereka anggap “beda” secara “bar-bar.” Sejalan dengan ini, Dorothee Soelle mengatakan, “Tuhan yang tidak melebihi Tuhan bukanlah Tuhan. Tuhan yang terkungkung dalam suatu bahasa, dibatasi oleh definisi tertentu, dikenal dengan nama tertentu yang telah menghasilkan bentuk kendali sosio-kultural tertentu, bukanlah Tuhan tetapi telah menjadi suatu ideologi agama.”

Buku berjudul “Ketika Umat Beriman Mencipta Tuhan” ini penting dibaca terutama bagi mahasiswa Fakultas Ushuluddin di lingkungan UIN/IAIN/STAIN, sekaligus sebagai bahan bacaan ilmiah bagi para peminat studi agama-agama dan aktifis dialog antar agama. Sangat scholarly, mendalam, tapi juga memikat. Sebuah sumbangan yang tak ternilai dalam membangun atmosfer perdamaian dalam beragama.***

Detail Buku:
Judul Buku : Ketika Umat Beriman Mencipta Tuhan
Penulis : Prof. Syafaatun Almirzanah, MA., M.Th., Ph.D., D.Min
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun Terbit : 2020

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...