Thursday, January 21, 2021

Kekerasan Simbolik

 

Oleh: Syamsul Kurniawan (Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan di IAIN Pontianak)

Belum lama ini viral di media sosial video adu argumen antara orangtua siswi nonmuslim dan pihak sekolah tentang penggunaan kerudung atau jilbab. Orangtua siswi nonmuslim keberatan, karena merasa pihak sekolah telah merampas hak asasi anak mereka yang nonmuslim dengan aturan penggunaan kerudung atau jilbab ini. Sementara pihak sekolah, berdalih bahwa yang terjadi bukanlah pemaksaan melainkan himbauan. Kasus ini terjadi di sebuah SMK di Padang.

Hemat saya, kalaupun sifatnya himbauan tetap saja apa yang dihimbau itu keliru. Dalam istilahnya Pierre Bourdieu, apa yang tengah terjadi dalam kasus ini sedang menunjukkan apa yang ia sebut dengan ‘kekerasan simbolik’. Apalagi kekerasan simbolik ini dikabarkan terjadi sudah lama, bertahun-tahun di Padang. Seperti dimafhumi, kebijakan yang kontraproduktif dengan hak asasi manusia (HAM) ini telah dimulai sejak tahun 2004, yang kala itu walikota Padang dijabat oleh Fauzi Bahar. Dengan demikian, sejak 2004 pula penyebaran habitus itu telah terjadi di sekolah-sekolah di Padang. Namun, tentu saja apa yang terjadi ini hanyalah puncak gunung es dari banyak kasus yang terjadi di Indonesia. Di Bali, pada tahun 2014 mencuat kabar di mana para siswi dilarang mengenakan jilbab, dan menurut KOMNASHAM ini terjadi pada sejumlah besar sekolah yang ada di seluruh kabupaten dan kota di Bali.

***

Fenomena seperti ini akan terus hidup kerena dibungkus dalam bahasa yang halus (bujukan dan rayuan), seolah-olah semua baik adanya karena dibungkus oleh dalih ‘kearifan lokal’, namun dibalik itu selayaknya terdapat kekuasaan simbolik yang dimanfaatkan, dipaksakan oleh mereka yang memiliki kuasa.

Ini jelas tidak adil, karena habitus ini jelas akan punya pengaruh terhadap struktur mental atau kognitif yang kelak mempengaruhi individu siswa berhubungan dengan dunia sosialnya. Individu-individu siswa ini telah dibekali dengan serangkaian skema yang telah diinternalisasikan pada diri mereka yang kemudian gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosialnya.

Sangat mungkin dengan himbauan tersebut, individu-individu siswa muslim di sekolah akan merasa paling dominan, dan sebaliknya pula siswa non muslim merasa bahwa mereka terdiskriminasi. Dan ini membekas dalam struktur mental dan kognitif mereka. Hal ini karena habitus adalah struktur yang dibentuk dan membentuk. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh dunia sosial. Di satu sisi, habitus ‘menstrukturkan struktur’ artinya habitus adalah struktur yang menstrukturkan dunia sosial. Di sisi lain, dia adalah ‘struktur yang terstrukturkan’ artinya habitus adalah yang distrukturkan oleh dunia sosial. Ironinya, kekerasan simbolik inilah yang terstrukturkan pada sekolah di Padang.

Jadilah pendidikan sebagaimana dikatakan Bourdieu menjadi reproduksi sosial kelas, melalui penyebaran habitus kelas sosial dominan. Dalam kasus ini, identitas muslim pada nonmuslim. Reproduksi sosial kelas itu terjadi, ketika sekolah-sekolah masih menjadikan aturan kewajiban berjilbab bagi semua siswa tanpa terkecuali. Walaupun tidak diungkap secara langsung, tersirat secara simbolik, kelas dominasi diwakili oleh mereka yang muslim dan siswa yang nonmuslim menjadi kelas terdominasi. Dengan begitu, bukan tidak mungkin siswa-siswa nonmuslim tidak bisa melakukan transformasi ideologi kelas sosialnya yang terdominasi, jika diberikan habitus oleh sekolah berupa habitus kelas terdominasi (misalnya: terlalu patuh, pasrah pada nasib, dan tidak kritis pada aturan yang merugikan mereka).

Apa yang dikhawatirkan oleh James Banks tidak seharusnya terjadi di dunia pendidikan, yaitu suatu kondisi ketika siswa-siswa terperangkap pada dua sikap berikut: pertama, ethnic psychological capacity. Pada konteks ini individu siswa dari apa yang terkondisikan padanya membuatnya terperangkap dalam stereotif kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai budaya sendiri dan menganggap budaya lain inferior. Kedua, ethnic encapsulation, di mana siswa-siswa dalam kepribadian mereka terperangkap dalam kapsul kebudayaan sendiri terpisah dari budaya lain. Sikap ini biasanya mempunyai perkiraan bahwa hanya nilai-nilai budayanya sendiri yang paling baik dan paling tinggi, biasanya memiliki sikap curiga terhadap budaya atau kelompok lain.

Sementara yang harusnya terkondisikan di dunia pendidikan menurut Banks adalah: pertama, ethnic identities clarification, di mana individu-individu siswa mengembangkan sikapnya yang positif terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban positif kepada kepada budaya plus minus budaya lainnya. Pada level kedua, the ethnicity, yaitu masing-masing individu siswa menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap budaya yang datang dari etnis lain, seperti budayanya sendiri. Di level ketiga, multicultural ethnicity, di mana masing-masing individu siswa ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam menghayati kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya. Terakhir, yang paling ideal, adalah keempat, globalism, yaitu siswa-siswa dapat menerima berbagai jenis budaya dan kelompok lain yang berbeda dengan mereka, dapat bergaul dan mengembangkan keseimbangan keterikatannya terhadap budaya-budaya dan kelompok lainnya.

*** 

Apa yang terjadi di Padang sekarang atau di Bali pada tahun 2014 silam, hemat saya adalah potret buram dari dunia pendidikan. Aturan tentang penggunaan jilbab atau kerudung bagi semua siswa tanpa terkecuali, hemat saya perlu ditinjau ulang karena jelas-jelas aturan ini sudah bertentangan dengan cita-cita dari pendidikan nasional yang mendukung multikulturalisme. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, pada pasal 4 ayat 1, disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secarademokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa.***

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...