Tuesday, January 19, 2021

Pengalaman Bertuhan dan Atmosfer Perdamaian

Oleh: Syamsul Kurniawan 

Agama-agama hakikatnya mengajarkan tentang pentingnya perdamaian. Sekalipun demikian, dalam faktanya ajaran penting tentang perdamaian dari semua agama ini tidaklah selalu merembes pada perilaku sebagian pemeluknya. Hubungan antar umat Kristiani dan umat Islam misalnya, seringkali diwarnai dengan stereotype, cuek, acuh tak acuh, ketakutan dan konflik. Fokus inilah yang menjadi perhatian dari Syafaatun Almirzanah melalui bukunya “Ketika Umat Beriman Mencipta Tuhan”, yang baru-baru ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

Padahal sebagaimana diungkap oleh Almirzanah pada bukunya, Kristiani dan Muslim mempunyai sumber-sumber teologi dan spiritual untuk membangun atmosfer perdamaian yang menekankan prinsip pluralitas agama dan toleransi dalam pengertian saling mengerti, memahami dan menghormati keyakinan satu dengan yang lain. Apalagi menurutnya baik Kristiani dan Muslim, keduanya berbagi iman, termasuk pengakuan dan penyembahan satu Tuhan, Pencipta, Pemelihara, dan Hakim; berbagi iman kepada rasul yang sama (Adam, Ibrahim, Musa dan Isa) dan berbagi dalam hal wahyu Tuhan (Torat dan Injil); iman terhadap tanggung jawab moral dan akuntabilitas, hari pengadilan akhir dan pahala serta siksa.

Kedua tradisi agama ini menegaskan monotesime etik atas dasar keimanan bahwa Tuhan mengharuskan makhluknya, yaitu manusia memegang teguh keadilan dan mampu mengendalikan amarah. Pada kedua tradisi agama, Tuhan dikenali sebagai Tuhan Yang Maha Kasih dan Sayang, Rahman dan Rahim, dan Tuhan Yang Maha Pengampun. Kedua agama ini memproklamasikan adanya Golden Rule yang ditemukan dalam sumber-sumber keagamaan. Pada Lukas 6: 31, disebutkan: “berbuatlah sebagaimana engkau ingin orang lain berbuat kepadamu.” Prinsip yang sama juga ditemukan pada Hadits Nabi, “Tak seorangpun dapat disebut beriman yang benar, kecuali dia menginginkan sesuatu untuk saudaranya apa yang ia inginkan untuk dirinya sendiri.” (HR. Muslim)

Perbedaan-perbedaan yang jelas ada, namun sulit dimungkiri bahwa ada titik temu dari semua agama, terutama jika kita menyelaminya dari sudut pengalaman mistik. Pada ranah ini, misalnya pengalaman mistik dua tokoh besar dalam sejarah Kristiani dan Muslim abad pertengahan, yaitu Master Eckhard (mistikus dan teolog Dominikan Jerman) dan Muhyi a-Din Ibn al-‘Arabi (guru sufi), menunjukkan bahwa, Tuhan dalam konsepsi teologi dan tuhan yang ada dalam doktrin adalah merupakan ciptaan umat beriman dan lembaga agama, digunakan sebagai konstruksi manusia dalam bahasanya yang terbatas, untuk menjelaskan sesuatu yang tidak terbatas. Sekalipun berguna, akan tetapi perlu dibedakan dengan “the god-head”, hakikat yang benar dari Tuhan yang melampaui cakupan bahasa manusia dan kategorisasi. Dengan memfokuskan kembali pada “the Oneness of God” (Tuhan yang Tunggal), yang membawa kita justru melampaui batas-batas bahasa dan formulasi manusia tentang doktrin, dan membiarkan “God be God” (Tuhan menjadi Tuhan) sehingga memungkinkan kita – sebagai pemeluk dari sebuah agama – melandasi pemahaman, penyembahan, dan ibadah kita tanpa terganggu dengan perbedaan dalam cara beragama. Visi dan pengalaman yang sama ini nanti akan memberi ikatan bersama yang akan membawa kepada apresiasi yang lebih besar terhadap iman kita maupun iman yang lain.

Keanekaragaman agama menurut Almirzanah merupakan realitas eksistensial; ia merupakan kenyataan dunia sosial kita sebagai makhluk yang bertuhan. Tentu saja, keragaman – dalam beragama, misalnya - ini bukan sesuatu yang muncul baru-baru ini. Keragaman sudah setua eksistensi manusia itu sendiri. Sama tuanya dengan pengalaman konflik dalam sejarah umat manusia di muka bumi. Di dalam salah satu bagian dari kisah Al-Qur‘an (Qs Al-Baqarah 2: 30), Tuhan mengemukakan maksudnya untuk “menciptakan khalifah untuk dunia” kepada malaikatnya. Malaikat keberatan dan menanyakan, “Apakah Engkau akan menciptakan di dunia (wujud lain yang) akan menyebar ketidakjujuran dan menumpahkan darah di dalamnya, sementara kami selalu bertasbih memuji-Mu dan menyucikan-Mu?.” Sekalipun Tuhan merespon, “Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui,” tetapi apa yang malaikat ragukan tentang penciptaan “khalifah untuk dunia” yang kelak diamanahkan pada manusia belakangan juga ternyata terbukti; sedikit banyak membenarkan keraguannya atas penciptaan manusia yang menjadi alamat terjadinya pertumpahan darah. Keturunan Adam, Qabil melakukan kejahatan pembunuhan pada saudaranya Habil, sebagai kejahatan pembunuhan pertama yang terekam dalam sejarah umat manusia. Kisah ini juga bisa ditemukan pada Genesis 4: 3-16 pada Bible.

Akan tetapi, apa sebenarnya maksud Tuhan, bahwa ada sisi yang tidak diketahui oleh malaikatnya tentang penciptaan manusia sebagai khalifah untuk dunia. Menurut dugaan Al-Mirzanah, hal tersebut adalah kapasitas kita umat beragama untuk mengetahui kebenaran, berpengetahuan dan berkasih sayang. Mungkin pula, hal tersebut berupa kapasitas kita umat beragama untuk bertaubat dari kejahatan yang dilakukan dan mengambil jalan perubahan. Tidakkah, di dalam kisah pada kitab suci diceritakan, bagaimana setelah membunuh saudaranya Habil, Qabil menyesali perbuatannya dan bertaubat. Melalui seekor burung, Qabil belajar tentang bagaimana mengubur mayat saudaranya.

Buku setebal 356 halaman ini, merupakan kajian serius atas pemikiran dua tokoh besar abad pertengahan dalam sejarah Kristiani dan Muslim, yaitu Master Eckhard dan Muhyi a-Din Ibn al-‘Arabi, di mana keduanya diidentifikasi oleh Almirzanah pada buku ini sebagai dua tokoh yang penting dihadirkan dalam perbincangan seputar isu-isu keanekaragaman dan dialog agama-agama. Setelah membaca pandangan dan pengalaman keduanya tentang Tuhan, pada gilirannya akan sampai pada simpulan bahwa ada perbedaan antara Tuhan sebagai “the Godhead” dengan “Tuhan yang diciptakan”, yang merupakan kunci untuk membangun atmosfer perdamaian, karena dengan begitu seseorang yang bertuhan akan mampu memandang keanekaragaman yang ada (the diversity of created order) dengan perspektif yang lebih luas dan tidak terbatas. Bukan, dengan perspektif “kacamata kuda” sebagaimana yang lazim dipraktikkan oleh sebagian umat beragama dari kalangan fundamentalis, yang melihat dan memperlakukan umat lainnya yang mereka anggap “beda” secara “bar-bar.” Sejalan dengan ini, Dorothee Soelle mengatakan, “Tuhan yang tidak melebihi Tuhan bukanlah Tuhan. Tuhan yang terkungkung dalam suatu bahasa, dibatasi oleh definisi tertentu, dikenal dengan nama tertentu yang telah menghasilkan bentuk kendali sosio-kultural tertentu, bukanlah Tuhan tetapi telah menjadi suatu ideologi agama.”

Buku berjudul “Ketika Umat Beriman Mencipta Tuhan” ini penting dibaca terutama bagi mahasiswa Fakultas Ushuluddin di lingkungan UIN/IAIN/STAIN, sekaligus sebagai bahan bacaan ilmiah bagi para peminat studi agama-agama dan aktifis dialog antar agama. Sangat scholarly, mendalam, tapi juga memikat. Sebuah sumbangan yang tak ternilai dalam membangun atmosfer perdamaian dalam beragama.***

Detail Buku:
Judul Buku : Ketika Umat Beriman Mencipta Tuhan
Penulis : Prof. Syafaatun Almirzanah, MA., M.Th., Ph.D., D.Min
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun Terbit : 2020

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...