Friday, October 20, 2023

MUSYAWARAH DALAM DALAM PENYELESAIAN KONFLIK KEKERASAN: Berkaca dari Pengalaman Kalimantan Barat

Oleh: Syamsul Kurniawan

KALIMANTAN Barat sangat rentan terhadap konflik kekerasan, yang ditandai dengan berbagai kasus konflik kekerasan di tengah-tengah masyarakat yang sulit diatasi. Tidak jarang, konflik kekerasan yang terjadi sulit diurai akar masalahnya. Sementara jelas, di tengah-tengah masyarakat di Kalimantan Barat sendiri telah ada mekanisme penyelesaian setiap konflik, yang sebagaimana di daerah-daerah lain pula di luar Kalimantan Barat, yang bersumber dari budaya dan kearifan lokal masyarakatnya.

Hanya saja sayangnya, mekanisme resolusi konflik yang bersumber dari budaya dan kearifan lokal jarang digunakan dan bahkan dipandang sebelah mata oleh aparat. Konsekuensinya, peran fungsional pranata budaya masyarakat lokal terhadap resolusi konflik pun cenderung minim, oleh karena alasan tersebut. Sementara bisa dimafhumi, bagaimana partisipasi masyarakat lokal jelas sangat diperlukan sebagai salah satu prasyarat fungsional terhadap penciptaan perdamaian.[1]

Apalagi secara geografis, Kalimantan Barat jelas merupakan provinsi dengan daerah yang sangat luas wilayahnya. Secara demografis, masyarakatnya menyebar dan tidak merata. Terkadang ada daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh karena keterbatasan transportasi darat. Kecuali itu pula, tidak semua wilayah yang tersedia pranata dan aparat penegak hukumnya, yang mengakibatkan tidak semua konflik sosial yang terjadi dapat dengan mudah diselesaikan. Dengan demikian, jika masyarakat hanya bergantung pada aparat penegak hukum dalam penyelesaian konflik, tentu ini akan menjadikan penanganan terhadap konflik kekerasan menjadi lambat. Sehingga pada ranah ini, yang diperlukan adalah mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelesaian konflik itu sendiri, dengan menggunakan mekanisme resolusi konflik yang bersumber dari budaya dan kearifan lokal mereka masing-masing.[2]

Hal ini berhubungan dengan komunikasi lintasbudaya. Pada kasus terjadinya perbedaan nilai-nilai budaya di tengah-tengah masyarakat, prasangka dan benturan antarbudaya sangat rentan terjadi, yang meniscayakan pentingnya komunikasi lintasbudaya yang efektif. Contohnya beberapa prakondisi yang tidak menguntungkan terjadi di tengah-tengah masyarakat berkaitan dengan hal ini yang membutuhkan komunikasi lintasbudaya yang efektif, seperti: satu, bila situasi konflik menciptakan persaingan antarkelompok sosial; dua, bila kontak yang terjadi tidak menyenangkan, dipaksakan, dan tegang; tiga, bila situasi kontak menghasilkan rasa harga diri atau status dari salah satu golongan direndahkan; empat, bila warga dari suatu kelompok/ atau kelompok sebagai keseluruhan sedang mengalami frustasi (semisal masalah ekonomi dan diskriminisasi sosial, dan lain-lain) biasanya ada kelompok “yang lain” yang dijadikan kambing hitam dari permasalahannya; lima, bila kontak terjadi antara berbagai golongan etnis, yang mempunyai moral atau norma-norma yang bertentangan satu dengan yang lain; enam, bila dalam kontak antara golongan mayoritas dan minoritas, para warga dari golongan minoritas yang statusnya lebih rendah, dan/atau berbagai karakteristiknya yang lebih rendah dari golongan mayoritas. Prasangka yang muncul dari sebab-sebab ini bukannya tidak mungkin akan menjadi picu konflik, yang membutuhkan komunikasi lintasbudaya yang efektif dalam penanganannya.[3]

Dalam konteks masyarakat di Kalimantan Barat, Purwana mengungkap tentang pentingnya mencari titik temu dari potensi dari budaya dan kearifan lokal masing-masing etnis yang ada sebagai mekanisme resolusi konflik di tengah-tengah masyarakatnya. Ketika ini ditemukan, maka komunikasi lintabudaya akan berlangsung cair, dan konflik yang terjadi jadi lebih mudah ditangani.[4] Pemanfaatan budaya dan kearifan lokal sebagai mekanisme resolusi konflik ini jelas jauh lebih efektif menjembatani komunikasi lintasbudaya ketimbang mengandalkan semata-mata peran fungsional dari penegak hukum. Kecuali alasan-alasan geografis yang telah penulis sampaikan, hasil-hasil riset juga banyak yang menunjukkan kelemahan-kelemahan model resolusi konflik yang semata-mata mengandalkan peran fungsional dari aparat penegak hukum.[5]

Dalam pengalaman kasus konflik antaretnis di Kalimantan Barat, peran musyawarah bisa dibilang cukup penting dalam membantu mencairkan suasana konflik kekerasan yang terjadi (sebutlah semisal dalam kasus konflik antaretnis di Sanggau Ledo tahun 1997 dan Sambas tahun 1999). Melalui musyawarah itulah akar penyebab konflik bisa ditelusuri. Kecuali itu juga diharapkan komunikasi lintasbudaya berlangsung efektif, dan semua silang sengketa, perselisihan, serta konflik diselesaikan. Sebab melalui musyawarah pula, budaya yang berbeda dari masing-masing etnis yang berkonflik itu coba dikomunikasikan dan dibangun saling pengertian. Sehingga diharapkan hasil dari musyawarah bisa diterima kedua belah pihak yang berkonflik dan perdamaian pun bisa terwujud.[6]

Tentu saja, peran fungsional dari pemuka agama dan adat sangat penting dalam musyawarah tersebut. Kadang sering terjadi peran itu diemban oleh orang-orang yang sama, dan mereka inilah yang mengatur jalannya musyawarah. Disebut pemuka, karena mereka dipandang dan dihormati di kelompok etnis dan lingkungan sosialnya. Mereka adalah tokoh yang disegani dan dituruti dalam kelompok etnis dan lingkungan sosialnya.***


[1] Yohanes Bahari, “Model Komunikasi Lintas Budaya dalam Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Melayu dan Madura di Kalimantan Barat”, Jurnal Ilmu Komunikasi, vol. 6, no. 2 (2008), p. 1.

[2] Ibid., p. 2.

[3] Ibid., pp. 2–3.

[4] Lihat: Bambang Herndarta Suta Purwana, Konflik Antarkomunitas Etnis di Sambas 1999: Suatu Tinjauan Sosial Budaya (Pontianak: Romeo Grafika, 2003).

[5] Bahari, “Model Komunikasi Lintas Budaya dalam Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Melayu dan Madura di Kalimantan Barat”; Yohanes Bahari, Model Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Pada Masyarakat dayak kanayatn di Kalimantan Barat, Research (Pontianak: Universitas Tanjung Pura, 2006); Niall M. Fraser and Keith W. Hipel, Conflict analysis: models and resolutions (New York: North-Holland, 1984); William B. Gudykunst and Young Yun Kim, Communicating with strangers. An approach to intercultural communication (Reading Mass: Addison-Wesley, 1984); Purwana, Konflik Antarkomunitas Etnis di Sambas 1999: Suatu Tinjauan Sosial Budaya.

[6] Bahari, “Model Komunikasi Lintas Budaya dalam Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Melayu dan Madura di Kalimantan Barat”, p. 9.

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...