KALIMANTAN
Barat sangat rentan terhadap konflik kekerasan, yang ditandai dengan berbagai
kasus konflik kekerasan di tengah-tengah masyarakat yang sulit diatasi. Tidak
jarang, konflik kekerasan yang terjadi sulit diurai akar masalahnya. Sementara
jelas, di tengah-tengah masyarakat di Kalimantan Barat sendiri telah ada
mekanisme penyelesaian setiap konflik, yang sebagaimana di daerah-daerah lain
pula di luar Kalimantan Barat, yang bersumber dari budaya dan kearifan lokal
masyarakatnya.
Hanya
saja sayangnya, mekanisme resolusi konflik yang bersumber dari budaya dan
kearifan lokal jarang digunakan dan bahkan dipandang sebelah mata oleh aparat.
Konsekuensinya, peran fungsional pranata budaya masyarakat lokal terhadap
resolusi konflik pun cenderung minim, oleh karena alasan tersebut. Sementara
bisa dimafhumi, bagaimana partisipasi masyarakat lokal jelas sangat diperlukan
sebagai salah satu prasyarat fungsional terhadap penciptaan perdamaian.[1]
Apalagi
secara geografis, Kalimantan Barat jelas merupakan provinsi dengan daerah yang
sangat luas wilayahnya. Secara demografis, masyarakatnya menyebar dan tidak
merata. Terkadang ada daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh karena
keterbatasan transportasi darat. Kecuali itu pula, tidak semua wilayah yang
tersedia pranata dan aparat penegak hukumnya, yang mengakibatkan tidak semua
konflik sosial yang terjadi dapat dengan mudah diselesaikan. Dengan demikian,
jika masyarakat hanya bergantung pada aparat penegak hukum dalam penyelesaian
konflik, tentu ini akan menjadikan penanganan terhadap konflik kekerasan
menjadi lambat. Sehingga pada ranah ini, yang diperlukan adalah mendorong
partisipasi masyarakat dalam penyelesaian konflik itu sendiri, dengan
menggunakan mekanisme resolusi konflik yang bersumber dari budaya dan kearifan
lokal mereka masing-masing.[2]
Hal
ini berhubungan dengan komunikasi lintasbudaya. Pada kasus terjadinya perbedaan
nilai-nilai budaya di tengah-tengah masyarakat, prasangka dan benturan antarbudaya
sangat rentan terjadi, yang meniscayakan pentingnya komunikasi lintasbudaya
yang efektif. Contohnya beberapa prakondisi yang tidak menguntungkan terjadi di
tengah-tengah masyarakat berkaitan dengan hal ini yang membutuhkan komunikasi
lintasbudaya yang efektif, seperti: satu, bila situasi konflik menciptakan
persaingan antarkelompok sosial; dua, bila kontak yang terjadi tidak
menyenangkan, dipaksakan, dan tegang; tiga, bila situasi kontak menghasilkan
rasa harga diri atau status dari salah satu golongan direndahkan; empat, bila
warga dari suatu kelompok/ atau kelompok sebagai keseluruhan sedang mengalami
frustasi (semisal masalah ekonomi dan diskriminisasi sosial, dan lain-lain)
biasanya ada kelompok “yang lain” yang dijadikan kambing hitam dari
permasalahannya; lima, bila kontak terjadi antara berbagai golongan etnis, yang
mempunyai moral atau norma-norma yang bertentangan satu dengan yang lain; enam,
bila dalam kontak antara golongan mayoritas dan minoritas, para warga dari
golongan minoritas yang statusnya lebih rendah, dan/atau berbagai
karakteristiknya yang lebih rendah dari golongan mayoritas. Prasangka yang
muncul dari sebab-sebab ini bukannya tidak mungkin akan menjadi picu konflik,
yang membutuhkan komunikasi lintasbudaya yang efektif dalam penanganannya.[3]
Dalam
konteks masyarakat di Kalimantan Barat, Purwana mengungkap tentang pentingnya mencari
titik temu dari potensi dari budaya dan kearifan lokal masing-masing etnis yang
ada sebagai mekanisme resolusi konflik di tengah-tengah masyarakatnya. Ketika
ini ditemukan, maka komunikasi lintabudaya akan berlangsung cair, dan konflik
yang terjadi jadi lebih mudah ditangani.[4] Pemanfaatan budaya dan
kearifan lokal sebagai mekanisme resolusi konflik ini jelas jauh lebih efektif menjembatani
komunikasi lintasbudaya ketimbang mengandalkan semata-mata peran fungsional
dari penegak hukum. Kecuali alasan-alasan geografis yang telah penulis
sampaikan, hasil-hasil riset juga banyak yang menunjukkan kelemahan-kelemahan
model resolusi konflik yang semata-mata mengandalkan peran fungsional dari
aparat penegak hukum.[5]
Dalam
pengalaman kasus konflik antaretnis di Kalimantan Barat, peran musyawarah bisa
dibilang cukup penting dalam membantu mencairkan suasana konflik kekerasan yang
terjadi (sebutlah semisal dalam kasus konflik antaretnis di Sanggau Ledo tahun
1997 dan Sambas tahun 1999). Melalui musyawarah itulah akar penyebab konflik
bisa ditelusuri. Kecuali itu juga diharapkan komunikasi lintasbudaya berlangsung
efektif, dan semua silang sengketa, perselisihan, serta konflik diselesaikan.
Sebab melalui musyawarah pula, budaya yang berbeda dari masing-masing etnis
yang berkonflik itu coba dikomunikasikan dan dibangun saling pengertian.
Sehingga diharapkan hasil dari musyawarah bisa diterima kedua belah pihak yang
berkonflik dan perdamaian pun bisa terwujud.[6]
[1] Yohanes Bahari, “Model Komunikasi Lintas Budaya dalam
Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Melayu dan Madura di Kalimantan Barat”, Jurnal
Ilmu Komunikasi, vol. 6, no. 2 (2008), p. 1.
[2] Ibid., p. 2.
[3] Ibid., pp. 2–3.
[4] Lihat: Bambang Herndarta Suta Purwana, Konflik
Antarkomunitas Etnis di Sambas 1999: Suatu Tinjauan Sosial Budaya
(Pontianak: Romeo Grafika, 2003).
[5] Bahari, “Model Komunikasi Lintas Budaya dalam Resolusi
Konflik Berbasis Pranata Adat Melayu dan Madura di Kalimantan Barat”; Yohanes
Bahari, Model Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Pada Masyarakat dayak
kanayatn di Kalimantan Barat, Research (Pontianak: Universitas Tanjung
Pura, 2006); Niall M. Fraser and Keith W. Hipel, Conflict analysis: models
and resolutions (New York: North-Holland, 1984); William B. Gudykunst and
Young Yun Kim, Communicating with strangers. An approach to intercultural
communication (Reading Mass: Addison-Wesley, 1984); Purwana, Konflik
Antarkomunitas Etnis di Sambas 1999: Suatu Tinjauan Sosial Budaya.
[6] Bahari, “Model
Komunikasi Lintas Budaya dalam Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Melayu
dan Madura di Kalimantan Barat”, p. 9.
No comments:
Post a Comment