Monday, November 20, 2023

Lingkungan Sosial Ramah Anak

Oleh: Syamsul Kurniawan*) 

TUJUAN dari perlindungan anak sebagaimana tertera pada UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah untuk menggaransi hak-hak dari anak Indonesia sehingga bisa hidup, bertumbuh dan berkembang, berpartisipasi optimal sejalan dengan harkat dan martabatnya, kemanusiaannya, serta memperoleh perlindungan baik diskriminasi maupun kekerasan, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (lihat: Pasal 3). Dengan demikian, setiap anak di Indonesia berhak hidup, bertumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi secara adil sejalan dengan harkat dan martabat kemanusiaannya, dan mendapat perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan (lihat: Pasal 4).

Namun demikian, hak-hak anak sebagaimana dimaktub dalam UU Nomor 23 tahun 2002 di atas senyatanya masih jauh panggang dari api. Realitas belum terpenuhinya hak-hak anak ini, tercitrakan dari banyaknya kasus baik di rumah dan di masyarakat serta sekolah, yang belum menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi anak buat mendapatkan hak-haknya tersebut. Di rumah dan di masyarakat, misalnya, terjadi kasus-kasus kekerasan baik fisik, psikis dan bahkan seksual yang dialami anak. Pelakunya adalah orang-orang terdekat mereka di rumah dan orang-orang dewasa di tengah-tengah masyarakat.

Demikian pula di sekolah, yang mana guru kerap menjadi profil yang menciderai hak-hak mereka di atas, sebagai pelaku kekerasan terhadap mereka. Guru-guru yang seharusnya melindungi hak-hak mereka dalam soalan ini, banyak yang menjadi tersangka sebagai pelaku kekerasan terhadap anak-anak didik mereka, tidak hanya fisik dan psikis tetapi juga seksual. Miris?!. Berbagai kasus kekerasan yang terjadi di rumah, sekolah dan di sekolah ini, adalah semacam puncak gunung es yang meniscayakan pentingnya komitmen dari banyak pihak, untuk mendorong lingkungan sosialnya menjadi “lingkungan sosial ramah anak”.

Kecuali berdasar pada UU Nomor 23 tahun 2002 yang telah disebutkan di atas, dasar dari Lingkungan Sosial Ramah Anak adalah Convention on the Rights of the Child (CRC) yang ditandatangani di Turki pada tahun 1989. Menurut CRC ini, setiap anak setiap anak, berhak untuk: satu, bertahan hidup yang meliputi kebutuhan dasar hidup mereka seperti berpakaian, makanan, tinggal di tempat yang layak, obat-obatan, dan semacamnya; dua, hak untuk berkembang yang meliputi hak-hak mereka untuk mengembangkan potensi mereka secara optimal yang meliputi hak untuk dapat dididik, bermain, istirahat, terlibat dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan, mendapat akses terhadap berita dan informasi, dan semacamnya; tiga, hak untuk dilindungi dari segala penyalahgunaan peran mereka, eksploitasi, dan penelantaran, yang dengan demikian anak-anak tidak boleh menderita, mendapat perlakuan tidak menyenangkan, termasuk hukuman yang tidak manusiawi dan menjatuhkan harkat kemanusiaan mereka atas dalih apapun termasuk pendisiplinan; empat, hak untuk berpartisipasi, dengan kebebasan berekspresi di tengah-tengah masyarakat, dalam hal-hal yang mempengaruhi kehidupan mereka, dan dengan cara yang mempersiapkan anak-anak dalam pengambilan peran dan tanggung jawab yang akan kian meningkat sejalan bertumbuh dan berkembangnya mereka di tengah-tengah masyarakat.

Shirley J. Miske dalam makalahnya Child-Friendly Schools-Safe Schools, yang dipresentasikan di Second International Symposium on Children at Risk and in Need of Protection, di Turki, 24 April 2010 (halaman 3), menyebutkan hak-hak anak yang dilindungi oleh CRC adalah, mendapatkan hak berpendidikan yang berpusat pada mereka, mendapatkan lingkungan belajar yang demokratis, inklusif, berkeadilan dan tanpa diskriminasi yang memungkinkan anak-anak bisa belajar tanpa takut berbeda latar belakang budaya dan stratifikasi sosialnya, mendapat pengalaman belajar secara efektif dan protektif, aman dan sehat bagi tumbuh kembang.

Jika kita merujuk ke Child Friendly School Manual yang diterbitkan oleh United Nations Children’s Fund (2006), lingkungan sosial ramah anak membuka peluang: satu, meningkatnya aksesnya dalam berpendidikan; dua, meningkatnya tingkat partisipasinya; tiga, meningkatnya retensi dan penyelesaiannya; empat, terbangunnya atmofer belajar yang positif; lima, tersedianya lingkungan sosial yang aman, inklusif dan ramah bagi semua anak; enam, tersedianya lingkungan sosial pendidikan yang kondusif terhadap kebutuhan belajar, termasuk mengakomodasi anak-anak yang berkebutuhan khusus (disbilitas) baik dari segi fisik dan mental; tujuh, terbangunnya rasa kebersamaan di lingkungan sosial yang positif bagi bertumbuh dan berkembangnya anak; delapan, adanya komunikasi yang edukatif antara sekolah dengan rumah dan masyarakat dalam membangun komitmen bersama terhadap pendidikan; sembilan, terjalinnya relasi yang harmonis antara sekolah, dengan rumah dan masyarakat sebagai tripusat pendidikan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lain; dan sepuluh, adanya dukungan prasarana dan sarana terhadap kebutuhan lingkungan sosial ramah anak.

 

Peluang Kontraproduktif

Lingkungan sosial ramah anak yang dicita-citakan bisa saja kontraproduktif, jika tidak ada komitmen dari hati para orang tua, pendidik di sekolah, dan orang-orang dewasa di tengah-tengah masyarakat untuk mewujudkan dan mengawalnya. Sebab, mewujudkan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang ramah anak tidak bisa cuma bermodal “omongan” saja. Mengaku berkomitmen, padahal tidak?!.

Jika kita mengutip teori Dramaturgi yang diusulkan oleh Erving Goffman, maka ini bisa kita mafhumi, bahwa segala tindakan sosial yang dimainkan oleh individu-individu tidak selalu linier antara panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Mirip seperti pementasan drama. Sebab kebanyakan pula, para aktor yang bermain drama hanya berpura-pura sebatas memainkan perannya dalam lakon yang ditonton oleh banyak orang. Sebagaimana diungkap oleh Margaret Poloma dalam bukunya Sosiologi Kontemporer (2013: 232), memainkan perannya untuk menyenangkan banyak penonton di panggung depan, dan berbeda drastis kala berada di panggung belakang.

Sebab itulah, kita bisa memafhumi tentang bagaimana para orang tua di rumah, guru-guru di sekolah, dan orang-orang dewasa di tengah-tengah masyarakat, yang terlihat “seolah-olah” ramah anak, tetapi tersangkut kasus bullying, penganiayaan, pemerkosaan, dan lain sebagainya terhadap anak-anak di lingkungan mereka. Ketika ini terjadi, maka cita-cita mewujudkan lingkungan sosial yang ramah anak hanya berhenti sebatas “omongan saja”, dan tidak terjadi senyatanya di lingkungan sosial kita. ***     

 

*) Pemerhati Pendidikan, Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam di IAIN Pontianak

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...