Friday, November 24, 2023

Pelajaran Pendidikan Agama Islam Non Dikotomik

Oleh: Syamsul Kurniawan

Pelajaran pendidikan agama Islam yang diberikan di sekolah-sekolah hingga kini masih diberikan oleh guru agama Islam secara dikotomik. Seolah-olah ajaran agama Islam hanya melulu pelajaran seputar aqidah, akhlak, al-Qur‘an, hadits, fikih, dan sejarah kebudayaan Islam. Ajaran agama Islam yang diberikan ke murid-murid tersebut pun cenderung bertujuan ukhrawi, dan kurang menyentuh aspek-aspek keduniawian. Guru-guru agama Islam senyatanya masih banyak yang belum mampu mengintegrasikan di materi yang mereka sampaikan tentang agama Islam dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, materi-materi di luar pelajaran pendidikan agama Islam, seperti matematika, biologi, fisika, kimia, sosiologi, kewarganegaraan, ekonomi, kewarganegaan, dan lain sebagainya diberikan oleh guru-guru yang kurang mampu menyisipkan nilai-nilai agama Islam ke dalam materi yang mereka berikan. Disadari atau tidak, demikianlah realita yang terjadi di sebagian sekolah-sekolah kita.  

Padahal, dalam ajaran agama Islam, dikotomi antara ukhrawi dan duniawi, agama dan ilmu pengetahuan, jelas sama sekali tidak dikenal, kecuali melalui tafsiran-tafsiran. Dengan demikian, tafsiran yang mendikotomikan tujuan ukhrawi dan duniawi terhadap pendidikan agama Islam, dan antara agama dan ilmu pengetahuan sifatnya sangat subjektif dari penafsir. Rasulullah Saw saja pernah menyampaikan, “barang siapa yang menginginkan dunia maka haruslah dengan ilmu, dan barang siapa menginginkan akhirat maka juga harus dengan ilmu.” Berdasarkan hadits ini, tidak ada prioritas dan/atau dominasi salah satu di antara keduanya.

Pelajaran pendidikan agama Islam yang non dikotomik adalah pelajaran pendidikan agama Islam yang berkonotasi tidak semata-mata ukhrawi, tetapi juga duniawi. Justru guru-guru agama Islam perlu membangun pemahaman pada murid-muridnya tentang dunia sebagai ladang amal untuk kehidupan akhirat.

Menurut Zakiyah Daradjat, pelajaran pendidikan agama Islam selayaknya dipahami sebagai proses untuk mengembangkan fitrah manusia. (Daradjat 1992, 25) Syed Naquib al-Attas memberi titik tekan pada pembentukan kepribadian muslim. (al-Attas 1979, ix) Selanjutnya Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany berpendapat bahwa terpenting dalam prosesnya, pelajaran pendidikan agama Islam bisa relevan untuk memberi pengalaman belajar, dan juga berdampak positif terhadap perubahan perilaku murid, sehingga memberi pengaruh yang signifikan terhadap kualitas interaksinya dengan masyarakat dan alam lingkungannya. (al-Syaibany 1979, 399)

Berikutnya Yusuf al-Qardhawi memahami pelajaran pendidikan agama Islam sebagai upaya menyiapkan murid-murid yang mencapai derajat “manusia seutuhnya”, yang baik akal dan hatinya, baik jasmani dan ruhaninya, baik pengetahuan, keterampilan serta akhlaknya. Pelajaran pendidikan agama Islam selayaknya bisa menyiapkan murid-murid, yang tidak hanya berkarakter baik namun juga bisa eksis di tengah-tengah masyarakat. (al-Qardhawi 1980, 39) Sementara Hasan Langgulung mengatakan pelajaran pendidikan agama Islam semestinya bisa menyiapkan murid-murid untuk mampu berperan fungsional di tengah-tengah masyarakatnya, dan untuk itu pengetahuan tentang ajaran agama Islam dan nilai-nilainya bisa sejalan dengan amal perbuatannya sehari-hari. Amal perbuatannya di dunia, hasilnya akan diganjar setimpal di akhirat. (Langgulung 1995, 94)

Berdasarkan paparan di atas, pelajaran pendidikan agama Islam selayaknya bisa diberikan secara terintegrasi, agar dapat mengembangkan fitrah manusia, membentuk kepribadiannya yang positif yang pengetahuan, sikap dan kepribadiannya baik, menjadikannya bisa eksis dan berperan fungsional di tengah-tengah masyarakat, dan sadar bahwa dunianya adalah ladang bagi kehidupannya kelak di akhirat.

Di abad 21 sebagaimana realita di tengah-tengah kita saat ini, murid-murid di sekolah yang mendapatkan pelajaran pendidikan agama Islam yang dikotomik akan membuatnya sulit beradaptasi. Oleh karena itulah dalam penyusunan kurikulum pelajaran pendidikan agama Islam, hal-hal semacam ini mesti diperhatikan. Apalagi mengingat betapa pentingnya kurikulum dalam menentukan arah pelajaran pendidikan agama Islam, yang dalam konteks ini: berkembang secara dikotomik atau non dikotomik. (Fathonah 2018, 72) Jika Hilda Taba memulai analisis tentang krisis sebelum membahas lebih dalam seputar kurikulum, ini bukannya tidak mungkin ia yakin karena jika terjadi krisis di dunia pendidikan sebab utamanya berakar dari kurikulum pendidikannya. Dalam skala masalah yang lebih kecil, di kelas, bukannya tidak mungkin pula, Ketika terjadi malpraktik pembelajaran di kelas, akar masalahnya juga adalah kurikulum pendidikannya. (Lihat: Taba 1962, 1–3)

Dengan pengertian ini, betapa pentingnya posisi kurikulum pendidikan di sekolah, sehingga dalam pengembangannya harus betul-betul bisa sejalan dengan kebutuhan murid-murid. Sebagaimana saat ini di abad 21, kurikulum pendidikan yang dikembangkan mesti bisa dirancang secara non dikotomik agar murid-murid bisa beradaptasi dengan perubahan yang terjadi sekecil apapun di abad ini. Seluruh pelajaran yang mereka terima mesti diberikan non dikotomik dalam memberi pengetahuan, keterampilan dan sikap yang relevan dengan kebutuhan mereka beradaptasi di abad ini. Pelajaran pendidikan agama Islam pun selayaknya begitu, mesti diberikan secara non dikotomik, sehingga relevan dengan kebutuhan murid-murid yang belajar agama Islam di abad ini.***

 

Bahan Bacaan

Attas, Syed Muhammad Naquib al-. 1979. Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University.

Daradjat, Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Fathonah, Parisaktiana. 2018. “Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman dan Kontribusinya Terhadap Pengembangan Teori Pendidikan Islam.” Jurnal Pendidikan Agama Islam 15 (1): 70–87. https://doi.org/10.14421/jpai.2018.151-05.

Langgulung, Hasan. 1995. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.

Qardhawi, Yusuf al-. 1980. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna. Diterjemahkan oleh B.A Ghani dan Z.A Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang.

Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy al-. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Diterjemahkan oleh Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.

Taba, Hilda. 1962. Curriculum Development: Theory and Practice. New York: Harcount, Brace & World. Inc.

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...