Tuesday, January 11, 2011

Al-Qur‘an yang “Dibaca” dan "Dipahami" (Bagian Satu dari Tiga Bagian Tulisan)

Oleh: Syamsul Kurniawan

JIKA Anda sedang mengambil mata kuliah Ulumul Qur‘an, salah satu buku yang menurut saya penting Anda baca adalah buku yang ditulis Anna M. Gade, The Qur‘an an Introduction (2010). Buku ini membahas beberapa isu seperti, The Written Qur’an, The Multifaceted Qur‘an, Readings of the Qur‘an, The Qur‘an Guiidance, The Present Qur‘an, dan Space, Time, and the Boundaries of Knowledge.  

***

Di awal pembahasannya, buku Gade mengajak pembaca bukunya meninjau kembali pengertian Al-Qur‘an di tengah-tengah pembaca Al-Qur‘an pada hari ini, dari apa yang disebut dengan “membaca Al-Qur‘an”. Sebagaimana umumnya yang berkembang di tengah-tengah umat Islam, bahwa yang dimaksud dengan membaca Al-Qur‘an adalah membaca secara aktif; baik dalam pengertian Al-Qur'an sebagai objek material atau visual.

Kata Gade, bahwa yang dimaksud Al-Qur‘an pada hari ini adalah Al-Qur‘an yang dicetak itu, yang berbahasa Arab, dan berbentuk mushaf. Maka dengan demikian, buku terjemahan Al-Qur‘an yang meskipun dialihbahasakan langsung dari Al-Qur‘an, tetap tidaklah bisa disebut Al-Qur‘an. Karena sebagaimana konsensus umat Islam, bahwa Al-Qur‘an adalah yang dibukukan dalam sebuah mushaf dan ditulis atau dicetak dalam bahasa Arab; bukan selainnya. Pengertian ini memang pada hari jadi kabur, mengingat banyak yang membaca Al-Qur‘an dari smartphone mereka.  

Sebagaimana ulasan Gade pada bukunya, Al-Qur‘an yang dipelajari oleh umat Islam, adalah Al-Qur‘an yang mencakup 114 surahnya. Cetakan-cetakan Al-Qur‘an di tangan kita pada hari ini juga mengikuti aturan ini. Salah ketik saja bisa memancing protes keras dari umat Islam yang membacanya, apalagi jika aturan baku tentang Al-Qur‘an dikesampingkan ketika ia dicetak. Bisa dibayangkan?.

Sebagai kitab suci umat Islam, penamaan surah dalam Al-Qur‘an umumnya di ambil dari kata kunci (keyword), yang biasanya muncul pada beberapa baris pertama dari sebuah surah. Penamaan surah yang dalam Bahasa Arab ini bisa pula berbeda, untuk sebuah surah yang sama. Semisal, surah nomor 96 kadang disebut “surah al-‘Alaq”, dan ada pula yang menyebutnya dengan “surah Iqra’”. Tentu saja, nama-nama surah ini tidak merepresentasikan secara tematis isi sebagian atau keseluruhan surah. Sebutlah Qs An-Nisa’ (04) (para wanita), tidaklah bicara tentang perempuan atau jenis kelamin dalam keseluruhan pembahasan pada ayat-ayatnya.

Dari 114 surah Al-Qur‘an ini, ada 6.230 ayat, di mana pada akhir ayat selalu dibubuhi tanda; biasanya penomoran ayat. Menurut Gade, sebagaimana yang berkembang dalam pembelajaran Al-Qur‘an di kalangan umat Islam, penomoran surah umumnya tidak digunakan sebagai identifikasi. Namun, penomoran ini menjadi penting secara referensial bagi pembaca Al-Qur’an pemula. Setidaknya untuk dua alasan: pertama,  pembaca dari kalangan orang non Arab membutuhkan penomoran tersebut sebagai penanda, semisal dia orang Inggris atau selainnya; kedua, sarjana yang sama sekali tidak akrab dengan tradisi tulis  Arab, yang seringkali mengalami kesulitan untuk mentransliterasi nama-nama surah, tanpa membuat semacam sistem indeksasi. Apalagi, transliterasi dibuat seringkali berbeda, tergantung bahasa dan kesepakatan.

***

Kecuali itu dibukunya Gade juga dibahas tentang betapa problematisnya terjemahan Al-Qur‘an. Contohnya terjemahan bahasa Inggris dari Qs Al- Balad (90), yang maknanya bisa jadi berbeda, tergantung mud penerjemah. Sejumlah terjemahan yang ada (dari ayat Al-Qur'an) ini menghasilkan kemungkinan berbagai pilihan terjemahan Al-Balad, seperti: The City (ini adalah terjemahan paling umum), The Countryside, The Earth, The Ground, The Land, The Soil, dan The Town. Rentang semantik yang lebar ini mencerminkan berbagai terjemahan yang mungkin dari kata "Balad". Ketika menerjemahkan kata ini, mungkin terbayang oleh penerjemah: sebuah kota atau ruang universal?, Atau, bisa pula lebih spesifik lagi, kota Mekkah (dari mana Nabi Muhammad berasal)?

Kata-kata Al-Qur'an yang “kaya makna” dan mengandung sisi “kontekstual”, memberikan tantangan bagi siapapun yang berniat menerjemahkannya (ke dalam bahasa selain Arab) dan/atau menginterpretasikannya. Ini menurut Gade, bisa menjadi pertimbangan praktis bagi sarjana baru yang mungkin bahkan tidak menyadari sejak awal bahwa surah bernama "The Countryside" pada satu sisi sebenarnya bermakna sama dengan "The City", tetapi pada kasus lain bisa jadi tidak. Meskipun kedua kata ini sama-sama merupakan terjemahan bahasa Inggris untuk kata Al-Balad; sebuah sürah dari Al-Qur‘an (yang berbahasa Arab).

Seperti yang telah dibahas Gade di awal bukunya, The Qur‘an an Introduction, salinan Al-Qur'an yang dicetak biasanya mengikuti aturan yang baku, seperti adanya ayat-ayat, yang dihimpun kepada surah-surah tertentu. Memang sulit untuk memastikan, apakah sebagian besar konten yang dipahami telah mampu diungkap oleh Nabi Saw pada saat ia berada di kota kelahirannya Mekah (dalam istilah ulumul Qur‘an disebut ayat-ayat makkiyah) atau segera setelah ia beremigrasi ke kota yang dikenal sebagai Madinah (ayat-ayat yang disebut Madaniyah). Setidaknya ketika ini didiskusikan, ada delapan puluh delapan surah Mekah dan dua puluh enam surah Medinah dalam Al Qur'an.

Gade pada bukunya juga membahas tentang bagaimana semua surah dari Al-Qur’an, kecuali Qs At-Taubah (09), mesti dimulai dengan Basmalah (bismillahirrahmanirrahim). Basmallah ini bahkan dalam aturan “yang tidak tertulis” di tengah-tengah umat Islam, harus dibacakan lebih dulu dari setiap tindakan pembacaan Al-Qur'an, tidak peduli di mana pun berada posisi teksnya. Bukan saja itu, basmallah juga diucapkan sebelum memulai tindakan apapun; seperti makan, minum, atau naik sarana transportasi, dan sebagainya.

***

Jelas tidak hanya ayat atau surah yang penting diperhatikan dari “Al-Qur‘an” (dalam versi cetakannya), karena menurut Gade, tanda-tanda bacaan dari Al-Qur‘an juga penting diperhatikan dalam diskusi seputar “Al-Qur‘an”. Beberapa tanda menunjukkan bagaimana umat Islam yang membaca Al-Qur‘an mesti membunyikan Al-Qur‘an sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat (misalnya, tajwid). Dengan ketentuan yang baku ini, Al-Qur‘an jelas tidaklah boleh dibaca sembarangan; bahkan memenggal ayat-ayatnya juga ada aturan-aturannya. Maka terdengar janggal di telinga mereka yang paham tajwid, ketika ada yang membaca dan kemudian memberhentikan bacaan Al-Qur'annya secara “tidak tepat” di tengah-tengah ayat yang dibacanya. Aturan tajwid jelas dibuat untuk membantu mereka yang membaca Al-Qur‘an; terutama mereka yang berasal dari latar-belakang non Arab, sehingga tidak melakukan kesalahan-kesalahan seperti ini.

Memang tidak ada tanda-tanda melodi pada salinan Al-Qur‘an. Tetapi walaupun demikian, umat Islam membaca Al-Qur‘an dengan melodi-melodi yang khas; bahkan selalu ada improvisasi dalam membunyikannya (seperti ketika seseorang yang membaca Al-Qur‘an dengan tartil atau tilawah). Tentu saja skill ini bisa dipelajari atau dilatih.

Performance menurut Gade adalah isu lain yang juga penting didiskusikan seputar Al-Qur'an, seperti adanya ekspresi tertentu yang ditunjukkan ketika seseorang membaca atau mendengar ayat-ayat tertentu dari Al-Qur'an. Misalnya, seseorang yang membaca atau mendengar sebuah surah dari Al-Qur'an, dan kemudian sampai pada ayat yang menyebutkan, “para hamba Allah bersujud di hadapan Tuhan mereka,” ini dianggap sebagai sinyal agar mereka sujud. Ekspresi ini jamak ditemui saat seseorang membaca atau mendengar ayat 41 dari Qs Fussilat (37). Surat ini, Fussilat, juga dikenal sebagai "Ha Mim", "Al-Sajdah."

Menurut Gade ketika performance ini yang didiskusikan, yang sulit adalah menjelaskan tentang hubungan dari ayat yang “dibaca” atau “didengar” dengan "tindakan sujud" yang dilakukan. Sementara ketika diterjemahkan, fokus pembicaraan ayat ini jelas-jelas bercerita tanda-tanda Ketuhanan; misalnya adanya pergantian siang dan malam, matahari dan bulan. Tidakkah ayat ini mestinya dipahami secara filosofis? Dari petikan ayat ini, intinya sujud tidak boleh dilakukan dalam konteks menyembah kepada selain Allah, seperti pada matahari atau bulan.

Lantas pertanyaannya adalah, mengapa ayat yang kandungannya sangat filosofis ini, di tengah-tengah umat Islam tidak dipahami secara filosofis pula? Mengapa di tengah-tengah umat Islam, ayat ini dipandang sebagai sinyal (bagi mereka yang membaca atau mendengarnya) agar bersujud?. ***

No comments:

Kelas yang Menyenangkan

  beberapa orang beranggapan, mutu pendidikan di Indonesia rendah disebabkan karena negara kita yang tidak pernah keluar dari jeratan krisis...