Sunday, March 26, 2023

Servant Leadership


 Oleh: Syamsul Kurniawan

ASLAM ra. mengisahkan suatu ketika ia pernah bersama Umar ra. menuju Kota Hirah (sebuah nama kota di dekat Madinah). Kemudian terlihat oleh mereka ada nyala api di suatu tempat di atas gunung. Umar ra. berkata, “Mungkin ini adalah satu kafilah yang karena kemalaman, mereka tidak sampai ke kota. Mereka terpaksa menunggu di luar kota. Mari kita lihat kabar mereka.”

Setelah sampai di tempat nyala api tersebut, nampaklah seorang ibu dengan anak-anaknya. Anak-anaknya tersebut sedang menangis meronta-ronta. Sementara ibunya sedang merebus air dalam sebuah wadah di atas tungku. Umar ra. mendekat dan memberi salam kepada ibu tersebut. Selanjutnya Umar ra. bertanya, “Mengapa anak-anak ini menangis?”. Ibu tersebut menjawab, “Mereka menangis karena tidak bisa menahan rasa lapar.” Kemudian Umar ra. bertanya, “Apa yang sedang ibu rebus di dalam panci itu?”.

Ibu tersebut menjawab, “Panci ini merebus beberapa butir batu. Saya mengerti bahwa batu-batu ini memang tidak akan pernah masak selama-lamanya. Saya lakukan hal ini hanya untuk membujuk anak-anak saya supaya tidak merasakan lapar. Seolah yang saya masak adalah tepung gandum. Dengan perbuatan saya ini, anak-anak saya ini akan menyangka perutnya akan berisi. Laparnya akan habis. Rupanya bujukan saya itu tidak mempan menahan perut mereka yang lapar.”

Kemudian Umar ra. melanjutkan pertanyaannya, “Apakah Amirul Mukminin tidak mengetahui keadaan ibu seperti ini?”. Ibu tersebut menjawab, “Sekiranya Amirul Mukminin, Khalifah Umar itu mengetahui keadaan kami yang begini melarat sengsara, tentulah tidak akan seperti ini jadinya nasib kami, dan tidak setinggi itu tangis anak-anak saya.” Umar berkata, “Jika demikian, ibu tunggulah di sini sebentar. Saya usahakan tepung gandum itu buat ibu masak.”

Aslam ra. mengisahkan, “Kemudian Umar ra. mengajakku kembali ke Madinah. Ia mengeluarkan sekarung gandum, kurma, minyak dan beberapa dirham uang dari Baitul Mal. Ia penuhi isi karung tersebut.

Setelah penuh ia berkata kepadaku, ‘Letakkan karung ini di pundakku wahai Aslam.’ Aku menjawab, ‘Biarkan saya saja yang membawanya wahai Amirul Mukminin’. Umar ra. berkata, ‘Tidak. Letakkan saja di atas pundakku.’ Dua tiga kali aku menawarkan dirinya untuk membantunya membawakan karung itu. Kemudian Umar ra. berkata, ‘Apakah engkau akan memikul dosa-dosaku nanti pada hari kiamat?. Tidak. Aku sendirilah yang akan memikulnya.' Karena mengenai perkara ini. Dengan terpaksa aku letakkan juga karung itu di atas pundaknya. Kemudian dengan tergesa-gesa ia membawa karung tersebut ke kemah ibu tadi, dan aku tetap bersamanya. Sesampainya di tempat ibu dan anak tersebut, langsung Umar memasak bahan makanan yang ia bawa, dan ia sendiri yang menyalakan tungkunya.”

Aslam ra. melanjutkan kisahnya, “Aku melihat asap mengenai janggut Umar ra. Umar ra. memasak hingga bahan makanan yang ia masak itu matang. Kemudian dengan tangannya sendiri, ia menghidangkan makanan itu untuk ibu dan anak tersebut. Umar ra. tampak sangat senang sekali melihat mereka bisa makan. Ibu dari anak-anak tersebut selanjutnya mengucapkan terimakasih kepada Umar ra. "Semoga Allah SWT memberikanmu balasan yang baik. Seharusnya engkau yang lebih berhak menjadi khalifah, bukan Umar ra."

Untuk menyenangkan hati ibu tersebut, Umar ra. berkata kepadanya, ‘Jika engkau pergi menjumpai Khalifah, engkaupun akan menjumpai aku di sana.’ Setelah itu, Umar ra. tidak beranjak pergi melainkan duduk-duduk dulu. Setelah beberapa lama ia duduk, kemudian ia mengajakku pergi meninggalkan mereka. Kepadaku, Umar ra. berkata, ‘Tahukan engkau mengapa aku duduk?’ Karena aku ingin menyaksikan mereka tertawa setelah melihat mereka menangis karena kelaparan’.

***

Di negeri ini sayangnya tidak banyak pemimpin yang berkarakter servant leader seperti Umar ra. Karakter servant leadership yang dimiliki Umar sebagai seorang pemimpin tercitrakan dari keluhuran budinya, bersedia “hitam berjelaga” karena menyayangi warganya, tidak tenggelam pada jabatan yang dititipkan kepadanya, tahu siapa yang ia pimpin, tahu siapa bawahannya, dan mengerti apa yang menjadi komitmen dan tugasnya sebagai pemimpin. Sementara pemimpin-pemimpin kita seringkali hanya mementingkan pencitraan, menjual kepalsuan (ketidakjujuran) dan merayakan kemegahan dirinya sendiri.

Tak usah jauh-jauh mengambil contoh. Di bulan suci Ramadhan sebagaimana saat ini, sangat mudah menjumpai karakter pemimpin yang “curi-curi” pencitraan. Cobalah lihat jalanan dengan sedikit lebih jeli selama di bulan Ramadhan. Ada banyak bertebaran baliho, spanduk, atau papan reklame yang memajang gambar para para politisi (pimpinan atau pengurus partai politik), anggota legislatif dan calon anggota legislatif atau kepala daerah. Mereka tampil dalam kemasan yang agamis: lelaki berpeci dan perempuan dengan kerudung atau jilbab.

Pada baliho, spanduk, atau papan reklame tersebut tampak wajah senyum mereka, dan tertulis kata-kata simpatik katakanlah “Selamat menunaikan ibadah puasa.” Tak lupa barangkali diselipkan juga promosi diri, seperti mencantumkan nama lengkap caleg dengan gelarnya, daerah pemilihan dan partai politik pengusungnya. Meski tidak semassal di jalanan, kemasan serupa juga menghiasi tayangan sehari-hari televisi terutama saat berbuka atau sahur. Pemirsa disuguhi iklan-iklan mereka yang mengucapkan selamat berpuasa dengan dandanan yang religius.

Jika gemar berselancar di dunia maya, terutama facebook atau twitter, maka kita juga akan menemukan lama-laman itu dipenuhi foto, tweet (kicauan), atau status mereka yang berusaha menampilkan diri sebagai sosok agamis. Memang tak ada yang salah dengan tampilan pemimpin-pemimpin kita tersebut. Namanya juga politisi, mereka akan lincah memanfaatkan segala momen untuk kepentingan politiknya. Hanya saja dalam kenyataannya, hal yang dilakukan oleh para pemimpin kita tersebut sebatas “pencitraan diri”. Pun jika sebagian mereka ada yang turun ke warga dan memberikan bantuan selama bulan suci ini, penulis melihat itu masih sebatas “politisasi Ramadhan”. Make the most of any momentum (memanfaatkan momentum apapun) untuk kepentingannya, termasuk memanfaatkan momentum Ramadhan.

Bandingkan dengan nanti, setelah Ramadhan atau sesudah pemilihan, sebagian figur-figur ini belum tentu sebagian di antaranya yang sedia turun langsung ke warga, melihat dan mendengar langsung apa yang dibutuhkan warganya, tidak hanya mengandalkan laporan dari bawahannya. Kepedulian seorang pemimpin pada warganya, semestinya dapat tumbuh dari lubuk hati yang terdalam, bukan sebatas pencitraan.

Di negeri ini jelas masih banyak yang menderita kemiskinan, sementara pemimpin yang mendapatkan kursi jabatan dari menjual pencitraan pada rakyatnya seringkali tenggelam dengan posisinya, dan melupakan tugas dan tanggung jawabnya untuk menyejahterakan rakyatnya. Padahal semua mereka juga tahu bahwa setiap kekuasaan, termasuk yang diamanahkan kepada mereka, akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Yang Maha Kuasa. Firman Allah SWT: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS al Zalzalah [99]: 7-8). 

Sungguh, Umar bin Khattab ra, layak diteladani, yaitu sosok servant leader yang bersedia keliling untuk melihat dan mendengar langsung apa yang dibutuhkan warganya. Seperti dikisahkan oleh Aslam ra. di atas, ketika Umar ra. melihat ada di antara warganya yang menderita kelaparan, lalu ia berikan apa yang dibutuhkan oleh warganya tersebut.

Menyadari arti pentingnya, karakter servant leadership seperti Umar, hemat penulis, perlu dibangun pada generasi muda sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan di negara ini. Pendidikan punya peran fungsional yang penting untuk ini. Harapannya, muncul karakter pemimpin-pemimpin yang melayani di masa yang akan datang, dan bukan sebaliknya pemimpin-pemimpin yang haus pada kekuasaan, tenggelam dengan kekuasaan yang ia dapat, yang hanya pandai dalam pencitraan dan menjual kebohongan.***

 

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...