Saturday, April 1, 2023

Etnopedagogi

Oleh: Syamsul Kurniawan

MODEL etnopedagogi bisa dikatakan relatif baru sebagai diskursus dalam model-model pendidikan di Indonesia. Berbagi pendapatnya tentang ini, adalah AC Alwasilah, K. Suyadi, T. Karyono dalam bukunya berjudul Etnopedagogi: Landasan Praktik Pendidikan dan Pendidikan Guru, mengatakan bahwa kearifan lokal yang menjadi sumber belajar peserta didik, tetap mesti diberikan interpretasi baru agar relevan dengan kebutuhan belajar peserta didik. Hal yang perlu dimafhumi, baik bagi pendidik dan peserta didik, bahwa kearifan lokal memiliki karakteristik seperti: satu, berdasarkan pengalaman; dua, telah diuji secara empirik selama bertahun-tahun; tiga, dapat diadaptasi oleh budaya modern; empat, melekat pada keseharian individu dan/atau lembaga; lima, lazim dilakukan oleh individu dan/atau kelompok; enam, sifatnya dinamis; dan tujuh, berhubungan dengan sistem kepercayaan masyarakat.[1]   

Peluang

Model etnopedagogi dalam pembelajaran layak dipertimbangkan pada praksis pendidikan di sekolah/madrasah. Apalagi, banyaknya kearifan lokal yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia, bisa dijadikan sebagai daya dukung bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah/ madrasah. Namun demikian, berdasarkan karakteristik yang melekat pada kearifan lokal tersebut, praksis model etnopaedagogi otomatis sulit berdiri sendiri dengan ciri lokal ketradisionalannya dan steril dari budaya global. Bagaimanapun, pada keduanya bisa saling beririsan, membaur dan saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, model etnopedagogi dalam praksisnya di sekolah/ madrasah selayaknya bisa mempertimbangkan keduanya sekaligus, agar pengalaman belajar peserta didik bisa didapatkan secara komprehensif, dan hasilnya bisa optimal.

R. Alexander dalam buku berjudul Culture and Pedagogy: International Comparison in Primary Education menyitir adanya irisan antara pendidikan (pedagogy) dengan kebudayaan (culture) di tengah-tengah masyarakat.[2] Apa yang disitir oleh Alexander pada bukunya tersebut, dalam konteks ini menjadikan etnopaedagogi menemukan relevansinya.

Seperti telah disinggung, bahwa etnopaedagogi adalah model pendidikan yang memanfaatkan sumber-sumber kearifan lokal sebagai sumber-sumber belajar. Harapannya peserta didik tidak terasing dengan budayanya, dan karena sumber belajarnya didapat dari sumber-sumber kearifan lokal pada budaya tersebut, mereka akan menyadari betapa pentingnya pengetahuan dan keterampilan yang dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan kesemuanya tersebut bisa menjadi modal mereka dalam menyelesaikan masalah.

Model etnopaedagogi adalah model pendidikan yang menekankan pentingnya memperhatikan nilai-nilai tradisional pada budaya lokal, tanpa mengesampingkan perhatian pada aspek-aspek budaya global, yang mana pembelajaran dipandang sebagai aktifitas budaya.[3] Shimahara dan Sakai, mengungkapkan bahwa model etnopaedagogi berupaya membangun relasi yang harmonis antara pendidik dan peserta didik, dalam konstruksi pengetahuan, sikap, keterampilan, dan budaya dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Berdasarkan ini, kedudukan pendidikan dalam model etnopedagogi sangat strategis, khususnya untuk membangun irisan dari kesemuanya tersebut.[4]

Kaitannya dengan pencapaian tujuan pendidikan ini, dibutuhkan pendidik yang minimal memiliki kemampuan dasar: satu, pengetahuan dasar tentang siswa dan bagaimana mereka belajar serta berkembang dalam konteks sosial kebudayaan tertentu; dua, pengetahuan seputar isi dan tujuan kurikulum, serta bagaimana mengajarkannya; dan tiga, pengetahuan tentang mengajar yang mempertimbangkan aspek konten dan peserta didik, serta bagaimana mengembangkan situasi kelas yang produktif, dan bagaimana melakukan penilaiannya.

Menurut Von Glasersfeld, para pendidik berkewajiban membangun struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi, yang melibatkan interaksi edukatif yang konstruktif baik dari sisi pengetahuan dan pengalaman belajar yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru.[5] Dalam perspektif konstruktivisme, tiap-tiap individu belajar dengan cara mengkonstruksi pengetahuan yang mereka lakukan secara aktif ketimbang sekedar menyerap informasi.[6]

Dalam realisasinya, model etnopedagogi jelas tidak hanya membagi pengetahuan dan nilai yang bersumber dari kearifan lokal, tetapi juga memberikan situasi yang kondusif pada peserta didik sehingga mereka mendapatkan pengalaman belajar yang memadai dari sumber belajar tersebut. Untuk optimalisasinya, tentu saja dibutuhkan pendidik yang mampu mewujudkannya dalam konteks proses dan hasil.[7] Dari aspek proses, pendidik dikatakan berhasil manakala mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif baik dalam pengertian fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran. Sementara dari sisi hasil, pendidik dikatakan berhasil manakala mereka mampu membangun mental peserta didik sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai.[8] Tentunya yang dalam hal ini mesti berselaras dengan apa yang ingin dicapai dari model etnopaedagogi, yaitu peserta didik tidak terasing dengan budayanya.

Tantangan

Dalam konteks etnopedagogi, yang menjadi tantangannya adalah membangun lingkungan belajar yang konstruktif dengan kebutuhan adaptasi peserta didik terhadap situasi sosial dan kebudayaannya. Lingkungan belajar akan sangat berpengaruh terhadap efektif tidaknya model etnopedagogi yang akan dikembangkan.

Lingkungan sendiri secara kebahasaan (etymology) berasal dari kata “lingkung” yang berarti sekeliling, sekitar, dan/atau seluruh suatu lingkaran daerah.[9] Secara istilah (terminology), lingkungan bisa diartikan sebagai apapun material dan stimulus di dalam dan di luar individu, baik yang sifatnya fisiologis, psikologis, dan sosio-kultural. Dengan kata lain, kondisi yang ada dari ruang yang kita tempati, bisa disebut sebagai lingkungan.[10] Dalam konteks pendidikan, lingkungan menurut Syamsu Yusuf diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di alam sekitar, yang memiliki makna dan pengaruh terhadap karakter atau sifat dari seseorang baik secara langsung maupun tidak.[11]

Dengan demikian, jika yang dimaksud adalah lingkungan belajar, maka bisa diartikan sebagai lingkungan di mana peserta didik berada dalam situasi belajar, dan lingkungan ini sangat berdampak pada tumbuh kembangnya kepribadian peserta didik. Situasi lingkungan belajar yang baik akan mendukung bertumbuh-kembangnya kepribadian yang positif dari peserta didik. Demikian pula lingkungan belajar yang nyaman, akan membuat peserta didik kondusif dalam belajar dan mendapatkan pengalaman belajar. Kaitan dengan etnopaedagogi ini, lingkungan belajar jelas sangat penting. Setidaknya ada tiga macam lingkungan belajar yang berdampak pada peserta didik, yaitu: satu, lingkungan fisik yang meliputi sarana dan prasarana belajar, sumber belajar, dan media belajar; dua, lingkungan sosial yang menyangkut hubungan peserta didik dengan teman-temannya, hubungan antar pendidik, dan semua unsur yang ada; tiga, lingkungan akademis, yaitu situasi lingkungan belajar yang konstruktif bagi pelaksanaan aktifitas pembelajaran dan berbagai macam program lain yang mendukung aktifitas pembelajaran.[12]

Jika kita merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Pada Bab Tujuh, tentang Sarana dan Prasarana, maka yang perlu diperhatikan dalam pengembangan etnopaedagogi di sekolah/ madrasah, yaitu: satu, sarana yang mencakup perabotan, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai serta perlengkapan lainnya yang diperlukan dalam menunjang proses pembelajaran, yang teratur dan berkelanjutan; dan dua, memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, tempat rekreasi, dan ruang tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan, yang kesemuanya relevan bagi etnopedagogi.[13]

Di lingkungan belajar yang konstruktif bagi model etnopaedagogi, pendidik berperan membantu peserta didik dalam konteksnya sebagai fasilitator sehingga peserta didik mampu mengkonstruksi pengetahuan dari sumber-sumber belajarnya menjadi pengetahuannya. Pada ranah ini jelas pendidik tidaklah hanya membagi pengetahuannya kepada peserta didik. Dalam konteks sebagai fasilitator, pendidik fungsinya hanya memfasilitasi peserta didik sehingga mereka bisa membangun pengetahuan mereka masing-masing, yang dalam konteks ini pengetahuan yang bersumber dari kearifan lokal mereka. Jikapun pendidik membagi konsep, ide, dan pengetahuannya tentang hal ini pada peserta didik mereka, pemindahan itu tentu saja memberi peluang untuk diinterpretasikan kembali dan bahkan dikonstruksi ulang oleh peserta didik melalui pemahaman dan pengalaman belajar mereka sendiri.[14]***

 

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, R., Culture and Pedagogy: International Comparison in Primary Education, London: Blackwell, 2000.

Alwasilah, AC, K. Suryadi, and T. Karyono, Etnopaedagogi: Landasan Praktik Pendidikan dan Pendidikan Guru, Bandung: Kiblat Buku Utama, 2009.

Glasersfeld, E. Von, ‘A Constructivist Approach to Teaching’, in Constructivism in Education, ed. by LP Stelfe and J. Galle, Hillsdale, NJ: Laurence Erlbaum, 1995.

Hoban, GF, ‘Theories and Models of Profesional Development’, in Exploring Professional Development in Education, ed. by RJ King, DM Hill, and JA Retallick, Riverwood; NSW: Social Science Press, 1997.

Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Mitra Pelajar, 2005.

Mudri, M. Walid, ‘Kompetensi dan Peranan Guru dalam Pembelajaran’, Jurnal Falasifa, vol. 1, no. 1, 2010, pp. 111–276.

Mulyasa, Menciptakan Pelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

Saguni, Fatimah, ‘Penerapan Teori Konstruktivis dalam Pembelajaran’, Jurnal Paedagogia, vol. 8, no. 2, 2019, pp. 19–32.

Shimahara, NK and A. Sakai, ‘Teacher Internship and the Culture of Theaching in Japan’, in Education and Training in Japan, vol. II, ed. by Thomas Rohlen and Christoper Bjork, London: Routledge, 1998.

Stigler, WS and J. Hiebert, The Teaching Gap: Best Ideas from the World; Teachers for Improving Education in the Classroom, Newyork: The Free Press, 1999.

Supardi, Imam, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya, Bandung: Alumni, 2003.

Surya, Muhammad, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Dirjen Dikdasmen Direktorat Kependidikan, 2004.

Yusuf, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.



[1] AC Alwasilah, K. Suryadi, and T. Karyono, Etnopaedagogi: Landasan Praktik Pendidikan dan Pendidikan Guru (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2009).

[2] R. Alexander, Culture and Pedagogy: International Comparison in Primary Education (London: Blackwell, 2000).

[3] WS Stigler and J. Hiebert, The Teaching Gap: Best Ideas from the World; Teachers for Improving Education in the Classroom (Newyork: The Free Press, 1999).

[4] NK Shimahara and A. Sakai, ‘Teacher Internship and the Culture of Theaching in Japan’, in Education and Training in Japan, vol. II, ed. by Thomas Rohlen and Christoper Bjork (London: Routledge, 1998).

[5] E. Von Glasersfeld, ‘A Constructivist Approach to Teaching’, in Constructivism in Education, ed. by LP Stelfe and J. Galle (Hillsdale, NJ: Laurence Erlbaum, 1995).

[6] GF Hoban, ‘Theories and Models of Profesional Development’, in Exploring Professional Development in Education, ed. by RJ King, DM Hill, and JA Retallick (Riverwood; NSW: Social Science Press, 1997).

[7] M. Walid Mudri, ‘Kompetensi dan Peranan Guru dalam Pembelajaran’, Jurnal Falasifa, vol. 1, no. 1 (2010), p. 112.

[8] Mulyasa, Menciptakan Pelajaran Kreatif dan Menyenangkan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), pp. 13–4.

[9] Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), p. 318.

[10] Imam Supardi, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya (Bandung: Alumni, 2003), p. 2.

[11] Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), p. 54.

[12] Muhammad Surya, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Dirjen Dikdasmen Direktorat Kependidikan, 2004), p. 78.

[13] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

[14] Fatimah Saguni, ‘Penerapan Teori Konstruktivis dalam Pembelajaran’, Jurnal Paedagogia, vol. 8, no. 2 (2019), p. 20.

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...