Monday, August 12, 2024

Simulacra dalam Dunia Judi Online

Oleh: Syamsul Kurniawan

Presiden Joko Widodo mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bersatu dalam memberantas judi online. Langkah ini bukan hanya tindakan hukum, tetapi juga seruan moral yang mendesak. Saya setuju tentang ini.

Baudrillard dalam “Simulacra and Simulation” (1981) memperkenalkan konsep simulacra untuk menggambarkan bagaimana realitas dan representasi berbaur hingga batas di antara keduanya menjadi kabur, seperti fenomena judi online. Jelas, dalam dunia yang semakin digital, kita tidak hanya mengonsumsi realitas, tetapi juga berbagai versi realitas yang telah dimediasi oleh teknologi.

Dalam pandangan Baudrillard, simulacra adalah tiruan yang menggantikan realitas sejati. Judi online, dengan grafik canggih dan antarmuka interaktifnya, menciptakan dunia yang tampak nyata namun sebenarnya hanyalah simulasi. Pengguna terjebak dalam hyperrealism, sebuah keadaan di mana simulasi menjadi lebih nyata daripada realitas itu sendiri.

Ketergantungan dan Ilusi Kontrol

Salah satu aspek paling berbahaya dari judi online adalah ilusi kontrol yang ditawarkannya. Pengguna merasa mereka memiliki kendali atas permainan, sementara pada kenyataannya, mereka hanyalah pion dalam permainan yang dikendalikan oleh sistem. Ini adalah bentuk simulacra yang sempurna, di mana realitas digantikan oleh representasi yang tampak lebih nyata dan memikat.

Ilusi kontrol ini diperkuat oleh elemen-elemen seperti bonus, hadiah, dan insentif lainnya yang membuat pengguna merasa mereka bisa mengalahkan sistem. Padahal, di balik layar, algoritma judi online dirancang untuk memaksimalkan keuntungan penyedia layanan. Pengguna tidak lebih dari sekadar konsumen yang terperangkap dalam lingkaran kecanduan.

Tidak hanya itu, judi online juga menciptakan realitas hyperreal di mana pengguna tidak lagi dapat membedakan antara kenyataan dan ilusi. Mereka hidup dalam dunia virtual yang penuh dengan kegembiraan semu dan harapan palsu. Dalam jangka panjang, ini dapat berdampak serius pada kesejahteraan mental dan finansial individu.

Baudrillard dalam "Simulacra and Simulation" menyatakan bahwa dalam era hyperrealism, masyarakat rentan terjebak dalam dunia simulasi yang menggantikan realitas. Hal ini sangat relevan dalam konteks judi online, di mana pengguna menghabiskan waktu dan uang dalam dunia yang tidak nyata. Mereka mengejar mimpi yang tidak pernah terwujud, sementara kenyataan di sekitar mereka semakin terabaikan.

Cendekiawan Muslim, Bagaimana Berperan?

Untuk mengatasi tren judi online, kita perlu memandang peran pendidikan karakter dan agama melalui kacamata yang lebih kritis dan sistematis. Talcott Parsons dalam "The Social System" (1951) menekankan pentingnya empat fungsi utama dalam sistem sosial: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola. Cendekiawan Muslim dapat memainkan peran kunci dalam keempat fungsi ini untuk mengatasi dampak negatif dari judi online dan fenomena simulacra yang dijelaskan oleh Baudrillard.

Pertama, dalam hal adaptasi, cendekiawan Muslim dapat membantu masyarakat beradaptasi dengan perubahan cepat dalam teknologi dan informasi. Mereka bisa mengembangkan kurikulum pendidikan yang mengintegrasikan teknologi modern dengan nilai-nilai Islam, sehingga generasi muda bisa memahami dan memanfaatkan teknologi secara bijak. Ini termasuk menanamkan kesadaran kritis terhadap godaan simulacra dan ilusi yang ditawarkan oleh judi online.

Kedua, dalam hal pencapaian tujuan, cendekiawan Muslim dapat membantu merumuskan tujuan sosial dan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kebutuhan zaman. Mereka bisa menjadi pemimpin yang mengarahkan masyarakat untuk mencapai tujuan kolektif yang bermanfaat, seperti kesejahteraan sosial, keadilan, dan keberlanjutan lingkungan. Dengan fokus pada tujuan yang lebih tinggi dan bermakna, masyarakat dapat diarahkan untuk menjauhi aktivitas yang merugikan seperti judi online.

Ketiga, dalam hal integrasi, cendekiawan Muslim dapat menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, antara nilai-nilai agama dan tuntutan zaman. Mereka memiliki tanggung jawab untuk menafsirkan ajaran-ajaran Islam dengan cara yang relevan dengan konteks sosial dan politik kontemporer. Dengan demikian, mereka membantu mengintegrasikan masyarakat Muslim ke dalam dunia modern tanpa kehilangan identitas mereka, sekaligus mempromosikan nilai-nilai moral yang kuat sebagai benteng melawan godaan simulacra.

Keempat, dalam hal pemeliharaan pola, cendekiawan Muslim dapat berfungsi sebagai penjaga nilai-nilai moral dan etika yang mendasari masyarakat. Di era di mana moralitas sering dikompromikan demi keuntungan material, cendekiawan Muslim dapat mengingatkan kita tentang pentingnya integritas, kejujuran, dan keadilan. Mereka berperan sebagai panutan yang menunjukkan bahwa nilai-nilai ini esensial untuk kehidupan yang bermakna.

Pendidikan Karakter dan Moralitas sebagai Benteng

Pandangan Thomas Lickona dalam bukunya "Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility" (1991) sangat relevan dalam konteks ini. Lickona menekankan pentingnya pendidikan karakter sebagai fondasi dalam membentuk individu yang bermoral dan bertanggung jawab. Pendidikan karakter harus dimulai sejak dini dan melibatkan semua aspek kehidupan anak, baik di sekolah, keluarga, maupun masyarakat.

Dalam konteks judi online, pendidikan karakter berfungsi sebagai benteng yang kuat. Dengan menanamkan nilai-nilai moral yang kokoh, individu akan lebih mampu mengenali dan menolak godaan dari simulacra yang ditawarkan oleh judi online. Mereka akan lebih kritis dalam menghadapi dunia digital dan lebih waspada terhadap bahaya yang tersembunyi di balik layar.

Agama juga memiliki peran penting dalam mengatasi masalah judi online. Banyak ajaran agama yang mengajarkan tentang pentingnya hidup dengan jujur, menghindari perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain, serta menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab. Nilai-nilai ini menjadi panduan moral yang kuat bagi individu dalam menghadapi godaan judi online.

Institusi keagamaan juga dapat berperan aktif dengan memberikan edukasi dan bimbingan kepada jemaatnya tentang bahaya judi online. Melalui khotbah, diskusi, dan program-program lainnya, agama membantu masyarakat tetap berpijak pada nilai-nilai moral yang benar dan menjauh dari perilaku yang merusak, termasuk judi online.

Ajakan Presiden Jokowi untuk memberantas judi online adalah langkah awal yang penting. Namun, untuk benar-benar mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Pendidikan karakter dan kesadaran beragama perlu ditingkatkan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat harus diajak untuk lebih kritis dalam menghadapi dunia digital dan menyadari bahwa tidak semua yang tampak nyata adalah realitas sejati.

Selain itu, regulasi yang ketat dan penegakan hukum yang efektif sangat diperlukan untuk membatasi akses dan pengaruh judi online. Pemerintah perlu bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk penyedia layanan internet dan perusahaan teknologi, untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan sehat.***

No comments:

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...