Saturday, June 15, 2024

Peta Sukses Seorang Penulis

Oleh: Syamsul Kurniawan (Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak)

“Besar sukses seseorang ditentukan oleh seberapa kuat keinginannya; ditentukan oleh seberapa besar impiannya; dan ditentukan oleh kecakapannya dalam mengatasi kekecewaan yang ia alami,” demikian Robert T. Kiyosaki. Berdasarkan ini, impian bagi seseorang memiliki sebuah dampak yang sangat besar atas pada apa yang dapat ia capai.

Impian akan mengantarkan seseorang ke mana ia melangkah, bagaimana ia berbuat dan bersikap. Dengan impian, seseorang menjadi mengerti kapan harus memulai, melanjutkan dan mengakhiri usahanya. Segera setelah impian terwujud, seseorang dapat menggantikannya dengan impian-impian baru yang ingin dicapai.

Dalam mewujudukan impian-impian, seseorang perlu membuat semacam peta. Sehingga saat berjalan dan bertemu dengan hambatan, seseorang dapat memilih untuk melompatinya ataukah memutarinya dan mengambil jalan lain. Tanpa mengubah impian sebelumnya. Hanya mengubah arah jalan saja.


Kriteria Peta yang Dibuat

Semua orang sukses pasti pada awalnya adalah mereka yang memiliki peta impian ini. Setidaknya, itu yang bisa saya simpulkan. Peta impian inilah yang akhirnya menuntun para tokoh besar untuk meraih sukses, demikian pula saya kira amat menentukan kesuksesan seorang penulis. Namun demikian, ada kriterianya:

Pertama, Berorientasi Perubahan. Salah satu kriteria impian yang menentukan kesuksesan seorang penulis adalah impian yang berorientasi pada perubahan. Soekarno, Tan Malaka, Hamka, Kartini dan lain-lain, adalah profil tokoh nasional yang menuliskan impian-impian mereka untuk perubahan. Tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi terutama bagi banyak orang. Peta impian yang mereka miliki bahkan mendorong banyak orang juga untuk membantu para tokoh tersebut mewujudkan perubahan yang ingin mereka ciptakan.

Kedua, Fokus Ke Masa Depan. Impian tentang masa lalu tidak termasuk dalam impian yang menentukan kesuksesan seorang penulis. Sebaliknya, impian yang berorientasi ke masa depanlah yang menuntun seorang penulis meraih sukses dalam karirnya sebagai penulis.

Ketiga, Jelas. Satu lagi kriteria utama yang harus dimiliki sebuah impian agar bisa menuntun pada kesuksesan adalah kejelasan. Artinya, semakin jelas dan terperinci impian yang dimiliki, semakin mudah bagi seorang penulis untuk mengatur rencana dan strategi untuk mewujudkannya.

Setelah seorang penulis mengetahui kriteria dari impian yang menuntunnya meraih sukses, selanjutnya apa saja fungsi peta impian bagi seorang penulis?


Fungsi Peta Impian

Pertama, Kekuatan Motivasi. Peta impian seorang penulis idealnya mampu memberikan motivasi bagi penulis untuk merencanakan apa yang akan ditulis. Dengan memiliki peta impian juga seorang penulis terpacu berusaha memulai langkah pertama menuju sukses yang ia impikan sebagai seorang penulis. Tentu saja, seorang penulis bersemangat (karena impian-impian yang ia punya), punya korelasi dengan kualitas tulisan yang ia buat. Saya selalu menyarankan, bahwa agar termotivasi menulis, “tulislah sesuatu sesuai kemauan dan kemampuan”.

Kedua, Kekuatan Arah. Selain mampu memberikan motivasi yang kuat untuk bertindak, peta impian yang jelas dan terperinci juga mampu memberikan arah yang jelas bagi seorang penulis ke arah mana ia harus melangkah, mengambil sikap, atau memberikan solusi yang tepat sehubungan dengan persoalan-persoalan yang ia tulis.

Ketiga, Kekuatan Menggulirkan Perubahan. Kekuatan yang juga sangat penting adalah kekuatan menggulirkan perubahan. Tanpa peta impian tak akan ada perubahan. Peta impianlah yang menuntun seseorang membuka jendela ke perubahan positif di masa depan. Melalui peta impian seorang penulis bisa melihat masa depan. Gambaran perubahan positif di masa depan inilah yang akhirnya mendorong seorang penulis mewujudkan perubahan tersebut. Hal ini juga yang dialami misalnya, RA. Kartini, yang ingin mengubah derajat para wanita Indonesia, dan mengangkatnya ke tingkat yang lebih tinggi melalui pendidikan. Ia pun lalu terdorong menuliskan “unek-unek”nya ke dalam bentuk surat dan selanjutnya mengirimi surat yang ia tulis kepada sahabat-sahabat Belandanya. Peta impian sekali lagi memberi bukti, telah memberi kekuatan yang dahsyat kepada RA Kartini untuk memperjuangkan perubahan, dalam hal ini melalui tulisan.

Seorang penulis tidak akan pernah mencapai sukses sebagai seorang penulis, jika dia tidak memiliki peta impian ini, kemudian bekerja keras siang malam untuk meraih impiannya tersebut, menemukan terobosan-terobosan bagus untuk masa depan anak didiknya. Kerja keras seorang penulis memang perlu. Namun hanya mengandalkan kerja keras tidaklah cukup untuk membangun sukses yang besar.

Seorang penulis tanpa tujuan yang jelas, tanpa mengetahui dan mengerti fungsi dan perannya sebagai seorang penulis; adalah sama dengan dilema pulau impian, yaitu pulau di mana terdapat semua yang diimpikan. Satu-satunya cara untuk mendapatkan itu semua adalah sampai ke pulau itu. Pulau itu ada di belakang cakrawala. Tapi cakrawala yang mana? Masalahnya adalah, penulis tersebut tidak punya kompas, peta, radio, telpon, dan tidak tahu mana arah pulau yang ia ingin tuju. Arah yang salah akan membuat penulis tersebut melenceng jauh sekali dari pulau impian.

Seperti itulah pentingnya peta impian bagi seorang penulis. Semua impian, baik untuk dirinya maupun untuk kesuksesan anak didiknya di masa depan, bisa diraih jika mengikuti petunjuk peta impian. Yaitu apa, di mana, dan bagaimana mencapainya. Seperti sudah diuraikan di muka, saat berjalan dan bertemu dengan hambatan, peta impian bisa dijadikan panduan, untuk dapat memilih: melompatinya ataukah memutarinya dan mengambil jalan lain. Tanpa mengubah impian. Hanya mengubah arah jalan saja.

Maka saran saya, jika Anda ingin menjadi penulis, buatlah sebuah peta impian Anda, ikutilah petunjuk peta impian yang Anda buat, jangan mudah menyerah, jangan pernah takut pada celaan pembaca. Seperti pendapat Robert T. Kiyosaki di muka, “Besar sukses seseorang ditentukan oleh seberapa kuat keinginannya; ditentukan oleh seberapa besar impiannya; dan ditentukan oleh kecakapannya dalam mengatasi kekecewaan yang ia alami.”***

Pondok Pesantren dan Moderasi Beragama

Oleh: Syamsul Kurniawan

SECARA historis, sebagai lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren telah melalui perjalanan yang panjang di negeri ini. Pondok pesantren dapat dikatakan telah berkiprah secara signifikan pada zaman-zaman yang dilaluinya, baik sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan ajaran Islam, sebagai lembaga dakwah, maupun sebagai lembaga pemberdayaan dan pengabdian masyarakat. Hal ini sesuai dengan makna pondok pesantren sebagai tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam.

Secara umum pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama, kyai sebagai figur sentralnya, dan masjid sebagai titik pusat yang menjiwainya. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren semestinya dapat menjadi pusat pencerdasan karakter santri-santrinya, baik spiritual (SQ), intelektual (IQ), dan emosional (EQ). Untuk itu lingkungan pesantren secara keseluruhan adalah lingkungan yang dirancang untuk kepentingan pendidikan. Sehingga segala yang didengar, dilihat, dirasakan, dikerjakan dan dialami para santri, atau seluruh penghuni pesantren terkondisikan untuk kepentingan pencapaian tujuan pendidikan.

Pada konteks inilah, pesantren selalu relevan untuk diandalkan peran fungsionalnya dalam mencetak dari rahim pendidikannya, lulusan-lulusan pesantren yang memiliki kesadaran moderat dalam beragama. Istilah moderasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin, yaitu moderatio yang mempunyai arti sedang (tidak lebih dan tidak kurang). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) moderasi memiliki dua pengertian, yaitu pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Dalam bahasa Inggris, kata moderation  sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak memihak).

Istilah moderasi beragama terbentuk dari dua kata, yakni kata moderasi dan beragama. Moderasi berasal dari kata moderat yang memiliki arti menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem atau kecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Dalam bahasa Arab (Al-Qur’an), moderasi disebut dengan istilah wasathiyah. Istilah ini berasal dari kata al-wasth atau al-wasath, keduanya merupakan bentuk infinitive (mashdar) dari kata kerja wasatha, maka kata al-wasthiyah berdasarkan makna etimologis di atas berarti suatu karakter atau sifat terpuji yang menjaga seseorang dari kecenderungan bersikap ekstrem. Pada mulanya al-Wasath bermakna segala yang baik yang berada pada posisi di antara dua yang ekstrem. Misalnya, sifat berani (al-saja’ah) adalah pertengahan antara sifat ceroboh dan takut. Sifat dermawan merupakan sifat pertengahan antara boros dan kikir. Dengan demikian, orang yang menjadi penengah di antara orang yang berseteru atau bertanding disebut wasith (wasit) yang selalu berada pada posisi tengah dan berlaku adil bagi kedua belah  pihak yang berseteru atau bertanding.

Al-wasthiyah  secara terminologis berarti moderat, yaitu suatu metode berpikir, berinteraksi, berperilaku yang didasari atas sikap tawazun (seimbang) dalam menyikapi dua keadaan perilaku yang dimungkinkan untuk dianalisis dan dibandingkan sehingga dapat ditemukan sikap yang sesuai dengan kondisi dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama dan tradisi masyarakat.

Moderasi agama selama ini di Indonesia dipahami sebagai jalan hidup: pertama, konsep beragama dengan tidak menggunakan kekerasan; kedua, mengimplementasikan nilai-nilai modern dalam beragama; ketiga, berpikir secara rasional untuk memiliki penafsiran dan pemahaman agama; keempat, beragama secara kontekstual sehingga tidak terpaku pada teks; serta kelima, dalam berijtihad mengacu pada Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman.


Yang perlu dilakukan

Dalam membangun kesadaran santri/santriwatinya terhadap pentingnya moderasi beragama, penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren saat ini hendaknya dapat menggunakan paradigma belajar pendidikan modern seperti paradigma belajar dalam empat visi pendidikan menuju abad 21 versi UNESCO yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.

Pertama, proses belajar yang bersifat teoritis dan berorientasi pada pengetahuan rasional dan logis (learning to know) sebagai sesuatu yang inheren dalam pendidikan pondok pesantren. Di pondok pesantren para santri tidak hanya belajar untuk mengetahui tetapi juga belajar menyatakan pendapat secara kritis melalui berbagai fasilitas yang disediakan untuk itu terhadap diskursus moderasi beragama.
Kedua, belajar untuk melakukan atau berbuat sesuatu (learning to do). Visi ini lebih terkait dengan sisi praktis dan teknis yang pencapaiannya dilakukan melalui pembekalan santri dengan keterampilan-keterampilan yang dapat membantunya menyelesaikan secara moderat persoalan-persoalan keseharian yang dihadapinya yang berhubungan dengan keagamaan. 
Ketiga, learning to be. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses belajar menjadi diri sendiri (learning to be) di lingkungan pondok pesantren. Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, serta belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya adalah proses pencapaian aktualisasi diri. Pengembangan diri secara maksimal (learning to be) di pondok pesantren erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak dan kondisi lingkungan seorang santri. Kemampuan diri yang terbentuk di pesantren secara maksimal memungkinkan seorang santri untuk mengembangkan diri pada tingkat yang lebih tinggi. Terhadap kesadaran moderasi beragama, jelas bagian ini sangat penting.
Keempat, learning to live together. Pendidikan di pondok pesantren hendaknya menanamkan kesadaran bahwa kita sedang hidup dalam sebuah masyarakat global dengan aneka ragam latar belakang sosial, budaya, bahasa, suku, bangsa dan agama. Dalam kehidupan masyarakat yang demikian ini, nilai-nilai toleransi, tolong-menolong, persaudaraan, saling menghormati dan perdamaian hendaknya dijunjung tinggi oleh setiap santri. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pondok pesantren harus menjadi pionir bagi terciptanya suatu tatanan kehidupan masyarakat plural yang harmonis, karena keadaan santri-santri pondok pesantren yang memang berbeda latar belakang sosial budayanya.

Keempat visi belajar di atas selanjutnya mengarah pada “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar). Di pondok pesantren, santri hendaknya dapat dididik untuk menjadi pembelajar sejati, dia dapat belajar dari apa saja, dari siapa dan apa saja, kapan saja dan di mana saja, bahkan pada alam. Proses belajar harusnya telah menjadi suatu sikap atau kepribadian yang melekat pada diri seorang santri, termasuk dalam konteks kebutuhan belajar moderasi beragama.

Di pondok pesantren, learning how to learn dapat ditanamkan  melalui berbagai cara, baik melalui pengajaran formal, pengajian, pengarahan, bimbingan, penugasan, pelatihan, dan seterusnya. Jadi segala yang didengar, dilihat, dirasakan, dikerjakan, dan dialami para santri dimaksudkan supaya santri mengerti tentang “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar).

Untuk menjawab tantangan dan kebutuhan sosial pondok pesantren dalam mengajarkan moderasi beragama, semestinya pondok pesantren dapat mengambil langkah-langkah pembaruan. Di antara yang dapat dilakukan pondok pesantren adalah dengan melakukan pembaruan kurikulum dan kelembagaan yang berorientasi pada konteks kekinian sebagai respons dari modernitas. Tetapi tidak semua unsur modernitas dapat diserap oleh pondok pesantren, sebab bukan tidak mungkin orientasi semacam itu akan menimbulkan implikasi negatif terhadap eksistensi dan fungsi pondok pesantren. Sebaliknya pondok pesantren harus menumbuhkan apresiasi yang sepatutnya terhadap semua perkembangan yang terjadi di masa kini dan mendatang, sehingga dapat memproduksi ulama yang berwawasan luas dan moderat.

Sekurang-kurangnya ada empat hal yang perlu diperhatikan oleh pondok pesantren  dengan tidak meninggalkan jati diri pesantren dalam konteks membangun kesadaran moderasi beragama ini.

Pertama, pondok pesantren sebagai lembaga “pengkaderan ulama”. Fungsi ini hendaknya tetap dapat dipertahankan di pondok pesantren. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang bertugas melahirkan ulama. Namun demikian, tantangan globalisasi dan modernisasi mengharuskan ulama mempunyai kemampuan lebih, kapasitas intelektual yang memadai, wawasan, akses pengetahuan dan informasi yang cukup serta responsif terhadap perkembangan dan perubahan. Menjadi moderat dalam beragama, tidak lantas kebablasan kebarat-baratan, sebab modern tak berati kebarat-baratan. Menjadi moderat, berarti menerima modernisasi dan bisa beradaptasi dengan globalisasi tanpa harus kehilangan jati diri.

Kedua, Pondok pesantren sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan agama, khususnya agama Islam. Pada tataran ini, sebagian pondok pesantren boleh dibilang masih lemah dalam penguasaan ilmu dan metodologi. Kecenderungan demikian harus dipikirkan langkah-langkah antisipasinya. Semisal dengan menyusun pola kurikulum yang terencanakan dan sistematis dan dengan target pencapaian yang jelas. Dapat dimafhumi sebagian pondok pesantren dalam sistem pengajarannya masih menggunakan standar acuan kitab-kitab kuning klasik tanpa diubah dan dimodifikasi sistem penyampaian/pengajarannya meskipun telah menerapkan sistem pendidikan madrasah. Langkah lainnya adalah dengan kembali menggairahkan kegiatan-kegiatan diskusi atau musyawarah, bahtsul masail, dan pola-pola pembelajaran yang dipandang bisa menumbuhkan daya inisiatif, kreatif dan kritis di kalangan para santri. Dalam konteks membangun kesadaran moderasi beragama, hal-hal ini juga penting diperhatikan.

Ketiga, Pondok pesantren hendaknya mampu menempatkan dirinya sebagai sarana transformasi, motivasi sekaligus inovasi dalam pengajaran moderasi beragama. Kehadiran sebagian pesantren dewasa ini diakui memang telah memainkan perannya dalam fungsi itu, meskipun boleh dikatakan masih dalam tahapan yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Karena itu pondok pesantren mesti mengembangkan wawasan pengetahuan agama santri-santrinya dengan mengintegrasikan materi seperti ilmu-ilmu al-Quran, hadits, ushul fiqh, dan lain-lain dengan materi-materi umum seperti sejarah, sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Pondok pesantren jangan dibuat terkesan fiqh-oriented, tapi menjadi pusat pengkajian segala macam disiplin ilmu, dan ini penting dalam mengajarkan moderasi beragama.

Keempat, Sebagai salah satu komponen penting dalam pembangunan sumber daya masyarakat, pondok pesantren juga mesti memiliki kekuatan dan daya tawar untuk melakukan perubahan yang berarti di masyarakat. Seorang santri hendaknya dapat dididik untuk dapat menjadi pionir dalam usaha menjadi pelopor moderasi beragama di tengah-tengah masyarakat.***

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...