Thursday, October 17, 2024

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama)

"Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian antaragama, dan tidak ada perdamaian antaragama tanpa dialog antaragama." — Hans Küng.

Kutipan ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh dunia saat ini, terutama bagi negara multikultural seperti Indonesia. Sebagai bangsa yang terdiri dari beragam agama, dialog antaragama bukan hanya sebuah opsi, melainkan keharusan. Di tengah keragaman yang kaya, potensi perbedaan yang memicu ketegangan tak dapat diabaikan. Maka, dialog menjadi jembatan untuk menciptakan harmoni. Namun, masa depan dialog antaragama di Indonesia bukanlah sesuatu yang terbentuk secara alami. Ia memerlukan kesadaran, kebiasaan berpikir kritis, dan keterbukaan untuk memahami pihak lain. 

Indonesia adalah negara dengan populasi besar yang menganut berbagai agama. Mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, hingga Konghucu, semua agama ini hidup berdampingan dalam satu bangsa. Namun, kehidupan yang damai di tengah keberagaman ini tidak serta-merta terbentuk tanpa usaha. Dalam sejarahnya, Indonesia kerap mengalami gesekan antaragama, dari konflik skala kecil hingga besar yang melibatkan kekerasan. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberagaman perlu dikelola secara aktif melalui upaya dialog dan kolaborasi. 

Dialog antaragama adalah elemen kunci dalam menjaga kedamaian di tengah pluralitas agama. Ini bukan hanya soal mempertemukan pemimpin-pemimpin agama untuk berbincang, tetapi juga melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi dalam percakapan yang lebih luas tentang bagaimana hidup bersama dalam perbedaan. Dalam konteks ini, moderasi beragama berperan besar sebagai landasan untuk dialog yang sehat dan konstruktif. Moderasi mengajarkan sikap terbuka, menghargai, dan menolak ekstremisme dalam segala bentuknya. 

Namun, membangun dialog antaragama yang kokoh di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Isu-isu politik, sosial, dan ekonomi sering kali menjadi latar belakang konflik yang terjadi atas nama agama. Oleh karena itu, dialog antaragama tidak bisa hanya menjadi wacana di kalangan elite, melainkan harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pertanyaannya adalah, bagaimana Indonesia bisa mewujudkan masa depan dialog antaragama yang lebih inklusif dan efektif?. 

Pendidikan sebagai Kunci Masa Depan Dialog Antar-Agama

Salah satu cara untuk memperkuat dialog antaragama adalah melalui pendidikan. Pendidikan memiliki peran sentral dalam menanamkan nilai-nilai keterbukaan dan penghargaan terhadap keberagaman. Sejak dini, siswa harus diajarkan bahwa perbedaan agama bukanlah ancaman, melainkan bagian dari realitas sosial yang harus diterima dan dipahami. Untuk mewujudkan ini, diperlukan desain pembelajaran yang mendorong literasi kritis, yaitu kemampuan untuk berpikir mendalam, menganalisis, dan memahami berbagai perspektif.

Literasi kritis dalam konteks agama berarti memberikan ruang bagi siswa untuk mempelajari ajaran agama mereka sendiri, sekaligus memahami ajaran agama lain tanpa prasangka. Pendidikan yang demikian bisa membantu membentuk generasi yang lebih siap terlibat dalam dialog antaragama, karena mereka tidak hanya mengenal agamanya, tetapi juga memahami posisi dan keyakinan pihak lain.

Di banyak sekolah dan universitas, pelajaran agama sering kali hanya berfokus pada pengajaran doktrin agama masing-masing tanpa ada upaya untuk mengaitkan ajaran tersebut dengan ajaran agama lain. Ini bisa menyebabkan eksklusivitas yang justru berpotensi memperkuat prasangka. Oleh karena itu, penting untuk merancang kurikulum yang memungkinkan siswa dari berbagai latar belakang agama untuk berdialog, berbicara, dan mendiskusikan nilai-nilai universal yang mereka anut, seperti keadilan, kedamaian, dan kasih sayang.

 

Dialog Antaragama di Tingkat Masyarakat

 

Selain pendidikan formal, dialog antaragama harus terjadi di tingkat masyarakat akar rumput. Di sinilah kehidupan sehari-hari bertemu dengan berbagai dinamika keagamaan yang nyata. Banyak daerah di Indonesia, terutama yang memiliki komposisi agama yang heterogen, telah berhasil mempraktikkan dialog antaragama secara alami. Misalnya, di beberapa Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat, masyarakat dari berbagai agama hidup berdampingan dengan damai. Seperti di Singkawang dan Sanggau. Mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial bersama, seperti gotong royong, perayaan hari besar keagamaan, dan aksi solidaritas. 

Namun, di banyak tempat lain, ketegangan agama tetap menjadi tantangan besar. Isu-isu seperti pembangunan rumah ibadah, distribusi sumber daya, atau kebijakan pemerintahan lokal sering kali menjadi pemicu konflik agama. Dalam situasi seperti ini, dialog antaragama harus didorong secara aktif oleh pemerintah dan masyarakat sipil. Forum-forum diskusi antaragama bisa menjadi wadah untuk menyelesaikan perbedaan, meredam prasangka, dan membangun pemahaman bersama.

Peran tokoh agama sangat penting dalam menggerakkan dialog di tingkat masyarakat. Sebagai sosok yang dihormati, para pemimpin agama bisa menjadi penghubung antara kelompok-kelompok yang berbeda. Mereka juga bisa berfungsi sebagai mediator dalam situasi konflik, membawa semangat moderasi dan keadilan dalam penyelesaian masalah.

Teknologi sebagai Jembatan Dialog Antaragama

Di era digital ini, teknologi informasi juga bisa menjadi sarana untuk memperkuat dialog antaragama. Media sosial, misalnya, bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan pesan-pesan positif tentang pentingnya kerukunan dan dialog antaragama. Sayangnya, media sosial sering kali justru menjadi alat penyebaran kebencian dan ekstremisme. Untuk itu, diperlukan literasi digital yang kuat agar masyarakat bisa memanfaatkan teknologi secara bijak dan tidak terjebak dalam narasi-narasi intoleran.

Kampanye dialog antaragama bisa dilakukan melalui platform-platform digital yang banyak diakses oleh generasi muda, seperti Instagram, Twitter, dan TikTok. Konten yang kreatif dan menarik dapat menarik minat anak muda untuk terlibat dalam percakapan tentang keberagaman agama dan pentingnya toleransi. Dengan cara ini, dialog antaragama tidak lagi terbatas pada ruang fisik, tetapi bisa meluas ke dunia digital yang lebih inklusif.

Selain itu, platform daring juga bisa dimanfaatkan untuk menggelar diskusi atau webinar tentang moderasi beragama dan pentingnya dialog antaragama. Ini akan membuka kesempatan bagi lebih banyak orang untuk terlibat dalam percakapan tersebut, tanpa terhalang oleh batas geografis.

Masa Depan Dialog Antaragama: Sebuah Harapan untuk Indonesia

Masa depan dialog antaragama di Indonesia bergantung pada komitmen kita semua untuk terus merawat dan memperkuat hubungan antaragama. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi contoh bagi dunia dalam hal moderasi beragama dan kerukunan antarumat. Namun, ini tidak akan tercapai tanpa usaha nyata untuk menanamkan nilai-nilai moderasi, keterbukaan, dan penghargaan terhadap perbedaan.

Pemerintah, tokoh agama, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil harus bekerja sama untuk menciptakan ruang-ruang dialog yang inklusif, baik di dunia nyata maupun di dunia digital. Pendidikan yang menekankan literasi kritis dan dialog antaragama sejak dini, serta keterlibatan aktif masyarakat dalam kegiatan dialog, akan menjadi fondasi kuat bagi masa depan yang lebih damai.

Di penghujung semuanya, dialog antaragama bukan hanya tentang menghindari konflik, tetapi tentang membangun ikatan sosial yang lebih kuat di tengah keragaman. Ketika setiap orang merasa didengar dan dihargai dalam perbedaan mereka, barulah kita bisa mewujudkan Indonesia yang damai, adil, dan sejahtera.

Dialog antaragama, jika terus dipupuk dengan tekun, akan menjadi jembatan menuju masa depan yang penuh dengan harapan dan harmoni.***


Mengintegrasikan HAM dalam Kurikulum PTKI

Oleh: Syamsul Kurniawan

PENDIDIKAN tinggi merupakan benteng penting dalam pembentukan manusia yang berwawasan luas, kritis, dan manusiawi. Dalam konteks Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), tugas ini semakin mendalam karena ada tanggung jawab moral yang melekat untuk menanamkan nilai-nilai agama sekaligus hak asasi manusia (HAM). Integrasi HAM ke dalam kurikulum PTKI bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan yang mendesak dalam upaya mencetak generasi mahasiswa Muslim yang memahami dan menghidupi nilai-nilai keadilan, persamaan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. 

Thomas Jefferson, seorang filsuf dan negarawan, menegaskan bahwa HAM bukanlah hak yang diberikan oleh negara, melainkan hak alami yang dianugerahkan oleh Tuhan. Dalam ranah pendidikan tinggi, terutama di PTKI, pandangan ini harus dipahami secara mendalam. Hak asasi bukanlah sekadar topik diskusi teoritis, melainkan fondasi etis yang menghidupi setiap interaksi sosial dan akademik. Dengan begitu, pendidikan di PTKI sepatutnya berperan sebagai katalis utama dalam membangun kesadaran mahasiswa akan HAM sebagai nilai yang inheren dalam setiap aspek kehidupan mereka (United State Information Agency, 1991, hlm. 8). 

HAM, sebagaimana dipahami dalam Universal Declaration of Human Rights, merupakan hak kodrati yang tidak dapat dipisahkan dari esensi kemanusiaan. Pendidikan yang gagal mengintegrasikan prinsip ini berisiko menghasilkan lulusan yang cerdas secara intelektual, tetapi tumpul secara moral. Di PTKI, kurikulum yang memuat nilai-nilai HAM tidak hanya berbicara tentang hukum atau hak legalistik, melainkan juga tentang bagaimana mahasiswa belajar menghargai hak orang lain dalam setiap interaksi sosial dan akademik mereka (United State Information Agency, 1991, hlm. 20). 

Sebagaimana diungkapkan oleh Mariam Budiardjo, HAM adalah hak yang dimiliki setiap manusia sejak lahir, tanpa memandang bangsa, agama, atau jenis kelamin. Mengintegrasikan HAM ke dalam pendidikan berarti membuka ruang bagi mahasiswa untuk memahami hak-hak mereka sendiri, sekaligus tanggung jawab mereka dalam menjaga hak orang lain. Dalam pendidikan yang berlandaskan HAM, mahasiswa tidak hanya didorong untuk menjadi individu yang mandiri, tetapi juga untuk menjadi anggota masyarakat yang peduli terhadap keadilan sosial dan kesejahteraan kolektif (Budiharjo, 1985, hlm. 120). 

Di Indonesia, pentingnya HAM dalam pendidikan tinggi telah diakui secara legal. UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa negara, hukum, dan pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi HAM setiap warga negara. Di PTKI, peran strategis pendidikan agama menjadi sangat penting dalam menanamkan kesadaran HAM kepada mahasiswa Muslim. Namun, dalam praktiknya, integrasi HAM ke dalam kurikulum masih sering terbatas pada wacana normatif, tanpa aplikasi nyata yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari. 

Pendidikan yang mengedepankan HAM harus berangkat dari cara PTKI mengoperasikan lembaganya. Relasi antara dosen dan mahasiswa, serta interaksi antarmahasiswa, harus dilandasi oleh prinsip saling menghormati dan menjaga martabat manusia. Nilai-nilai moral dan spiritual yang diajarkan di PTKI seharusnya menjadi fondasi kuat untuk memperdalam kesadaran akan pentingnya HAM. Di sinilah peran pendidikan agama bukan hanya sebatas transfer pengetahuan, melainkan juga sebagai medium transformasi karakter. 

Namun demikian, tantangan yang dihadapi dalam mengintegrasikan HAM di PTKI tidaklah sederhana. Salah satu tantangan utama adalah keberadaan budaya kekerasan, baik fisik maupun psikologis, yang kadang terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Kekerasan ini bisa datang dari sesama mahasiswa atau bahkan dari dosen, yang tentunya bertentangan dengan esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang aman bagi setiap individu untuk berkembang tanpa ancaman atau tekanan. 

UU Pendidikan Nasional melalui Pasal 4 ayat 1 menegaskan bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis, berkeadilan, dan nondiskriminatif. Ini menandakan pentingnya penghormatan terhadap HAM dalam seluruh aspek proses pendidikan. Setiap tindakan yang merendahkan martabat manusia—baik melalui kekerasan verbal maupun fisik—harus dieliminasi dari lingkungan pendidikan tinggi. Implementasi pendidikan HAM tidak bisa hanya berada pada tataran teori, tetapi harus tercermin dalam setiap tindakan dan kebijakan yang diambil oleh PTKI (Nurkhoiron, 2018). 

Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, PTKI memiliki keistimewaan tersendiri dalam mengintegrasikan HAM ke dalam kurikulum. Ajaran agama Islam yang menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kasih sayang terhadap sesama manusia menjadi landasan yang kokoh untuk membentuk generasi mahasiswa yang peka terhadap HAM. Hal ini memberikan peluang besar bagi PTKI untuk menjadi pelopor dalam menyebarkan kesadaran HAM di kalangan mahasiswa Muslim. 

Meski demikian, upaya ini seringkali terhalang oleh interpretasi agama yang kaku. Beberapa PTKI melihat HAM sebagai konsep yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai agama, padahal, jika dipahami secara mendalam, ajaran agama justru mendukung nilai-nilai HAM yang universal. Peran dosen sangat penting dalam mengajarkan pemahaman agama yang inklusif dan komprehensif kepada mahasiswa, sehingga mereka bisa menghargai HAM sebagai bagian integral dari ajaran agama mereka. 

Pendidikan HAM di PTKI seharusnya tidak hanya sebatas mengajarkan hak-hak individu, tetapi juga tanggung jawab kolektif untuk menjaga hak orang lain. Proses pendidikan harus mencerminkan penghargaan terhadap martabat manusia, baik dalam hubungan antara dosen dan mahasiswa maupun dalam interaksi antar sesama mahasiswa. Penghormatan ini akan membentuk karakter mahasiswa yang lebih peduli dan memiliki rasa tanggung jawab sosial yang tinggi (Nurkhoiron, 2018). 

Konsep pendidikan melalui HAM, sebagaimana dinyatakan dalam UN Declaration on Education and Training 2012, menekankan bahwa relasi dalam proses pembelajaran harus didasarkan pada penghormatan HAM. Ini berarti, integrasi HAM dalam kurikulum PTKI tidak cukup hanya pada materi pelajaran, tetapi juga harus diterapkan dalam cara berinteraksi dan berelasi di ruang kelas. Setiap individu, baik dosen maupun mahasiswa, harus diperlakukan dengan adil, setara, dan tanpa diskriminasi. 

Perguruan tinggi keagamaan Islam perlu melakukan refleksi terhadap budaya internal yang ada. Budaya kekerasan dan diskriminasi harus digantikan dengan budaya dialog yang menghargai martabat manusia. Tanpa perubahan budaya ini, upaya integrasi HAM dalam kurikulum hanya akan menjadi jargon yang tidak memiliki dampak nyata. Oleh karena itu, perubahan struktural dan kultural di PTKI menjadi prasyarat penting untuk keberhasilan integrasi HAM dalam pendidikan. 

Pelatihan bagi dosen terkait HAM juga sangat diperlukan. Dosen memegang peran sentral dalam menciptakan lingkungan belajar yang menghargai HAM. Pelatihan ini akan memberikan mereka wawasan tentang bagaimana prinsip-prinsip HAM dapat diterapkan dalam praktik pengajaran, serta bagaimana mereka bisa menjadi contoh yang baik bagi mahasiswa dalam menjunjung nilai-nilai HAM. Keterlibatan aktif dosen dalam menyebarkan nilai-nilai HAM di PTKI sangat penting untuk menciptakan lingkungan akademik yang inklusif dan demokratis. 

Pendidikan yang berbasis HAM juga harus melibatkan partisipasi aktif mahasiswa. Mereka tidak hanya dipandang sebagai objek pendidikan, tetapi juga sebagai subjek yang memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Dalam konteks PTKI, pendidikan HAM harus membuka ruang bagi mahasiswa untuk berdiskusi secara kritis tentang isu-isu HAM yang relevan dengan kehidupan mereka, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar. 

Penting bagi kurikulum PTKI untuk mengakomodasi metode pembelajaran yang interaktif, yang mendorong mahasiswa berpikir kritis dan reflektif. Mahasiswa perlu dilatih untuk memahami bahwa kebebasan mereka tidak berarti kebebasan untuk melanggar hak orang lain. Pendidikan HAM di PTKI harus mampu menanamkan kesadaran bahwa setiap hak harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial terhadap sesama. 

Dalam proses ini, dukungan pemerintah dan lembaga terkait sangat diperlukan. Pemerintah harus memastikan bahwa PTKI benar-benar mengimplementasikan prinsip-prinsip HAM dalam penyelenggaraan pendidikannya. Lembaga-lembaga HAM juga dapat berperan dalam memberikan pelatihan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung implementasi HAM di perguruan tinggi, sehingga kesadaran akan pentingnya HAM semakin tumbuh di kalangan mahasiswa Muslim. 

Integrasi HAM dalam kurikulum PTKI adalah langkah penting menuju terciptanya generasi Muslim yang manusiawi, adil, dan bertanggung jawab. Generasi yang tidak hanya memahami hak-hak mereka, tetapi juga berkomitmen untuk menjaga hak-hak orang lain. Dengan pendidikan yang berlandaskan HAM, PTKI akan mampu mencetak lulusan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki jiwa kemanusiaan yang kuat, serta mampu berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa.*** 

Bahan Bacaan

Budiharjo, M. (1985). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia.

Nurkhoiron, M. (2018, Mei). Membangun Paradigma HAM di Sekolah. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/opini/159231/membangun-paradigma-ham-di-sekolah

United State Information Agency. (1991). What is Democracy [Magazine]. United State Information Agency.

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...