Thursday, July 25, 2024

The Mosque Under the Influence of Sufism

By: Syamsul Kurniawan

During the time of the Prophet Muhammad (peace be upon him), there was a group known as the Ahlus Shuffah. These were guests of Islam who had no family, wealth, or anyone to turn to, and they resided in the back porch of the Mosque. In the study of Sufism, the Ahlus Shuffah are considered the forerunners of Sufism. The term "tasawuf" is often derived from this word "shuffah." Several sources mention that the Ahlus Shuffah were the early generation of Sufis.

The Ahlus Shuffah were companions who migrated with the Prophet Muhammad (peace be upon him) to Medina, leaving their wealth in Mecca. In Medina, they lived as poor people, staying beside the Prophet’s Mosque and sleeping on benches with shuffah (saddle cloths) as pillows. Despite having nothing, they were kind-hearted and noble, not prioritizing worldly matters. They spent most of their time in the mosque, engaging in worship and learning with the Prophet Muhammad (peace be upon him). The Ahlus Shuffah were companions who migrated to Medina, most of whom were from the poor or impoverished. When the Prophet Muhammad (peace be upon him) arrived in Medina and built the Prophet’s Mosque, he also constructed a lodging area called suffah. This space, connected to the Prophet’s Mosque, was used by the Ahlus Shuffah. At that time, the Prophet’s Mosque served as a center for scholarly study with many followers, mainly from the Ahlus Shuffah. It can be said that this suffah became the forerunner of dormitories for students of knowledge. According to Ibn Taimiyah, the number of students in As-Suffah reached up to 400, though Ibn Qatadah argued the number was around 900. These Ahlus Shuffah would later spread Islam, and their missionary work was undoubtedly characterized by their Sufi habits.

Not only did they participate in spreading Islam with a Sufi perspective, but the followers of Sufism, who were close to the mosque, also influenced the mosque with their presence. They essentially enlivened the mosque with their typical Sufi activities. Sufism, or tasawuf, is the mystical aspect of Islam that emphasizes achieving closeness to Allah through spiritual practices such as dhikr, meditation, and complete devotion to God. Mosques play a crucial role in the development of Sufism, particularly through activities that encourage spiritual introspection and the study of tasawuf.

From this perspective, mosques have always been open to all Muslims and serve as inclusive public spaces. This aligns with Habermas’s concept of public space, which must be accessible to everyone without discrimination. Activities such as halaqah ilmu (study circles) and majlis dhikr (gatherings for the remembrance of God) reflect free and rational discourse. Discussions in this context are not only limited to religious teachings but also cover social and moral issues relevant to daily life, supporting the formation of a critical and rational public opinion. Essentially, mosques can be utilized for various purposes, including the development of Sufism.

Some common Sufi activities often conducted in mosques include: 

1. Majlis Dhikr: Gatherings designed to remember Allah through collective recitation of dhikr. This practice is central in tasawuf to achieve purity of heart.

2. Halaqah Ilmu: Discussions and learning sessions on tasawuf led by a teacher or mursyid, providing deep understanding of Islamic spirituality.

3. I’tikaf: The practice of secluding oneself in the mosque to draw closer to Allah, typically during Ramadan. I'tikaf serves as an important means for spiritual development for Sufi followers.

4. Sufi Lectures and Sermons: Spiritual enlightenment delivered by Sufis to deepen the understanding of God and spiritual attainment as per Sufi principles.

Several renowned Sufi figures who often utilized mosques to teach their students in Sufism include:

- Hasan al-Basri (642–728): A famous scholar and Sufi known for his teachings on simplicity and devotion to Allah, often giving lectures at the Basrah Mosque.

- Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111): A prominent theologian and philosopher who actively taught in mosques, with his works like "Ihya Ulum al-Din" still used as teaching materials in various mosques.

- Jalaluddin Rumi (1207–1273): A great poet and Sufi who held gatherings in mosques to spread teachings of love and closeness to God through his poetry.

Moreover, the influence of Sufism is evident not only in the religious life of Muslims but also in the arts and architecture, including mosque buildings. Sufism emphasizes simplicity, spiritual beauty, and deep symbolism, all of which are reflected in mosque architecture. Some architectural elements influenced by Sufism include:

1. Mihrab: The prayer niche facing Mecca, often adorned with beautiful calligraphy and ornaments. In Sufism, the mihrab symbolizes the direct connection between the individual and Allah.

2. Dome: The mosque’s dome, or kubbe, symbolizes the universe. In Sufi tradition, it represents the heavens and God’s creation, reminding worshippers of Allah’s greatness.

3. Minbar: The pulpit where the imam delivers sermons, seen in Sufism as a symbol of the spiritual ladder towards enlightenment and closeness to Allah.

4. Calligraphy and Geometry**: Arabic calligraphy and geometric patterns are crucial in mosque decoration, reflecting the Sufi metaphysical principles of perfection and eternity.

5. Gardens and Fountains: Many mosques feature gardens and fountains symbolizing paradise in Islam, reminding believers of the beauty and tranquility of the spiritual journey towards Allah.

In the modern context, the influence of Sufism on mosques remains relevant for several reasons:

1. Spiritual Community: Mosques provide a place for the Muslim community to gather, worship, and learn together, strengthening social and spiritual bonds that cannot be entirely replaced by digital media.

2. Character Building: Spiritual education in mosques helps shape the character and morals of Muslims, with teachings on tasawuf contributing to the development of individuals with high integrity and morality.

3. Responding to Modern Challenges: Mosques play a role in addressing modern challenges like materialism, hedonism, and identity crises. Through Sufi teachings, mosques help Muslims find meaning and inner peace in an increasingly complex world.

4. Accessibility and Social Inclusion: Mosques function as centers of social inclusion, where people from various backgrounds can interact and learn together, essential for building social cohesion and addressing fragmentation in modern society.***

Wednesday, July 24, 2024

Mengatasi Ekstremisme Beragama

Oleh: Syamsul Kurniawan 

DALAM praktek keagamaan, sering kali terjadi perbedaan mencolok antara ajaran ideal agama dan kenyataan sosial-keagamaan yang ada di lapangan. Konsep “das sollen” (ide moral) dan “das sein” (fakta sosial) sering kali tidak sejalan. Dalam konteks Islam misalnya, sikap intoleran yang diperagakan oleh "oknum" muslim dari kelompok muslim “garis keras” mencederai citra Islam yang dikenal sebagai agama yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan li al-‘âlamîn). Sikap keras dan intoleran ini jelas bertentangan dengan tujuan utama ajaran Islam, yaitu untuk memelihara lima aspek penting kehidupan: jiwa, agama, harta, keturunan, dan akal (al-Mawardi, 1996).

Mengapa Muncul?

Untuk memahami sebab-sebab munculnya pemikiran ekstremisme di kalangan umat Islam, kita dapat menggunakan teori habitus dari Pierre Bourdieu. Teori ini menggarisbawahi bahwa pemikiran dan perilaku individu dipengaruhi oleh struktur sosial dan sejarah kehidupan mereka, yang membentuk pola pikir dan respons terhadap lingkungan sosial (Bourdieu, 1990). Dalam konteks ekstremisme, habitus kelompok ekstremis sering kali dibentuk oleh pengalaman sejarah, kondisi sosial-ekonomi, dan kekacauan politik yang mereka alami.

Sejarah dan dinamika umat Islam menunjukkan bahwa ekstremisme bukanlah fenomena baru. Berbagai periode konflik dan ketegangan politik dalam sejarah Islam, seperti era Khawarij di masa awal Islam, telah menunjukkan bagaimana kondisi sosial dan ketidakpuasan dapat mendorong radikalisasi (Sivan, 1985). Pada masa itu, kelompok Khawarij muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap pemerintahan Umayyah yang dianggap tidak memenuhi prinsip-prinsip Islam yang ketat.

Dengan memahami pola-pola ini, kita dapat melihat bahwa ekstremisme sering kali muncul dalam konteks ketidakadilan sosial dan ketidakpuasan terhadap keadaan politik yang tidak memadai. Ketidakpuasan ini kemudian membentuk habitus kelompok ekstremis, mendorong mereka untuk mengadopsi ideologi yang sangat keras sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan.

Pentingnya Meneladani Nabi Saw

Dalam hal ini, ekstremisme terjadi oleh karena sebagian oknum muslim dari kelompok muslim “garis keras” kurang mampu meneladani sifat dan perilaku Nabi Saw. Jelas, meneladani sifat dan perilaku Nabi Saw menjadi sangat penting dalam konteks kita sebagai muslim. Misi utama Nabi Saw adalah menyempurnakan akhlak, sebagaimana tercatat dalam berbagai literatur hadis (baca misalnya: al-Bukhari, 1997). Nabi Saw dengan misi yang diembannya, menunjukkan sebuah contoh kehidupan yang syarat dengan toleransi dan kebijaksanaan. Sangat-sangat moderat. Hadis-hadis Nabi Saw yang autentik jelas mencerminkan potret moderasi dan kebaikan, yang sangat relevan untuk diadaptasi dalam konteks kontemporer, sebagaimana saat ini (Kamali, 2015).

Dengan demikian, untuk memahami dan mengimplementasikan konsep moderasi Islam atau “wasatîyah”, penting bagi kita tidak hanya merujuk ke Al-Qur‘an, tetapi juga penting merujuk pada hadis-hadis Nabi Saw dengan pemahaman yang komprehensif. “Tidak setengah-setengah.

Ketauladanan Nabi Saw dalam hal ini bisa diterjemahkan ke dalam nilai-nilai universal yang mendasari praktek keagamaan dan sosial yang damai. Dengan memahami esensi baik dari Al-Qur‘an dan hadis-hadis tersebut, selayaknya umat Islam dapat lebih mudah menerapkan prinsip-prinsip moderasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga nilai-nilai luhur Islam dapat direalisasikan secara konkret di tengah-tengah masyarakat. Ini bukan hanya akan memperbaiki citra Islam yang dirusak oleh oknum-oknum ekstrem yang mengaku muslim, tetapi juga akan memperkuat hubungan antarindividu dan komunitas baik internal umat Islam maupun eksternal umat Islam dengan pemeluk ajaran agama lain, yang pada gilirannya menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif.

Menimbang Peran Pendidikan Agama Islam di Sekolah

Pendidikan agama Islam di sekolah jelas memainkan peran krusial dalam membentuk sikap dan pandangan siswa terhadap ajaran agama mereka. Dalam konteks Islam, pendidikan agama yang moderat di sekolah-sekolah dapat berfungsi sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai “wasatîyah” (moderasi) dan melawan ekstremisme.

Jika kita merujuk ke teori habitus yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, bahwa individu tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya di sekitarnya, tetapi juga oleh internalisasi dari struktur sosial yang membentuk pola pikir dan perilaku mereka (Bourdieu, 1990). Dalam konteks pendidikan agama Islam, habitus bisa merujuk pada cara-cara di mana nilai-nilai, norma, dan keyakinan agama ditanamkan dan dipertahankan melalui pendidikan formal dan informal. Sehingga ia bisa saja “ekstrem” dan bisa saja “moderat.”

Lantas, bagaimana peran pendidikan agama Islam di sekolah bisa membentuk habitus yang moderat pada warga sekolah, terutama siswa-siswa yang belajar? Setidaknya ada empat strategi pencapaian:

1. Kurikulum yang Seimbang dan Inklusif

Salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai “wasatîyah” adalah dengan mengembangkan kurikulum pendidikan agama yang seimbang dan inklusif. Kurikulum yang baik harus mencakup berbagai aspek ajaran Islam yang menekankan moderasi dan toleransi. Misalnya, pelajaran tentang sejarah Islam yang mencakup kontribusi berbagai kalangan dalam sejarah Islam, serta nilai-nilai universal seperti toleransi dan keadilan sosial, dapat membantu siswa memahami bahwa Islam adalah agama yang inklusif dan moderat.

Sebagai contoh, kurikulum harus menyertakan studi tentang peran Nabi Saw dalam memperkenalkan prinsip-prinsip moderasi dalam masyarakat Islam awal. Ini mencakup ajaran Nabi Saw yang menekankan pentingnya toleransi, keadilan, dan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari (Kamali, 2015). Dengan memahami konteks historis dan ajaran moderat ini, siswa yang belajar agama Islam dapat menginternalisasi nilai-nilai tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan mereka.

2. Pendekatan Pedagogis yang Berorientasi pada Dialog

Pendidikan agama Islam yang moderat harus mengadopsi pendekatan pedagogis yang berorientasi pada dialog dan diskusi terbuka. Pendekatan ini memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi dan memahami berbagai pandangan dalam kerangka Islam, serta mengajarkan keterampilan berpikir kritis. Dengan berdialog tentang berbagai interpretasi ajaran agama dan isu-isu kontemporer, siswa dapat mengembangkan sikap yang lebih toleran dan terbuka terhadap perbedaan.

Teori habitus menunjukkan bahwa kebiasaan dan pola pikir individu terbentuk melalui proses belajar dan pengalaman sosial. Dengan mengadopsi metode pembelajaran yang berbasis pada dialog, siswa tidak hanya menerima informasi secara pasif tetapi juga aktif terlibat dalam proses pembelajaran, yang membantu membentuk habitus mereka dalam konteks moderasi (Bourdieu, 1990).

3. Peran Guru sebagai Model dan Fasilitator

Guru-guru di sekolah, terutama Guru Agama Islam memainkan peran penting dalam membentuk habitus siswa. Guru-guru yang menerapkan nilai-nilai moderat dalam pengajaran mereka akan menjadi teladan yang efektif bagi siswa. Selain mengajarkan kurikulum yang seimbang, Guru-guru juga harus mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam interaksi sehari-hari dengan siswa. Misalnya, Guru-guru yang menunjukkan sikap toleransi dan menghargai perbedaan dalam kelas akan membantu menanamkan nilai-nilai tersebut dalam habitus siswa.

Selain itu, pelatihan profesional bagi guru-guru untuk memahami dan mengajarkan prinsip-prinsip moderasi dalam Islam sangat penting. Pada konteks ini, kegiatan semacam “Penguatan Moderasi Beragama” menjadi sebuah hal yang penting bagi mereka. Pada penguatan ini diharapkan akan terwujud pemahaman yang mendalam pada mereka tentang ajaran Islam yang moderat dan bagaimana menerapkannya dalam konteks pendidikan (Sivan, 1985).

4. Penguatan Konteks Sosial dan Keluarga

 

Habitus siswa juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial mereka, termasuk keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, sekolah bukan satu-satunya yang menentukan habitus moderasi beragama siswa. Pendidikan agama Islam yang moderat di sekolah-sekolah tentu saja harus diintegrasikan dengan upaya-upaya penguatan moderasi beragama dalam konteks keluarga dan masyarakat. Apa yang diajarkan orang tua dan apa yang dialami siswa-siswa sehubungan dengan praktik beragama, yang mempromosikan nilai-nilai moderat dapat membantu menciptakan lingkungan yang konsisten antara sekolah, rumah dan di masyarakat.

Berdasarkan ini, pendidikan agama Islam yang moderat di sekolah-sekolah dapat berfungsi sebagai alat yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai “wasatîyah” dalam diri siswa. Melalui kurikulum yang seimbang, pendekatan pedagogis yang berbasis dialog, peran guru sebagai model, dan penguatan konteks sosial dan keluarga, pendidikan agama Islam dapat membantu membentuk habitus moderat yang mendukung toleransi dan inklusivitas. Dengan demikian, pendidikan agama Islam yang moderat bukan hanya mendidik siswa tentang ajaran agama mereka tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk menghadapi tantangan kontemporer dan mengatasi ekstremisme. Untuk itu Kerjasama yang harmonis antara sekolah, keluarga dan masyarakat jelas sangat-sangat penting di sini.

REFERENSI

al-Bukhari, M. I. (1997). Sahih al-Bukhari. Dar al-Salam.

al-Mawardi, A. (1996). The Ordinances of Government. Cambridge University Press.

Kamali, M. H. (2015). The Middle Path of Moderation in Islam. Oxford University Press.

Bourdieu, P. (1990). The Logic of Practice. Stanford University Press.

Sivan, E. (1985). Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics. Yale University Press.

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...