Friday, September 13, 2024

Mengapa Janji Kampanye Sering Diabaikan?

Oleh: Syamsul Kurniawan (Ketua Lembaga Hubungan Umat Beragama dan Peradaban PW Muhammadiyah Kalimantan Barat; Ketua Divisi Kaderisasi dan Cendekiawan Muda ICMI Kota Pontianak)

Dalam setiap siklus Pilkada di negara ini, kita menyaksikan ironi yang semakin mencolok: kontestan berusaha meraih dukungan rakyat dengan berbagai janji yang terkesan mulia dan ambisius, namun begitu kekuasaan diraih, janji-janji itu kerap memudar. Realitas ini mencerminkan pola yang disoroti oleh Tom Phillips dalam bukunya, "Truth: A Brief History of Total Bullsh*t" (2019). Phillips dengan tajam mengungkap bagaimana kebenaran sering kali dipelintir, diabaikan, atau bahkan sengaja disalahgunakan demi kepentingan kekuasaan. Di negara ini, kepemimpinan yang seharusnya menjadi landasan untuk membangun kepercayaan justru sering kali terjebak dalam pusaran manipulasi, membuat janji-janji kosong dan kehilangan esensinya.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apa yang terjadi ketika kepemimpinan kehilangan pegangan pada kebenaran? Janji politik, yang pada awalnya digembar-gemborkan dengan semangat untuk perubahan, sering kali berujung pada apatisme begitu kekuasaan diraih. Seperti yang dijelaskan Phillips, distorsi kebenaran dalam sejarah selalu terjadi demi menjaga kekuasaan dan menciptakan narasi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dalam konteks kepemimpinan politik, janji yang diobral saat kampanye tak lebih dari sekadar retorika, yang hanya bertahan hingga pemimpin mencapai kursi kekuasaan. Setelah itu, janji-janji tersebut sering kali dilupakan, digantikan oleh keputusan pragmatis yang tidak lagi berlandaskan pada kebenaran atau komitmen awal.

Dalam buku Phillips, kebenaran digambarkan sebagai sesuatu yang rentan terhadap manipulasi. Demikian pula, dalam kepemimpinan politik, janji-janji kampanye sering menjadi alat manipulasi yang digunakan untuk memenangkan hati publik, tanpa niat nyata untuk mewujudkannya. Ini adalah bentuk distorsi realitas, di mana pemimpin menciptakan narasi yang mereka tahu tidak akan mereka tepati. Phillips menyebutkan bahwa kebenaran kerap kali tunduk pada kekuatan, dan dalam politik, janji menjadi senjata kekuasaan untuk meraih simpati, bukan untuk menciptakan perubahan yang nyata.

 

Integritas dan Kejujuran: Pilar yang Semakin Langka

Dalam konteks kepemimpinan yang lebih luas, integritas dan kejujuran harus menjadi fondasi yang tak tergoyahkan. Seorang pemimpin yang efektif adalah mereka yang mampu memegang teguh nilai-nilai ini, meskipun dihadapkan pada godaan kekuasaan. Seperti yang diungkapkan Phillips, kebenaran yang diabaikan demi keuntungan jangka pendek akan merusak fondasi kepercayaan yang seharusnya menjadi dasar dari setiap bentuk kepemimpinan.

Integritas adalah cerminan dari keselarasan antara perkataan dan perbuatan. Dalam kepemimpinan politik, integritas sering kali tergerus oleh kebutuhan untuk memenuhi ekspektasi publik yang tak realistis, atau oleh tekanan dari berbagai kelompok kepentingan. Seorang pemimpin yang kehilangan integritas akan terjebak dalam pusaran kebohongan, yang pada akhirnya akan merusak kredibilitas mereka. Phillips menyoroti bagaimana sepanjang sejarah, mereka yang memelintir kebenaran demi kekuasaan akhirnya terjerumus ke dalam kehancuran, karena kebenaran pada akhirnya tidak bisa disembunyikan.

 

Komunikasi yang Efektif: Menghubungkan Janji dengan Tindakan

Komunikasi adalah alat penting dalam kepemimpinan, namun juga dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, komunikasi yang efektif memungkinkan seorang pemimpin untuk menyampaikan visi dan misi dengan jelas, menginspirasi orang lain untuk mengikuti arah yang telah ditetapkan. Namun, di sisi lain, seperti yang ditunjukkan Phillips, komunikasi juga bisa menjadi alat manipulasi yang kuat, di mana narasi yang disampaikan bukanlah cerminan dari realitas, melainkan rekayasa yang bertujuan untuk mengelabui.

Seorang pemimpin yang efektif harus mampu menyampaikan pesan dengan jujur dan transparan. Mereka harus bisa menjelaskan visi mereka secara jelas dan meyakinkan, namun juga harus siap mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Tanpa komunikasi yang baik, kepemimpinan menjadi rentan terhadap salah paham dan ketidakpercayaan. Namun, di era di mana informasi dapat dengan mudah dipelintir, seorang pemimpin harus selalu waspada terhadap godaan untuk memanipulasi narasi demi keuntungan sesaat. 

Dalam kepemimpinan politik, janji-janji kampanye sering kali diartikulasikan dengan retorika yang memikat, namun begitu kursi kekuasaan diraih, narasi tersebut berubah. Ini adalah bentuk manipulasi komunikasi, di mana pemimpin berusaha menciptakan persepsi publik yang menguntungkan, sementara kenyataannya tidak sesuai dengan janji awal. Phillips menekankan bahwa distorsi kebenaran sering terjadi dalam proses komunikasi, terutama ketika kekuasaan menjadi tujuannya.

 

Visi yang Jelas: Menjaga Fokus di Tengah Tekanan 

Salah satu elemen penting dari kepemimpinan yang efektif adalah memiliki visi yang jelas dan konkret. Visi ini harus menjadi kompas yang mengarahkan setiap tindakan dan keputusan pemimpin. Namun, seperti yang dijelaskan Phillips, visi sering kali kabur atau diselewengkan ketika kekuasaan menjadi prioritas utama. Pemimpin yang kehilangan fokus pada visinya akan mudah terombang-ambing oleh tekanan eksternal, dan pada akhirnya, kepemimpinan mereka kehilangan arah. 

Pemimpin yang efektif harus mampu menjaga visi mereka tetap relevan, bahkan di tengah perubahan dan tantangan yang muncul. Mereka harus bisa menyesuaikan visi mereka dengan realitas, namun tanpa mengorbankan nilai-nilai inti yang mereka pegang. Visi yang jelas tidak hanya memberikan arah bagi pemimpin, tetapi juga menginspirasi orang lain untuk bekerja menuju tujuan yang sama. Ketika visi ini kabur, kepemimpinan kehilangan tujuannya, dan akhirnya, kepercayaan publik pun hilang. 

Phillips mengungkapkan bahwa sejarah penuh dengan contoh di mana kebenaran dikorbankan demi keuntungan jangka pendek, dan dalam kepemimpinan, visi sering kali dikorbankan demi keuntungan politik. Pemimpin yang kehilangan visi mereka pada akhirnya akan kehilangan legitimasi, karena mereka tidak lagi mampu menawarkan arah yang jelas bagi orang-orang yang mereka pimpin.

 

Kemampuan Beradaptasi: Fleksibilitas Tanpa Mengorbankan Prinsip 

Di dunia yang selalu berubah, kemampuan untuk beradaptasi adalah kunci bagi kepemimpinan yang efektif. Seperti halnya kebenaran yang harus terus dipertahankan di tengah arus informasi yang beragam, seorang pemimpin yang efektif harus mampu menavigasi perubahan tanpa kehilangan prinsip-prinsip inti mereka. Kemampuan untuk beradaptasi ini memungkinkan pemimpin untuk tetap relevan, bahkan ketika situasi politik, ekonomi, dan sosial berubah dengan cepat. 

Namun, adaptasi bukan berarti mengorbankan nilai-nilai inti. Pemimpin yang efektif tahu kapan harus berkompromi dan kapan harus tetap teguh pada prinsip yang mereka pegang. Phillips menegaskan bahwa kebenaran sering kali diuji oleh perubahan, dan dalam kepemimpinan, kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan adalah kekuatan yang menentukan. Seorang pemimpin yang tidak mampu beradaptasi akan kehilangan relevansi, namun seorang pemimpin yang terlalu mudah berkompromi akan kehilangan integritas.

 

Empati dan Kepedulian: Memahami Kebutuhan Orang Lain 

Di tengah hiruk-pikuk politik, sering kali dimensi manusiawi dari kepemimpinan diabaikan. Namun, pemimpin yang efektif harus memiliki empati, kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Empati ini memungkinkan pemimpin untuk menciptakan hubungan yang lebih dalam dan lebih bermakna dengan mereka yang dipimpin, serta untuk menciptakan lingkungan yang inklusif di mana setiap orang merasa dihargai. 

Phillips menyoroti bahwa kebenaran sering kali diabaikan demi kekuasaan, namun seorang pemimpin yang berempati tidak akan terjebak dalam permainan kekuasaan ini. Mereka tahu bahwa kepemimpinan yang sejati adalah tentang menciptakan dampak positif bagi kehidupan orang lain, dan bahwa kekuasaan tanpa empati hanya akan menciptakan keterasingan dan ketidakpercayaan.

 

Ketegasan dalam Pengambilan Keputusan: Kekuatan di Tengah Keraguan 

Pengambilan keputusan adalah inti dari kepemimpinan. Seorang pemimpin yang efektif harus mampu membuat keputusan yang tegas dan berdasarkan pada data serta analisis yang matang. Namun, keputusan yang tegas bukan berarti otoriter, melainkan hasil dari pertimbangan yang matang dan inklusif. Phillips menekankan bahwa kebenaran sering kali disembunyikan oleh mereka yang tidak mau menghadapi kenyataan, namun seorang pemimpin yang tegas akan selalu menghadapi kebenaran, bahkan ketika itu sulit. 

Ketegasan dalam pengambilan keputusan mencerminkan keberanian untuk mengambil tanggung jawab, dan untuk memimpin dengan kejelasan. Pemimpin yang tegas tidak takut membuat pilihan yang sulit, karena mereka tahu bahwa kepemimpinan yang sejati adalah tentang membuat keputusan yang terbaik bagi semua pihak, bukan hanya bagi diri mereka sendiri.

 

Yang Bisa Kita Simpulkan 

Di dunia yang semakin kompleks dan dinamis, di mana kebenaran sering kali terancam oleh distorsi dan manipulasi, kepemimpinan yang efektif harus berlandaskan pada integritas, kejujuran, dan empati. Seperti yang diungkapkan oleh Tom Phillips dalam "Truth: A Brief History of Total Bullshit", kebenaran kerap kali terdegradasi demi kepentingan kekuasaan, dan di sinilah tantangan terbesar seorang pemimpin muncul. Pemimpin yang baik tidak hanya mengandalkan kemampuan beradaptasi dan komunikasi yang efektif, tetapi juga harus mampu menjaga nilai-nilai inti mereka di tengah perubahan. 

Kepemimpinan yang efektif adalah tentang menyelaraskan visi dengan tindakan nyata dan mempertahankan komitmen pada kebenaran, bahkan ketika realitas politik mendorong kompromi atau manipulasi. Ketegasan dalam pengambilan keputusan, empati dalam memahami kebutuhan orang lain, dan kemampuan beradaptasi tanpa mengorbankan prinsip adalah kualitas-kualitas penting yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin yang ingin berhasil di zaman ini. 

Namun, inti dari kepemimpinan sejati adalah kemampuan untuk mempertahankan integritas di tengah godaan untuk memelintir kebenaran demi keuntungan sesaat. Pemimpin yang baik akan selalu mengingat bahwa kekuasaan yang diperoleh dengan distorsi dan manipulasi pada akhirnya akan runtuh, karena kebenaran tidak bisa diabaikan selamanya. Dalam dunia yang semakin skeptis terhadap janji-janji politik dan narasi kekuasaan, hanya pemimpin yang mampu menjaga kejujuran dan integritas yang akan bertahan dan membawa perubahan yang berarti. 

Sebagai penutup, pelajaran dari Phillips dapat dijadikan refleksi bagi kita semua: kebenaran, meski sering kali diremehkan atau dimanipulasi, pada akhirnya akan muncul sebagai kekuatan yang tak terelakkan. Pemimpin yang efektif adalah mereka yang tidak hanya mampu menghadapi kenyataan, tetapi juga yang mampu menjaga kejujuran dan membawa perubahan positif di dunia yang semakin tidak pasti. Kepemimpinan sejati bukan hanya tentang memegang kekuasaan, tetapi tentang bagaimana menggunakan kekuasaan itu untuk menciptakan dampak yang langgeng, yang berakar pada nilai-nilai moral yang tak tergoyahkan.***

Wednesday, September 11, 2024

Mencegah Radikalisme dengan Kebiasaan Kecil Positif

Oleh: Syamsul Kurniawan

Radikalisme, khususnya dalam konteks agama, telah menjadi fenomena global yang semakin mengkhawatirkan, dan Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, tidak kebal dari ancaman ini. Dalam beberapa dekade terakhir, munculnya gerakan-gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam telah memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat dan pemerintah. Tindakan-tindakan radikal, mulai dari intoleransi agama hingga terorisme, kerap dihubungkan dengan pemahaman yang sempit tentang konsep-konsep keagamaan, terutama jihad. Jihad, yang seharusnya berarti perjuangan untuk mencapai kebaikan dan keadilan, sering kali dimanipulasi untuk membenarkan tindakan kekerasan. 

Tetapi, radikalisme tidak muncul begitu saja. Tidak ada yang bangun tidur suatu pagi, tiba-tiba menjadi radikal. Ini adalah hasil dari proses panjang—proses bertahap yang terjadi dalam cara seseorang berpikir, bertindak, dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. James Clear, dalam bukunya Atomic Habits (2018), memberikan perspektif menarik tentang bagaimana perubahan kecil yang tampaknya sepele dapat menumpuk dan berdampak besar pada kehidupan seseorang. Clear menyebut konsep ini sebagai “atomic habits”, atau kebiasaan kecil. Ia berpendapat bahwa kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten dapat menghasilkan perubahan besar dalam jangka panjang. Jika kita memproyeksikan konsep ini ke dalam konteks radikalisme, kita bisa mengasumsikan bahwa radikalisme juga tumbuh melalui akumulasi kebiasaan kecil yang secara bertahap mengubah identitas seseorang.

 

Pada mulanya, radikalisme mungkin muncul melalui tindakan-tindakan yang tampak biasa. Bayangkan seseorang yang memilih untuk mengikuti forum-forum diskusi agama yang eksklusif, atau mengonsumsi konten-konten keagamaan yang ekstrem di media sosial. Perlahan tapi pasti, kebiasaan ini mulai membentuk pola pikirnya. Dia mulai berpikir lebih sempit, lebih eksklusif, dan lebih intoleran. Dalam pandangan Clear, kebiasaan yang dilakukan berulang kali menciptakan pola yang kemudian membentuk identitas individu. Seseorang yang mulai terbiasa berpikir secara eksklusif, intoleran, dan ekstrem pada akhirnya akan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok yang memegang nilai-nilai tersebut. 

Tantangan Radikalisme di Indonesia

Indonesia, dengan sejarah panjang kerukunan antarumat beragama, kini menghadapi tantangan besar terkait meningkatnya radikalisme di kalangan generasi muda. Penelitian menunjukkan bahwa kelompok-kelompok radikal berhasil menarik simpati sebagian mahasiswa dan anak muda melalui media sosial, forum diskusi tertutup, serta kegiatan-kegiatan agama yang eksklusif. Lebih dari itu, fenomena radikalisasi sering kali berakar dari ketidakpuasan sosial, ekonomi, dan politik yang dirasakan oleh kelompok-kelompok tertentu di masyarakat. Dalam situasi seperti ini, kebiasaan kecil yang terkait dengan pemikiran kritis dan moderasi jarang ditemukan. Sebaliknya, kebiasaan yang mengarah pada eksklusivitas dan intoleransi justru berkembang pesat. 

Kita tidak bisa menutup mata terhadap data yang menunjukkan bahwa sejumlah mahasiswa di Indonesia menyetujui pandangan radikal terkait agama. Dalam sejumlah hasil survey satu dasawarsa terakhir, ditemukan bahwa cukup banyak mahasiswa dan pelajar di Indonesia terpapar dan mendukung konsep jihad kekerasan sebagai bentuk perjuangan agama. Angka ini tentu sangat mengkhawatirkan, terutama karena sebagian besar dari mereka merupakan generasi muda yang seharusnya menjadi agen perubahan positif di masyarakat.

 

Berangkat dari masalah ini, muncul tantangan-tantangan, yang jika dikerucutkan setidaknya mengarah kepada tiga bentuk: 

1. Transformasi Identitas melalui Kebiasaan

Dalam pandangan “Atomic Habits”, transformasi identitas menuju radikalisme merupakan hasil dari akumulasi kebiasaan kecil yang tidak disadari. Ketika seseorang mulai mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok yang “murni” secara ideologi, ia cenderung untuk semakin menjauh dari kelompok masyarakat lain yang berbeda pandangan. Kebiasaan kecil seperti berpartisipasi dalam kelompok eksklusif atau memilih bacaan yang mendukung pandangan ekstrem mulai membentuk cara seseorang berpikir dan merasakan tentang diri mereka sendiri. Mereka merasa bahwa identitas mereka adalah bagian dari perjuangan yang lebih besar, dan inilah yang membuat mereka terus terlibat dalam kegiatan-kegiatan radikal. 

Namun, penting untuk dicatat bahwa teori kebiasaan tidak hanya menjelaskan bagaimana seseorang bisa menjadi radikal. Lebih dari itu, teori ini juga menawarkan jalan untuk mengatasi radikalisme dengan mengubah kebiasaan. James Clear menekankan bahwa kebiasaan buruk bisa diubah dengan menggantinya dengan kebiasaan yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Ini memberikan harapan bahwa proses radikalisasi bisa dibalik jika kita mampu membantu individu-individu untuk mengadopsi kebiasaan baru yang membangun identitas moderat, inklusif, dan damai. 

Kebiasaan-kebiasaan ini mungkin dimulai dengan langkah-langkah kecil, seperti melibatkan diri dalam dialog lintas agama, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, atau memperluas bacaan keagamaan dari sumber-sumber yang lebih beragam. Jika kebiasaan negatif bisa membentuk identitas radikal, maka kebiasaan positif juga bisa menciptakan identitas yang lebih inklusif. Dalam pandangan Clear, perubahan kecil yang konsisten—seperti meluangkan beberapa menit setiap hari untuk merenungkan pandangan kita tentang orang lain atau mengikuti diskusi yang memperluas perspektif—dapat membawa dampak besar dalam jangka panjang. 

2. Pendidikan dan Kebiasaan Kecil

Dalam konteks pendidikan, peran kebiasaan kecil sangat penting dalam membentuk perilaku mahasiswa dan generasi muda. Institusi pendidikan, mulai dari sekolah hingga universitas, harus mampu memperkenalkan kebiasaan positif sejak dini, terutama melalui kurikulum yang menekankan pengembangan karakter, toleransi, dan berpikir kritis. Kurikulum yang tidak hanya memberikan informasi teoretis, tetapi juga mendorong siswa untuk berpikir kritis dan terbuka terhadap perbedaan, dapat menjadi benteng awal untuk mencegah tumbuhnya radikalisme di kalangan generasi muda. 

Lebih dari itu, lingkungan kampus perlu dibentuk sedemikian rupa agar mendorong kebiasaan sosial yang inklusif dan dialogis, bukan eksklusif dan sektarian. Kebiasaan kecil seperti keterlibatan dalam kelompok diskusi yang sehat atau partisipasi dalam kegiatan sosial yang melibatkan keragaman budaya dapat membantu membentuk identitas yang moderat dan toleran. Mahasiswa perlu dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang mendorong interaksi lintas budaya dan agama, sehingga mereka terbiasa untuk berdialog dengan mereka yang berbeda pandangan. 

Sebaliknya, kampus yang cenderung membiarkan tumbuhnya kelompok-kelompok diskusi eksklusif tanpa pengawasan, atau yang tidak memberikan ruang untuk dialog lintas agama, dapat menjadi lahan subur bagi berkembangnya radikalisme. Dalam kasus ini, kebiasaan kecil yang mengarah pada eksklusivitas dapat dengan cepat berakumulasi menjadi pola pikir radikal. Oleh karena itu, peran institusi pendidikan sangat krusial dalam membentuk kebiasaan sosial yang moderat dan inklusif di kalangan mahasiswa. 

3. Media Sosial dan Kebiasaan Berpikir 

Salah satu faktor penting yang berkontribusi pada proses radikalisasi ini adalah eksposur terhadap media sosial. Media sosial telah menjadi sarana efektif bagi penyebaran ideologi radikal, terutama di kalangan mahasiswa dan generasi muda. Algoritma media sosial yang cenderung mendorong konten-konten ekstrem, dikombinasikan dengan kebiasaan mengonsumsi informasi secara pasif, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya radikalisme. Ini adalah contoh nyata bagaimana kebiasaan kecil—seperti memilih konten di media sosial atau mengikuti forum diskusi tertutup—dapat membentuk pola pikir seseorang secara signifikan. 

Dengan demikian, peran media sosial dalam membentuk kebiasaan berpikir ini juga tidak boleh diabaikan. Dalam dunia digital saat ini, informasi dan konten yang tersebar di media sosial memiliki kekuatan besar dalam membentuk cara seseorang memandang dunia. Kebiasaan mengonsumsi konten ekstremis di media sosial mungkin tampak sepele, tetapi dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat berakumulasi dan mengarah pada perubahan identitas seseorang. Seseorang yang setiap hari menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton video radikal atau membaca artikel-artikel ekstrem lama-kelamaan akan mulai melihat dunia melalui lensa yang sempit dan penuh kecurigaan. 

Untuk itu, penting bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil untuk memantau dan mengendalikan arus informasi di media sosial. Kita perlu mendorong penyebaran konten-konten yang mempromosikan inklusivitas, perdamaian, dan toleransi. Media sosial harus menjadi alat untuk menyebarkan kebiasaan berpikir yang moderat, bukan menjadi lahan subur bagi berkembangnya ideologi ekstremis. Dengan demikian, kita dapat membentuk kebiasaan berpikir yang lebih sehat dan mencegah terjadinya radikalisasi di kalangan generasi muda. 

Masa Depan yang Inklusif 

Kita harus ingat bahwa radikalisme tidak hanya menyangkut pemikiran atau ideologi, tetapi juga merupakan hasil dari kebiasaan yang terbentuk melalui pengalaman sehari-hari. Memahami bagaimana kebiasaan ini terbentuk dan bagaimana kebiasaan-kebiasaan baru yang positif bisa diperkenalkan adalah kunci dalam upaya mencegah radikalisme di kalangan mahasiswa dan generasi muda. Dengan memanfaatkan teori "Atomic Habits" yang diperkenalkan oleh James Clear, kita bisa melihat bahwa perubahan kecil yang dilakukan secara konsisten dapat membentuk atau mengubah identitas seseorang secara signifikan. Ini memberikan kita strategi baru dalam melawan radikalisme: melalui kebiasaan kecil yang positif, kita dapat membantu membentuk identitas yang lebih inklusif, moderat, dan damai.

Radikalisme bukanlah fenomena yang datang tiba-tiba, tetapi sebuah proses bertahap yang didorong oleh kebiasaan yang berulang-ulang. Sama halnya, kita bisa melawannya dengan perubahan kebiasaan kecil yang sama-sama bertahap. Tindakan seperti berpartisipasi dalam dialog lintas agama, terlibat dalam kegiatan sosial yang inklusif, serta memperluas sumber bacaan yang memperkaya wawasan, bisa menjadi kebiasaan baru yang mampu menggeser pola pikir radikal. 

Banyak pihak yang bisa berperan dalam membentuk kebiasaan-kebiasaan positif ini. Institusi pendidikan dapat mengintegrasikan kurikulum yang mendorong keterbukaan dan toleransi, sementara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil bisa bekerja sama dalam mempromosikan konten-konten positif di media sosial. Langkah-langkah kecil ini, ketika dilakukan secara konsisten dan luas, akan berdampak besar dalam jangka panjang. 

Kita tidak bisa menepis bahwa radikalisme merupakan ancaman serius bagi masa depan generasi muda di Indonesia. Namun, dengan memahami bahwa kebiasaan kecil memiliki kekuatan untuk membentuk identitas seseorang, kita juga bisa optimis bahwa radikalisme bisa dicegah. Dengan menggantikan kebiasaan negatif yang mendorong eksklusivitas dan intoleransi dengan kebiasaan yang mempromosikan keterbukaan, dialog, dan perdamaian, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan toleran. 

Langkah ini tidak akan langsung mengubah segalanya, tetapi seperti yang dikatakan James Clear, perubahan besar dimulai dari kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten. Dan kebiasaan ini, bila diterapkan dengan tepat, memiliki potensi untuk mengubah wajah radikalisme di Indonesia menjadi masa lalu yang kita pelajari, bukan ancaman yang kita hadapi.***

Sunday, September 8, 2024

PAI Berbasis Merdeka Belajar dan Moderasi Beragama

Oleh: Syamsul Kurniawan

Pendidikan agama Islam memiliki peran sentral dalam membentuk kepribadian muslim yang paripurna. Pendidikan ini tidak sekadar mengajarkan teori-teori tentang keyakinan dan ibadah, tetapi juga harus menyentuh aspek-aspek praktis yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini penting karena ajaran agama Islam menuntut keseimbangan antara iman dan amal saleh. Dalam konteks ini, pendidikan agama tidak memisahkan antara nilai-nilai keimanan dan tindakan nyata di dunia. Keduanya saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan, karena Islam sebagai agama yang komprehensif menuntut seorang muslim untuk hidup selaras dengan ajaran agama baik secara spiritual maupun sosial. Pendidikan agama Islam yang ideal, dengan demikian, harus mampu mengantarkan individu muslim menuju kesejahteraan di dunia dan akhirat, serta mampu memberikan kontribusi bagi kebaikan masyarakat di sekitarnya. 

Namun, pendidikan agama Islam di sekolah sering kali masih berorientasi pada pencapaian kurikulum semata, sehingga kehilangan esensinya sebagai sarana untuk membentuk jati diri siswa. Idealnya, pendidikan agama Islam bukan hanya soal menghafal ayat-ayat atau hukum-hukum fikih, tetapi bagaimana siswa dapat merasakan pengalaman spiritual yang mendalam dan relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Dalam konteks Merdeka Belajar, pendidikan agama Islam seharusnya bisa menjadi sarana untuk memberikan kebebasan kepada siswa dalam mengeksplorasi dan memahami ajaran agama mereka, sekaligus membangun jati diri mereka sebagai muslim yang tangguh dan berakhlak mulia. Kebebasan dalam belajar ini tidak berarti kebebasan tanpa batas, tetapi kebebasan yang terarah pada tujuan mulia, yaitu membentuk individu yang taat, moderat, dan berkontribusi bagi masyarakat.

 

Yang Perlu Dipahami

Penting bagi guru agama Islam untuk memahami bahwa hakikat pendidikan agama Islam adalah humanisasi—upaya untuk memanusiakan manusia. Dalam pendidikan agama, siswa tidak boleh dipandang sebagai objek yang pasif, melainkan sebagai subjek yang dinamis dan memiliki potensi besar untuk berkembang. Pendidikan agama Islam harus memperhatikan bahwa setiap siswa memiliki latar belakang, pengalaman, dan potensi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penting bagi seorang guru untuk memperkokoh landasan pendidikan mereka dengan memahami hakikat manusia sebagai dasar utama dalam mendidik. Guru yang memahami hakikat manusia akan mampu membangun konsep pendidikan yang lebih relevan dan kontekstual, sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman.

Dalam Al-Qur'an, manusia digambarkan dengan berbagai istilah yang mencerminkan sisi intelektual, biologis, dan sosial mereka. Misalnya, kata *insan* dalam Al-Qur'an merujuk pada manusia sebagai makhluk yang diberi tanggung jawab oleh Allah untuk menjadi khalifah di bumi. Manusia memiliki kemampuan belajar dan mengajar, serta tanggung jawab moral untuk menciptakan tatanan yang baik di dunia. Pendidikan agama Islam, dalam hal ini, seharusnya berfungsi sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran siswa tentang peran mereka sebagai khalifah di bumi, yang memiliki tanggung jawab besar tidak hanya kepada diri mereka sendiri, tetapi juga kepada masyarakat dan lingkungan sekitar.

Penting juga untuk diingat bahwa Al-Qur'an mengakui sisi negatif dari manusia. Manusia sering kali digambarkan sebagai makhluk yang tergesa-gesa, lalim, dan tidak sabar. Sifat-sifat negatif ini bisa menjadi penghalang bagi perkembangan moral dan spiritual seseorang jika tidak dikelola dengan baik. Di sinilah pentingnya peran pendidikan agama dalam membantu siswa mengenali dan mengatasi sifat-sifat negatif ini. Pendidikan agama harus mampu memberikan pemahaman kepada siswa bahwa sifat-sifat manusiawi seperti keserakahan, keegoisan, dan ketidakpedulian adalah tantangan yang harus dihadapi dan diatasi dengan nilai-nilai agama. 

Dalam Merdeka Belajar, siswa diberikan ruang untuk lebih aktif dalam mengeksplorasi ajaran agama, dan guru berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa memahami nilai-nilai agama dalam konteks kehidupan modern. Pendekatan ini tidak hanya memberdayakan siswa untuk berpikir kritis, tetapi juga membantu mereka untuk mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang moderasi beragama. Moderasi beragama di sini bukan berarti mengambil posisi yang netral tanpa pendirian, tetapi menekankan pentingnya keseimbangan antara keyakinan yang kuat dan penghormatan terhadap perbedaan. Islam sebagai agama yang moderat menekankan prinsip jalan tengah, dan ini harus menjadi bagian integral dari pendidikan agama Islam. 

Dalam mengajarkan moderasi beragama, penting untuk menekankan bahwa ajaran Islam tidak mengajarkan sikap ekstrem, baik dalam bentuk fanatisme maupun dalam bentuk kelalaian terhadap ibadah. Moderasi beragama berarti memahami bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan toleransi, keadilan, dan kasih sayang. Siswa harus diajarkan bahwa sebagai muslim, mereka memiliki tanggung jawab untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menghormati perbedaan, dan berkontribusi positif dalam masyarakat. Pendidikan agama Islam yang moderat dan merdeka akan membantu siswa menghindari sikap-sikap ekstrem yang dapat merusak harmoni sosial. 

Salah satu cara yang efektif untuk mengajarkan moderasi beragama adalah melalui diskusi terbuka tentang isu-isu sosial dan keagamaan yang relevan dengan kehidupan siswa. Dalam diskusi semacam ini, siswa diajak untuk berpikir kritis dan reflektif, mengeksplorasi berbagai sudut pandang, dan memahami bahwa agama Islam memiliki banyak dimensi yang harus dipahami secara komprehensif. Merdeka Belajar memungkinkan adanya pendekatan yang lebih inklusif dan fleksibel dalam pembelajaran agama, di mana siswa diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi dan memaknai ajaran agama dengan cara yang relevan dengan kehidupan mereka. 

Selain itu, moderasi beragama juga dapat diajarkan melalui teladan guru. Guru yang mengajarkan moderasi dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi contoh yang baik bagi siswa. Misalnya, guru bisa menunjukkan bagaimana menerapkan nilai-nilai agama dalam hubungan sosial yang harmonis, bagaimana bersikap adil dan bijak dalam menghadapi perbedaan, serta bagaimana mengatasi konflik dengan cara yang damai dan konstruktif. Pendidikan agama yang merdeka dan moderat akan membentuk siswa menjadi individu yang mampu menjalani kehidupan dengan keseimbangan antara keyakinan dan keterbukaan terhadap perbedaan. 

Dalam konteks Merdeka Belajar, pendidikan agama Islam juga harus memberikan perhatian pada aspek sosial siswa. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendirian, dan mereka memerlukan nilai-nilai sosial seperti tolong-menolong, keadilan, dan persaudaraan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis. Pendidikan agama Islam harus mengajarkan siswa bahwa Islam adalah agama yang sangat menekankan nilai-nilai sosial ini, dan bahwa seorang muslim yang baik adalah seseorang yang peduli terhadap sesama, berusaha untuk menciptakan keadilan sosial, dan berkontribusi bagi kebaikan bersama. 

Penting untuk dipahami bahwa pendidikan agama Islam yang bersifat moderat dan merdeka tidak hanya bertujuan untuk membentuk individu yang taat dalam beribadah, tetapi juga membentuk individu yang kritis, terbuka, dan peduli terhadap masyarakat. Dengan demikian, pendidikan agama dalam kerangka Merdeka Belajar akan memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan potensi mereka secara maksimal, baik dari segi intelektual, spiritual, maupun sosial. Ini selaras dengan tujuan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan kepribadian yang utuh. 

Dalam praktiknya, guru harus mampu menciptakan suasana belajar yang inklusif, di mana setiap siswa merasa dihargai dan diberi kebebasan untuk mengungkapkan pandangan mereka. Dalam suasana yang merdeka ini, siswa akan merasa lebih terlibat dan termotivasi untuk belajar, karena mereka tidak hanya sekadar menerima informasi dari guru, tetapi juga terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Pendidikan agama Islam yang merdeka akan memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir, berdiskusi, dan berkolaborasi dengan teman-teman mereka, sehingga mereka dapat mengembangkan pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang agama. 

Dengan demikian, pendidikan agama Islam yang berbasis pada konsep Merdeka Belajar akan menjadi sarana yang efektif untuk mengajarkan moderasi beragama. Siswa tidak hanya akan belajar tentang ajaran agama secara literal, tetapi juga akan memahami nilai-nilai agama dalam konteks yang relevan dengan kehidupan mereka. Moderasi beragama yang diajarkan secara merdeka akan membantu siswa untuk mengembangkan sikap yang seimbang, terbuka, dan toleran, yang sangat penting dalam membentuk masyarakat yang damai dan sejahtera.***

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...