Saturday, July 13, 2024

Perundungan di Sekolah: Macam, Ciri-Ciri Korban, dan Sebab Terjadinya


Oleh: Syamsul Kurniawan

Kasus perundungan sering terjadi, tidak hanya di lingkungan masyarakat, perundungan juga terjadi di lingkungan pendidikan. Dalam beberapa kasus yang terjadi, ada yang mengalami luka-luka dan bahkan ada yang meninggal.[1] Hal ini karena perundungan adalah segala bentuk penindasan atau kekerasan, yang dilakukan secara sengaja oleh satu orang atau kelompok yang lebih kuat terhadap korban yang tidak dapat mempertahankan dirinya.[2]

Ironisnya lagi sebagian masyarakat kita bahkan guru sendiri menganggap perundungan sebagai hal biasa dalam kehidupan remaja dan tak perlu dipermasalahkan, perundungan hanyalah bagian dari cara anak-anak bermain. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan yang selayaknya menjadi tempat untuk menimba ilmu pengetahuan yang relevan bagi pembangunan karakter, dan rumah kedua yang seharusnya aman dan nyaman, malah tempat yang rentan terjadi kekerasan, tak terkecuali perundungan.[3]

UU sesungguhnya menjamin hak asasi anak-anak, sehingga mereka mendapatkan haknya untuk aman dari perundungan. perundungan jelas-jelas termasuk dalam pelanggaran HAM sebagaimana jelas disebutkan pada pasal 1 ayat 6 dari UU nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.[4] Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 54 juga menyatakan: “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”[5]

Berdasarkan UU ini, semua anak yang belajar di sekolah mempunyai hak untuk mendapat pendidikan dalam lingkungan yang aman dan bebas dari rasa takut. Pengelola Sekolah dan pihak lain yang bertanggung jawab dalam penyelengaraan pendidikan dengan demikian mempunyai tugas untuk melindungi anak-anak yang belajar di sekolah dari intimidasi, penyerangan, kekerasan atau gangguan sebagaimana tren perundungan.

Jenis-Jenis Perundungan dan Ciri Korbannya

Jenis-jenis perundungan yang mungkin dapat terjadi di lingkungan sekolah, yaitu: satu, perundungan verbal, biasanya terlontar melalui kata-kata yang tidak menyenangkan. Dapat berupa ejekan, umpatan, cacian, makian, celaan, serta fitnah. Semua jenis ungkapan berupa kata-kata yang bersifat menyakiti orang lain, merupakan bentuk perundungan verbal. Dua, perundungan fisik, merupakan bentuk kekerasan yang terjadi dengan menyakiti fisik seseorang. Bentuk kekerasan ini dapat berupa tendangan, pukulan, tamparan, atau meludahi seseorang. Tiga, perundungan relasional, terjadi karena muncul kelompok-kelompok tertentu yang berseberangan dengan kelompok atau individu lain, sehingga muncul pengucilan terhadap seseorang yang dianggap berseberangan, selain dikucilkan, seorang siswa yang dianggap “berbeda” dengan kebanyakan siswa di sekolah akan diabaikan, dicibir, dengan segala hal yang dapat membuat siswa tersebut diasingkan dari kelompoknya.[6]

Berikutnya, ciri-ciri yang harus diperhatikan oleh orang tua dan orang sekitarnya terhadap korban perundungan yaitu: satu, enggan untuk pergi sekolah; dua, sering sakit secara tiba-tiba; tiga, mengalami penurunan nilai; empat, barang yang dimiliki hilang atau rusak; lima, mimpi buruk atau bahkan sulit untuk terlelap; enam, rasa amarah dan benci semakin mudah meluap dan meningkat; tujuh, sulit untuk berteman dengan teman baru; dan delapan, memiliki tanda cedera fisik, seperti memar atau luka.[7]

Sebab Terjadinya Perundungan

Penyebab terjadinya perilaku perundungan: satu, kurangnya pemahaman mengenai dampak dari perundungan. Perilaku perundungan sangat berdampak bagi korban, karena dari perilaku perundungan korban akan mengalami gangguan pada emosi dan mentalnya. Mereka dapat mengalami hilangnya kepercayaan diri, stress, depresi, hingga bunuh diri. Terkadang bagi pelaku, perilaku yang mereka lakukan hanyalah candaan untuk mengejek sang korban. Tetapi bagi korban perilaku tersebut tidak dapat diterima karena hal tersebut sangat mempengaruhi mentalnya. Maka dari itu, penting untuk memahami apa saja dampak yang akan terjadi jika melakukan perilaku perundungan. Dua, kurangnya pendidikan dan pengawasan dari orang tua. Orang tua merupakan seseorang yang pertama kali mengajarkan kita tentang banyak hal, seperti pemahaman agama, pendidikan, dan bahasa. Tetapi ketika orang tua kurang memberikan pendidikan serta pengawasan, maka anak akan merasa bebas untuk melakukan apapun sehingga ia tidak mengetahui mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang buruk. Sehingga perilaku perundungan dapat terjadi pada anak yang kurang mendapatkan pendidikan dan pengawasan dari orang tua. Tiga, kurangnya pendidikan agama dan budi pekerti. Pendidikan agama dan budi pekerti sangat penting karena mengajarkan tentang tingkah laku manusia yang baik dan benar untuk menanamkan perilaku sesuai norma yang ada, baik dari sisi agama maupun budi pekerti. Agama manapun jelas mengajarkan pentingnya menyayangi setiap makhluk hidup dan mengajarkan tentang kebaikan. Oleh karena itu, jika seseorang tidak diajarkan mana karakter yang baik dan buruk, dan mereka kesulitan membedakannya, maka seseorang tersebut akan melakukan hal-hal yang tidak sesuai norma dan aturan dalam agama dan selayaknya budi pekerti yang baik. Perilaku perundungan merupakan salah satu bentuk dari kurangnya pendidikan agama dan budi pekerti pada seseorang.[8]

Berdasarkan ini, maka penguatan pendidikan agama dan budi pekerti mesti menjadi perhatian dari sekolah untuk meminimalkan kasus perundungan. Tentu saja, pada ranah ini, guru-guru pendidikan agama dan budi pekerti di sekolah tidaklah sebatas bertugas memindahkan pengetahuan seputar perundungan tetapi juga berupaya seoptimal mungkin memindahkan nilai-nilai dan pada gilirannya secara konstruktif berdampak pada perubahan perilaku anak-anak yang belajar di sekolah yang anti-perundungan.[9]***



[1] Adinda Zahra Nur Aulia, Athaya Ramadhani Putri Cheriyanto, Dini Amalia, Tiara Alifta, Yafi’tanasee Fakhrissa, dan Eva Laila Rizkiyah, “Penerapan Sikap Religius dalam Kasus Bullying”, dalam Moderasi: Jurnal Kajian Islam Kontemporer, Volume 1, Nomor 1, 2023, 1-28. (3).

[2] Budi Setiawan, Sapardiyono, dan Septi Indrawati, “Perlindungan Hak Asasi Manusia pada Kasus Bullying di Kabupaten Purworejo”, dalam Eksaminasi: Jurnal Hukum, Vol.1, Nomor 2, (2022) pp. 84-95 (86).

[3] Adinda Zahra Nur Aulia, Athaya Ramadhani Putri Cheriyanto, Dini Amalia, Tiara Alifta, Yafi’tanasee Fakhrissa, dan Eva Laila Rizkiyah, “Penerapan Sikap Religius dalam Kasus Bullying”, 3.

[4] Lihat: UU nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.

[5] Lihat: UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

[6] Budi Setiawan, Sapardiyono, dan Septi Indrawati, “Perlindungan Hak Asasi Manusia pada Kasus Bullying di Kabupaten Purworejo”, 91. Adinda Zahra Nur Aulia, Athaya Ramadhani Putri Cheriyanto, Dini Amalia, Tiara Alifta, Yafi’tanasee Fakhrissa, dan Eva Laila Rizkiyah, “Penerapan Sikap Religius dalam Kasus Bullying”, 7-8.

[7] Budi Setiawan, Sapardiyono, dan Septi Indrawati, “Perlindungan Hak Asasi Manusia pada Kasus Bullying di Kabupaten Purworejo”, 91.

[8] Adinda Zahra Nur Aulia, Athaya Ramadhani Putri Cheriyanto, Dini Amalia, Tiara Alifta, Yafi’tanasee Fakhrissa, dan Eva Laila Rizkiyah, “Penerapan Sikap Religius dalam Kasus Bullying”, 10-11.

[9] Suparlan, “Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran”, Islamika: Jurnal Keislaman dan Ilmu Pendidikan, Volume 1, Nomor 2, Juli 2019, 79-88 (80).

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...