Ironisnya lagi
sebagian masyarakat kita bahkan guru sendiri menganggap perundungan sebagai hal
biasa dalam kehidupan remaja dan tak perlu dipermasalahkan, perundungan
hanyalah bagian dari cara anak-anak bermain. Sekolah, sebagai lembaga
pendidikan yang selayaknya menjadi tempat untuk menimba ilmu pengetahuan yang
relevan bagi pembangunan karakter, dan rumah kedua yang seharusnya aman dan
nyaman, malah tempat yang rentan terjadi kekerasan, tak terkecuali perundungan.[3]
UU sesungguhnya
menjamin hak asasi anak-anak, sehingga mereka mendapatkan haknya untuk aman
dari perundungan. perundungan jelas-jelas
termasuk dalam pelanggaran HAM sebagaimana jelas disebutkan pada pasal 1 ayat 6
dari UU nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.[4] Dalam
UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 54 juga menyatakan:
“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di
dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”[5]
Berdasarkan UU
ini, semua anak yang belajar di sekolah mempunyai hak untuk mendapat pendidikan
dalam lingkungan yang aman dan bebas dari rasa takut. Pengelola Sekolah dan
pihak lain yang bertanggung jawab dalam penyelengaraan pendidikan dengan
demikian mempunyai tugas untuk melindungi anak-anak yang belajar di sekolah
dari intimidasi, penyerangan, kekerasan atau gangguan sebagaimana tren perundungan.
Jenis-Jenis Perundungan
dan Ciri Korbannya
Jenis-jenis perundungan
yang mungkin dapat terjadi di lingkungan sekolah, yaitu: satu, perundungan
verbal, biasanya terlontar melalui kata-kata yang tidak menyenangkan. Dapat
berupa ejekan, umpatan, cacian, makian, celaan, serta fitnah. Semua jenis
ungkapan berupa kata-kata yang bersifat menyakiti orang lain, merupakan bentuk perundungan
verbal. Dua, perundungan fisik, merupakan bentuk kekerasan yang terjadi dengan
menyakiti fisik seseorang. Bentuk kekerasan ini dapat berupa tendangan,
pukulan, tamparan, atau meludahi seseorang. Tiga, perundungan relasional,
terjadi karena muncul kelompok-kelompok tertentu yang berseberangan dengan
kelompok atau individu lain, sehingga muncul pengucilan terhadap seseorang yang
dianggap berseberangan, selain dikucilkan, seorang siswa yang dianggap
“berbeda” dengan kebanyakan siswa di sekolah akan diabaikan, dicibir, dengan
segala hal yang dapat membuat siswa tersebut diasingkan dari kelompoknya.[6]
Berikutnya, ciri-ciri
yang harus diperhatikan oleh orang tua dan orang sekitarnya terhadap korban perundungan
yaitu: satu, enggan untuk pergi sekolah; dua, sering sakit secara tiba-tiba; tiga,
mengalami penurunan nilai; empat, barang yang dimiliki hilang atau rusak; lima,
mimpi buruk atau bahkan sulit untuk terlelap; enam, rasa amarah dan benci
semakin mudah meluap dan meningkat; tujuh, sulit untuk berteman dengan teman
baru; dan delapan, memiliki tanda cedera fisik, seperti memar atau luka.[7]
Sebab Terjadinya
Perundungan
Penyebab
terjadinya perilaku perundungan: satu, kurangnya pemahaman mengenai dampak dari
perundungan. Perilaku perundungan sangat berdampak bagi korban, karena dari
perilaku perundungan korban akan mengalami gangguan pada emosi dan mentalnya.
Mereka dapat mengalami hilangnya kepercayaan diri, stress, depresi, hingga
bunuh diri. Terkadang bagi pelaku, perilaku yang mereka lakukan hanyalah
candaan untuk mengejek sang korban. Tetapi bagi korban perilaku tersebut tidak
dapat diterima karena hal tersebut sangat mempengaruhi mentalnya. Maka dari
itu, penting untuk memahami apa saja dampak yang akan terjadi jika melakukan
perilaku perundungan. Dua, kurangnya pendidikan dan pengawasan dari orang tua.
Orang tua merupakan seseorang yang pertama kali mengajarkan kita tentang banyak
hal, seperti pemahaman agama, pendidikan, dan bahasa. Tetapi ketika orang tua
kurang memberikan pendidikan serta pengawasan, maka anak akan merasa bebas
untuk melakukan apapun sehingga ia tidak mengetahui mana perilaku yang baik dan
mana perilaku yang buruk. Sehingga perilaku perundungan dapat terjadi pada anak
yang kurang mendapatkan pendidikan dan pengawasan dari orang tua. Tiga, kurangnya
pendidikan agama dan budi pekerti. Pendidikan agama dan budi pekerti sangat
penting karena mengajarkan tentang tingkah laku manusia yang baik dan benar
untuk menanamkan perilaku sesuai norma yang ada, baik dari sisi agama maupun
budi pekerti. Agama manapun jelas mengajarkan pentingnya menyayangi setiap
makhluk hidup dan mengajarkan tentang kebaikan. Oleh karena itu, jika seseorang
tidak diajarkan mana karakter yang baik dan buruk, dan mereka kesulitan
membedakannya, maka seseorang tersebut akan melakukan hal-hal yang tidak sesuai
norma dan aturan dalam agama dan selayaknya budi pekerti yang baik. Perilaku perundungan
merupakan salah satu bentuk dari kurangnya pendidikan agama dan budi pekerti
pada seseorang.[8]
Berdasarkan ini,
maka penguatan pendidikan agama dan budi pekerti mesti menjadi perhatian dari
sekolah untuk meminimalkan kasus perundungan. Tentu saja, pada ranah ini, guru-guru
pendidikan agama dan budi pekerti di sekolah tidaklah sebatas bertugas memindahkan
pengetahuan seputar perundungan tetapi juga berupaya seoptimal mungkin memindahkan
nilai-nilai dan pada gilirannya secara konstruktif berdampak pada perubahan
perilaku anak-anak yang belajar di sekolah yang anti-perundungan.[9]***
[1] Adinda
Zahra Nur Aulia, Athaya Ramadhani Putri Cheriyanto, Dini Amalia, Tiara Alifta,
Yafi’tanasee Fakhrissa, dan Eva Laila Rizkiyah, “Penerapan Sikap Religius dalam
Kasus Bullying”, dalam Moderasi: Jurnal Kajian Islam Kontemporer, Volume
1, Nomor 1, 2023, 1-28. (3).
[2] Budi Setiawan, Sapardiyono, dan
Septi Indrawati, “Perlindungan Hak Asasi Manusia pada Kasus Bullying di
Kabupaten Purworejo”, dalam Eksaminasi: Jurnal Hukum, Vol.1, Nomor 2,
(2022) pp. 84-95 (86).
[3] Adinda
Zahra Nur Aulia, Athaya Ramadhani Putri Cheriyanto, Dini Amalia, Tiara Alifta,
Yafi’tanasee Fakhrissa, dan Eva Laila Rizkiyah, “Penerapan Sikap Religius dalam
Kasus Bullying”, 3.
[4] Lihat: UU
nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
[5] Lihat: UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.
[6] Budi Setiawan, Sapardiyono, dan
Septi Indrawati, “Perlindungan Hak Asasi Manusia pada Kasus Bullying di
Kabupaten Purworejo”, 91. Adinda Zahra Nur Aulia, Athaya Ramadhani Putri
Cheriyanto, Dini Amalia, Tiara Alifta, Yafi’tanasee Fakhrissa, dan Eva Laila
Rizkiyah, “Penerapan Sikap Religius dalam Kasus Bullying”, 7-8.
[7] Budi Setiawan, Sapardiyono, dan
Septi Indrawati, “Perlindungan Hak Asasi Manusia pada Kasus Bullying di
Kabupaten Purworejo”, 91.
[8] Adinda
Zahra Nur Aulia, Athaya Ramadhani Putri Cheriyanto, Dini Amalia, Tiara Alifta,
Yafi’tanasee Fakhrissa, dan Eva Laila Rizkiyah, “Penerapan Sikap Religius dalam
Kasus Bullying”, 10-11.
[9]
Suparlan, “Teori Konstruktivisme
dalam Pembelajaran”, Islamika: Jurnal Keislaman dan Ilmu Pendidikan,
Volume 1, Nomor 2, Juli 2019, 79-88 (80).
No comments:
Post a Comment