Wednesday, July 24, 2024

Mengatasi Ekstremisme Beragama

Oleh: Syamsul Kurniawan 

DALAM praktek keagamaan, sering kali terjadi perbedaan mencolok antara ajaran ideal agama dan kenyataan sosial-keagamaan yang ada di lapangan. Konsep “das sollen” (ide moral) dan “das sein” (fakta sosial) sering kali tidak sejalan. Dalam konteks Islam misalnya, sikap intoleran yang diperagakan oleh "oknum" muslim dari kelompok muslim “garis keras” mencederai citra Islam yang dikenal sebagai agama yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan li al-‘âlamîn). Sikap keras dan intoleran ini jelas bertentangan dengan tujuan utama ajaran Islam, yaitu untuk memelihara lima aspek penting kehidupan: jiwa, agama, harta, keturunan, dan akal (al-Mawardi, 1996).

Mengapa Muncul?

Untuk memahami sebab-sebab munculnya pemikiran ekstremisme di kalangan umat Islam, kita dapat menggunakan teori habitus dari Pierre Bourdieu. Teori ini menggarisbawahi bahwa pemikiran dan perilaku individu dipengaruhi oleh struktur sosial dan sejarah kehidupan mereka, yang membentuk pola pikir dan respons terhadap lingkungan sosial (Bourdieu, 1990). Dalam konteks ekstremisme, habitus kelompok ekstremis sering kali dibentuk oleh pengalaman sejarah, kondisi sosial-ekonomi, dan kekacauan politik yang mereka alami.

Sejarah dan dinamika umat Islam menunjukkan bahwa ekstremisme bukanlah fenomena baru. Berbagai periode konflik dan ketegangan politik dalam sejarah Islam, seperti era Khawarij di masa awal Islam, telah menunjukkan bagaimana kondisi sosial dan ketidakpuasan dapat mendorong radikalisasi (Sivan, 1985). Pada masa itu, kelompok Khawarij muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap pemerintahan Umayyah yang dianggap tidak memenuhi prinsip-prinsip Islam yang ketat.

Dengan memahami pola-pola ini, kita dapat melihat bahwa ekstremisme sering kali muncul dalam konteks ketidakadilan sosial dan ketidakpuasan terhadap keadaan politik yang tidak memadai. Ketidakpuasan ini kemudian membentuk habitus kelompok ekstremis, mendorong mereka untuk mengadopsi ideologi yang sangat keras sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan.

Pentingnya Meneladani Nabi Saw

Dalam hal ini, ekstremisme terjadi oleh karena sebagian oknum muslim dari kelompok muslim “garis keras” kurang mampu meneladani sifat dan perilaku Nabi Saw. Jelas, meneladani sifat dan perilaku Nabi Saw menjadi sangat penting dalam konteks kita sebagai muslim. Misi utama Nabi Saw adalah menyempurnakan akhlak, sebagaimana tercatat dalam berbagai literatur hadis (baca misalnya: al-Bukhari, 1997). Nabi Saw dengan misi yang diembannya, menunjukkan sebuah contoh kehidupan yang syarat dengan toleransi dan kebijaksanaan. Sangat-sangat moderat. Hadis-hadis Nabi Saw yang autentik jelas mencerminkan potret moderasi dan kebaikan, yang sangat relevan untuk diadaptasi dalam konteks kontemporer, sebagaimana saat ini (Kamali, 2015).

Dengan demikian, untuk memahami dan mengimplementasikan konsep moderasi Islam atau “wasatîyah”, penting bagi kita tidak hanya merujuk ke Al-Qur‘an, tetapi juga penting merujuk pada hadis-hadis Nabi Saw dengan pemahaman yang komprehensif. “Tidak setengah-setengah.

Ketauladanan Nabi Saw dalam hal ini bisa diterjemahkan ke dalam nilai-nilai universal yang mendasari praktek keagamaan dan sosial yang damai. Dengan memahami esensi baik dari Al-Qur‘an dan hadis-hadis tersebut, selayaknya umat Islam dapat lebih mudah menerapkan prinsip-prinsip moderasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga nilai-nilai luhur Islam dapat direalisasikan secara konkret di tengah-tengah masyarakat. Ini bukan hanya akan memperbaiki citra Islam yang dirusak oleh oknum-oknum ekstrem yang mengaku muslim, tetapi juga akan memperkuat hubungan antarindividu dan komunitas baik internal umat Islam maupun eksternal umat Islam dengan pemeluk ajaran agama lain, yang pada gilirannya menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif.

Menimbang Peran Pendidikan Agama Islam di Sekolah

Pendidikan agama Islam di sekolah jelas memainkan peran krusial dalam membentuk sikap dan pandangan siswa terhadap ajaran agama mereka. Dalam konteks Islam, pendidikan agama yang moderat di sekolah-sekolah dapat berfungsi sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai “wasatîyah” (moderasi) dan melawan ekstremisme.

Jika kita merujuk ke teori habitus yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, bahwa individu tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya di sekitarnya, tetapi juga oleh internalisasi dari struktur sosial yang membentuk pola pikir dan perilaku mereka (Bourdieu, 1990). Dalam konteks pendidikan agama Islam, habitus bisa merujuk pada cara-cara di mana nilai-nilai, norma, dan keyakinan agama ditanamkan dan dipertahankan melalui pendidikan formal dan informal. Sehingga ia bisa saja “ekstrem” dan bisa saja “moderat.”

Lantas, bagaimana peran pendidikan agama Islam di sekolah bisa membentuk habitus yang moderat pada warga sekolah, terutama siswa-siswa yang belajar? Setidaknya ada empat strategi pencapaian:

1. Kurikulum yang Seimbang dan Inklusif

Salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai “wasatîyah” adalah dengan mengembangkan kurikulum pendidikan agama yang seimbang dan inklusif. Kurikulum yang baik harus mencakup berbagai aspek ajaran Islam yang menekankan moderasi dan toleransi. Misalnya, pelajaran tentang sejarah Islam yang mencakup kontribusi berbagai kalangan dalam sejarah Islam, serta nilai-nilai universal seperti toleransi dan keadilan sosial, dapat membantu siswa memahami bahwa Islam adalah agama yang inklusif dan moderat.

Sebagai contoh, kurikulum harus menyertakan studi tentang peran Nabi Saw dalam memperkenalkan prinsip-prinsip moderasi dalam masyarakat Islam awal. Ini mencakup ajaran Nabi Saw yang menekankan pentingnya toleransi, keadilan, dan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari (Kamali, 2015). Dengan memahami konteks historis dan ajaran moderat ini, siswa yang belajar agama Islam dapat menginternalisasi nilai-nilai tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan mereka.

2. Pendekatan Pedagogis yang Berorientasi pada Dialog

Pendidikan agama Islam yang moderat harus mengadopsi pendekatan pedagogis yang berorientasi pada dialog dan diskusi terbuka. Pendekatan ini memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi dan memahami berbagai pandangan dalam kerangka Islam, serta mengajarkan keterampilan berpikir kritis. Dengan berdialog tentang berbagai interpretasi ajaran agama dan isu-isu kontemporer, siswa dapat mengembangkan sikap yang lebih toleran dan terbuka terhadap perbedaan.

Teori habitus menunjukkan bahwa kebiasaan dan pola pikir individu terbentuk melalui proses belajar dan pengalaman sosial. Dengan mengadopsi metode pembelajaran yang berbasis pada dialog, siswa tidak hanya menerima informasi secara pasif tetapi juga aktif terlibat dalam proses pembelajaran, yang membantu membentuk habitus mereka dalam konteks moderasi (Bourdieu, 1990).

3. Peran Guru sebagai Model dan Fasilitator

Guru-guru di sekolah, terutama Guru Agama Islam memainkan peran penting dalam membentuk habitus siswa. Guru-guru yang menerapkan nilai-nilai moderat dalam pengajaran mereka akan menjadi teladan yang efektif bagi siswa. Selain mengajarkan kurikulum yang seimbang, Guru-guru juga harus mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam interaksi sehari-hari dengan siswa. Misalnya, Guru-guru yang menunjukkan sikap toleransi dan menghargai perbedaan dalam kelas akan membantu menanamkan nilai-nilai tersebut dalam habitus siswa.

Selain itu, pelatihan profesional bagi guru-guru untuk memahami dan mengajarkan prinsip-prinsip moderasi dalam Islam sangat penting. Pada konteks ini, kegiatan semacam “Penguatan Moderasi Beragama” menjadi sebuah hal yang penting bagi mereka. Pada penguatan ini diharapkan akan terwujud pemahaman yang mendalam pada mereka tentang ajaran Islam yang moderat dan bagaimana menerapkannya dalam konteks pendidikan (Sivan, 1985).

4. Penguatan Konteks Sosial dan Keluarga

 

Habitus siswa juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial mereka, termasuk keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, sekolah bukan satu-satunya yang menentukan habitus moderasi beragama siswa. Pendidikan agama Islam yang moderat di sekolah-sekolah tentu saja harus diintegrasikan dengan upaya-upaya penguatan moderasi beragama dalam konteks keluarga dan masyarakat. Apa yang diajarkan orang tua dan apa yang dialami siswa-siswa sehubungan dengan praktik beragama, yang mempromosikan nilai-nilai moderat dapat membantu menciptakan lingkungan yang konsisten antara sekolah, rumah dan di masyarakat.

Berdasarkan ini, pendidikan agama Islam yang moderat di sekolah-sekolah dapat berfungsi sebagai alat yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai “wasatîyah” dalam diri siswa. Melalui kurikulum yang seimbang, pendekatan pedagogis yang berbasis dialog, peran guru sebagai model, dan penguatan konteks sosial dan keluarga, pendidikan agama Islam dapat membantu membentuk habitus moderat yang mendukung toleransi dan inklusivitas. Dengan demikian, pendidikan agama Islam yang moderat bukan hanya mendidik siswa tentang ajaran agama mereka tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk menghadapi tantangan kontemporer dan mengatasi ekstremisme. Untuk itu Kerjasama yang harmonis antara sekolah, keluarga dan masyarakat jelas sangat-sangat penting di sini.

REFERENSI

al-Bukhari, M. I. (1997). Sahih al-Bukhari. Dar al-Salam.

al-Mawardi, A. (1996). The Ordinances of Government. Cambridge University Press.

Kamali, M. H. (2015). The Middle Path of Moderation in Islam. Oxford University Press.

Bourdieu, P. (1990). The Logic of Practice. Stanford University Press.

Sivan, E. (1985). Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics. Yale University Press.

No comments:

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...