Tuesday, September 3, 2024

Merdeka Belajar dalam Konteks Pendidikan Agama Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan

DALAM dunia pendidikan yang terus berkembang, gagasan Merdeka Belajar menawarkan sebuah angin segar bagi sistem pendidikan di Indonesia. Konsep ini bukan sekadar perubahan administrasi, melainkan sebuah revolusi yang memungkinkan siswa untuk menentukan arah pendidikan mereka sendiri, menyesuaikan dengan minat dan kebutuhan mereka. Namun, tantangan besar muncul ketika kita mempertimbangkan implementasi Merdeka Belajar dalam konteks pendidikan agama Islam. Pendidikan agama, sebagai inti dari pembentukan karakter dan identitas spiritual, harus lebih dari sekadar pencapaian kurikulum. Ia harus mengintegrasikan nilai-nilai spiritual yang mendalam, membantu siswa menemukan dan memahami jati diri mereka sebagai pemeluk agama. Dalam konteks ini, Merdeka Belajar bukan hanya sekadar kebebasan dalam belajar, tetapi juga sebuah kesempatan untuk memperdalam pengalaman spiritual dan pemahaman keagamaan. 

Fleksibilitas kurikulum yang diusung oleh Merdeka Belajar dapat mengakomodasi metode pengajaran yang lebih responsif terhadap kebutuhan individu siswa. Namun, penting untuk diingat bahwa kebebasan ini tidak boleh mengorbankan esensi pendidikan agama itu sendiri. Pendidikan agama Islam harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak hanya memenuhi tuntutan akademis, tetapi juga memperkaya pengalaman spiritual siswa. Dengan mengintegrasikan fleksibilitas ini dengan pemahaman yang mendalam tentang tujuan pendidikan agama, *Merdeka Belajar* berpotensi untuk menjadi jembatan yang menghubungkan pencapaian akademis dengan pengembangan spiritual. 

Hakikat Manusia yang Belajar 

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami hakikat manusia dalam konteks pendidikan agama Islam. Menurut pandangan dalam Al-Qur’an, istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut manusia memiliki makna mendalam yang berhubungan dengan eksistensi dan tujuan hidup manusia. Salah satu istilah kunci adalah “insan”, yang dalam Al-Qur’an dikaitkan dengan konsep “uns”—yaitu karakteristik jinak, harmonis, dan penuh kasih. Istilah ini mencerminkan sifat dasar manusia yang diharapkan untuk hidup dalam harmoni dengan diri mereka sendiri dan lingkungan mereka. Ada pula pendapat bahwa istilah “insan” berasal dari kata “nasiya” (lupa), menggambarkan sifat manusia yang cenderung lupa akan tujuan dan tanggung jawab mereka. 

Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an (1999), istilah “insan” muncul dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali, seringkali dalam konteks yang menyoroti peran manusia sebagai khalifah atau pemikul amanah di bumi. Konsep ini menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang diberi tanggung jawab untuk menjaga dan mengelola bumi, serta menjalankan peran mereka sebagai makhluk yang berakal dan berpikir. Sebagai hayawan al-nathiq (makhluk yang berbicara), manusia memiliki keistimewaan dalam kemampuannya untuk belajar dan mengajar, sebagaimana diungkapkan dalam Surah Al-‘Alaq ayat 4-5 dan Surah Ar-Rahman ayat 1-3. Ini menunjukkan bahwa pendidikan dalam Islam bukan hanya untuk tujuan intelektual tetapi juga untuk mengembangkan potensi manusia secara menyeluruh. 

Dalam konteks pendidikan agama Islam, penting untuk menyadari bahwa pendidikan bukan hanya tentang penyampaian pengetahuan, tetapi juga tentang humanisasi—upaya untuk “memanusiakan manusia”. Humanisasi dalam pendidikan agama Islam berarti mengembangkan siswa secara holistik, bukan hanya secara akademis tetapi juga spiritual dan moral. Dengan memahami hakikat manusia seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, guru agama Islam dapat membangun perspektif yang lebih dalam mengenai bagaimana mendidik siswa-siswa mereka. Perspektif ini akan berimplikasi pada konsep dan praktik pendidikan yang diterapkan. 

Guru agama Islam harus menyadari bahwa mereka tidak hanya mengajarkan teori agama tetapi juga membimbing siswa untuk mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pendidikan agama harus mengintegrasikan iman dan amal saleh, karena keduanya tidak terpisahkan dalam ajaran Islam. Proses ini harus mencakup pembelajaran yang praktis dan aplikatif, yang memungkinkan siswa untuk menerapkan prinsip-prinsip agama dalam konteks kehidupan nyata mereka. 

Tantangan Abad 21 

Memasuki abad 21, dunia pendidikan menghadapi tantangan baru yang tidak terlepas dari teori-teori kontemporer seperti yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard. Dalam bukunya Simulacra and Simulation (1994), Baudrillard mengemukakan bahwa kita hidup dalam era simulasi, di mana realitas seringkali digantikan oleh representasi dan simulacra. Dalam konteks pendidikan, hal ini berarti bahwa siswa seringkali terpapar pada gambar-gambar dan narasi yang tidak selalu mencerminkan kenyataan yang mendalam. 

Dalam pendidikan agama, tantangan ini mengharuskan kita untuk memastikan bahwa pembelajaran tidak terjebak dalam simulasi semata—yakni pelajaran yang hanya berupa simbol atau representasi tanpa makna yang mendalam. Pendidikan agama harus menghindari menjadi semacam “simulacrum” yang tidak menyentuh esensi spiritual dan moral dari ajaran agama. Oleh karena itu, implementasi Merdeka Belajar harus memperhatikan bahwa fleksibilitas yang diberikan kepada siswa tidak menyebabkan mereka terjebak dalam simulasi atau representasi agama yang dangkal. 

Sayyed Hossein Nasr, dalam bukunya Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (2007), mengidentifikasi krisis besar dalam masyarakat modern, yaitu kehilangan hubungan dengan dimensi spiritual dan natur manusia. Nasr berpendapat bahwa modernitas sering kali menyebabkan manusia teralienasi dari hakikat spiritual mereka, yang mengakibatkan krisis dalam pemahaman mereka tentang diri mereka sendiri dan dunia sekitar. 

Dalam konteks pendidikan agama Islam, ini berarti bahwa pendidikan harus mengatasi krisis ini dengan mengintegrasikan dimensi spiritual dalam proses belajar. Pendidikan agama harus mengarahkan siswa untuk menemukan kembali hubungan mereka dengan nilai-nilai spiritual dan etika, serta memahami peran mereka dalam dunia yang lebih luas. Implementasi Merdeka Belajar harus mempertimbangkan bahwa kebebasan belajar tidak hanya berarti kebebasan akademis, tetapi juga kebebasan untuk mengeksplorasi dan memahami dimensi spiritual dari kehidupan mereka. 

Sinergi antara Fleksibilitas dan Tujuan Pendidikan Agama Islam 

Sinergi antara fleksibilitas yang ditawarkan oleh Merdeka Belajar dan tujuan mendalam dari pendidikan agama Islam dapat dicapai dengan pendekatan yang holistik. Fleksibilitas dalam kurikulum harus digunakan untuk mendukung pembelajaran yang relevan dan aplikatif, yang memungkinkan siswa untuk menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan cara ini, Merdeka Belajar tidak hanya memberikan kebebasan akademis, tetapi juga memperkaya pengalaman spiritual siswa. 

Guru agama Islam harus mengambil peran aktif dalam merancang dan mengimplementasikan kurikulum yang tidak hanya memenuhi tuntutan akademis tetapi juga mendalami dimensi spiritual dari ajaran agama. Ini berarti menciptakan pengalaman belajar yang mengintegrasikan iman dan amal saleh, serta mendorong siswa untuk mengeksplorasi dan memahami hakikat mereka sebagai pemeluk agama.

Dengan mengintegrasikan konsep Merdeka Belajar dengan pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia dan tantangan-tantangan modern, pendidikan agama Islam dapat mencapai tujuannya yang lebih besar—membantu siswa menemukan dan memahami jati diri mereka sebagai pemeluk agama. Fleksibilitas kurikulum yang ditawarkan oleh Merdeka Belajar dapat menjadi alat yang kuat untuk memperkaya pengalaman spiritual dan moral siswa, asalkan digunakan dengan pemahaman yang mendalam tentang tujuan pendidikan agama. Dengan cara ini, pendidikan agama tidak hanya akan memenuhi tuntutan akademis, tetapi juga akan menjadi sarana untuk membentuk karakter dan identitas spiritual yang kokoh dalam diri siswa.***

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...