Friday, September 20, 2024

Menempa Literasi Kritis dari Warisan Pemikiran dan Peradaban Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan

Sabtu pagi, angin bertiup pelan dari celah dedaunan di halaman rumah saya yang hijau. Aroma teh manis yang mengepul di cangkir menghangatkan udara sejuk yang menyelimuti teras. Saya baru saja selesai membaca salah satu bab dari buku The End of Education (1995) karya Neil Postman, buku yang selama ini saya simpan di rak tanpa sempat saya telaah dengan baik. Postman, dengan gaya tulisannya yang tajam, menggambarkan pendidikan modern yang telah kehilangan arah: pendidikan yang terlalu terobsesi pada inovasi teknologi, tetapi gagal memberikan makna mendalam bagi siswa dalam memahami dunia mereka. Saya terdiam sejenak, memikirkan bagaimana pendidikan kita, terutama dalam kajian sejarah pemikiran dan peradaban Islam, bisa menghindari jebakan yang sama—menjadi sekadar transmisi informasi, tanpa memberi ruang bagi lahirnya pemikiran kritis yang berakar pada kehidupan sehari-hari.

Di sinilah kegelisahan saya mulai mengemuka. Ketika kita berbicara tentang sejarah pemikiran dan peradaban Islam, sering kali yang muncul adalah narasi besar tentang penaklukan dan kejayaan masa lalu. Kisah-kisah tentang bagaimana peradaban Islam menaklukkan dunia dari Andalusia hingga ke India, atau bagaimana ilmuwan Muslim menjadi pionir di berbagai bidang sains dan filsafat. Semua itu, tentu saja, penting dan membanggakan. Namun, apakah cukup sekadar menjadi nostalgia belaka? Saya merenung, sembari menyesap teh, apakah mahasiswa kita hanya akan tenggelam dalam romantisme sejarah ataukah mereka akan diajak untuk mengaitkan pelajaran masa lalu dengan tantangan zaman mereka? Inilah yang mendorong saya untuk merenungkan kembali bagaimana arah kajian mata kuliah ini bisa diarahkan untuk membangun literasi kritis yang sesungguhnya pada mahasiswa.

 

Nostalgia Sejarah: Penaklukan yang Hilang Makna

Ketika mahasiswa mempelajari sejarah pemikiran dan peradaban Islam, sering kali mereka terjebak dalam glorifikasi narasi penaklukan dan kejayaan. Mereka mempelajari tentang bagaimana Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia, atau bagaimana tentara Muslim menaklukkan Konstantinopel dan mengubahnya menjadi Istanbul. Namun, apakah penaklukan ini benar-benar relevan dengan dunia yang mereka hadapi sekarang? Jika hanya berhenti pada pujian terhadap kejayaan masa lalu, kita berisiko kehilangan esensi dari sejarah itu sendiri. 

Sejarah, menurut saya, harus lebih dari sekadar mengenang masa-masa emas. Ia harus menjadi jendela bagi mahasiswa untuk memahami kompleksitas dunia saat ini. Penaklukan yang mereka pelajari seharusnya tidak hanya menjadi ajang untuk membanggakan masa lalu, melainkan menjadi pelajaran tentang bagaimana kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan pemikiran kritis saling berkelindan dalam membentuk peradaban. Misalnya, dalam mempelajari jatuh bangunnya dinasti Abbasiyah, mahasiswa bisa diajak untuk melihat bagaimana perkembangan sains dan filsafat di bawah dinasti tersebut bukan hanya hasil dari kekuasaan politik, tetapi dari interaksi budaya dan pemikiran lintas peradaban. 

Di sinilah pentingnya literasi kritis. Mahasiswa tidak boleh hanya menerima narasi sejarah sebagai sesuatu yang statis dan final. Mereka harus diajak untuk mempertanyakan, menganalisis, dan mencari relevansi sejarah dengan kehidupan mereka sekarang. Literasi kritis adalah kemampuan untuk menggali makna di balik fakta sejarah, melihat bagaimana pengetahuan dapat digunakan untuk menantang status quo, dan bagaimana pembelajaran sejarah dapat menjadi bekal untuk menghadapi tantangan di masa depan.

Membangun Literasi Kritis melalui Sejarah Pemikiran dan Peradaban 

Literasi kritis adalah sebuah konsep yang jauh lebih dalam daripada sekadar kemampuan membaca dan menulis. Ini adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan menyikapi informasi dengan sikap kritis. Dalam konteks sejarah pemikiran dan peradaban Islam, literasi kritis berarti membekali mahasiswa dengan kemampuan untuk menelisik di balik narasi besar yang mereka pelajari. Misalnya, bagaimana pemikiran filsafat Islam berkembang di tengah-tengah pergulatan politik dan sosial yang kompleks? Bagaimana para ilmuwan Muslim mampu menghasilkan karya-karya monumental di tengah tekanan dari rezim politik? 

Sebagai contoh, mahasiswa sering kali mempelajari bagaimana Al-Ghazali menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah pemikiran Islam. Namun, apakah mereka juga diajak untuk mempertanyakan bagaimana kritik Al-Ghazali terhadap filsafat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam? Apakah mereka melihat bagaimana konflik antara pemikiran rasional dan tradisi keagamaan terus berlanjut hingga hari ini, tidak hanya di dunia Islam tetapi di seluruh dunia? 

Dengan pendekatan literasi kritis, mahasiswa diajak untuk melihat sejarah bukan sebagai kumpulan fakta-fakta yang harus dihafal, melainkan sebagai medan pergulatan ide-ide yang terus relevan dengan tantangan zaman mereka. Mereka akan belajar bahwa pemikiran kritis tidak hanya lahir dari pengetahuan, tetapi juga dari keberanian untuk mempertanyakan apa yang dianggap sudah mapan. 

Relevansi Kontekstual: Kebutuhan Mahasiswa di Jawa dan Kalimantan 

Konteks lokal sangat penting dalam mengajarkan literasi kritis. Apa yang relevan bagi mahasiswa di Jawa mungkin berbeda dengan kebutuhan mahasiswa di Kalimantan. Di Jawa, misalnya, mahasiswa mungkin lebih terfokus pada bagaimana Islam dan modernitas bertemu di tengah-tengah tantangan pluralitas budaya dan politik. Mereka bisa diajak untuk menulis dan menganalisis bagaimana pemikiran Islam Jawa berkembang, bagaimana Islam diadaptasi ke dalam tradisi lokal, dan bagaimana modernisasi mempengaruhi pemahaman agama.

 

Sementara itu, di Kalimantan, isu-isu yang dihadapi mahasiswa bisa sangat berbeda. Mahasiswa di sana hidup di tengah dinamika lingkungan yang sangat kompleks—deforestasi, ekspansi perkebunan sawit, dan konflik lahan adalah bagian dari kehidupan mereka. Bagaimana sejarah Islam dapat berbicara kepada mereka dalam konteks ini? Mungkin mereka perlu mempelajari bagaimana pemikiran Islam tentang keadilan sosial dan lingkungan dapat membantu mereka menghadapi tantangan yang ada. Dengan demikian, sejarah tidak hanya menjadi cerita tentang masa lalu, tetapi juga alat untuk memahami dunia di sekitar mereka dan membangun kesadaran kritis. 

Pendidikan yang berfokus pada literasi kritis memberikan mahasiswa alat untuk memahami dunia dengan lebih mendalam. Literasi kritis bukan sekadar kemampuan akademis, tetapi juga alat pemberdayaan. Dengan kemampuan ini, mahasiswa dapat mengidentifikasi ketidakadilan di sekitar mereka dan menggunakan pengetahuan yang mereka miliki untuk menantang status quo. 

Misalnya, mahasiswa yang belajar tentang sejarah pemikiran Islam dapat diajak untuk menganalisis bagaimana pemikiran Islam tentang keadilan sosial dapat diterapkan untuk menghadapi ketimpangan ekonomi di masyarakat mereka. Mereka dapat menulis esai, artikel, atau bahkan laporan penelitian yang menggali isu-isu ini dari perspektif sejarah, menghubungkannya dengan tantangan yang mereka hadapi saat ini. Dengan cara ini, literasi kritis bukan hanya tentang memahami masa lalu, tetapi juga tentang menggunakan pengetahuan tersebut untuk menciptakan perubahan di masa kini. 

Konteks Global: Belajar dari Peradaban Lain 

Ketika kita mempelajari sejarah pemikiran Islam, kita tidak boleh melupakan bahwa peradaban Islam berkembang melalui interaksi dengan berbagai peradaban lain. Dari Yunani Kuno hingga peradaban India dan Persia, Islam telah menyerap dan berinteraksi dengan berbagai gagasan dari luar. Inilah yang membuat peradaban Islam begitu kaya dan dinamis. Literasi kritis dalam kajian sejarah pemikiran Islam harus membuka mata mahasiswa terhadap interaksi lintas peradaban ini. 

Sebagai contoh, mahasiswa dapat mempelajari bagaimana filsafat Yunani diterjemahkan dan diadaptasi oleh para cendekiawan Muslim, seperti Al-Kindi dan Ibnu Sina. Mereka harus memahami bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan tidak berkembang dalam isolasi, melainkan melalui dialog antar peradaban. Ini juga berarti mahasiswa harus diajak untuk mempertanyakan bagaimana pemikiran Islam kontemporer berinteraksi dengan globalisasi dan modernitas saat ini. 

Mahasiswa bisa mempelajari bagaimana ide-ide tentang keadilan sosial dalam Islam berinteraksi dengan gagasan-gagasan keadilan di dunia Barat. Atau bagaimana pemikiran tentang hak asasi manusia dalam tradisi Islam berkontribusi pada diskusi global tentang hak-hak individu dan komunitas. Dengan memahami interaksi ini, mahasiswa tidak hanya belajar tentang sejarah Islam, tetapi juga tentang bagaimana peradaban Islam dapat berkontribusi pada solusi global untuk tantangan yang dihadapi dunia saat ini. 

Jadi, literasi kritis dalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam juga harus melampaui batas-batas lokal. Dalam dunia yang semakin terhubung, mahasiswa harus diajak untuk memahami bagaimana peradaban Islam berinteraksi dengan peradaban lain di dunia. Mereka harus memahami bahwa sejarah Islam tidak berkembang dalam isolasi, tetapi selalu terhubung dengan peristiwa global, baik di masa lalu maupun masa kini. 

Pembelajaran Berbasis Proyek: Menulis sebagai Sarana Pemikiran Kritis 

Salah satu cara terbaik untuk membangun literasi kritis dalam mata kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam adalah melalui pendekatan berbasis proyek. Pendekatan ini memungkinkan mahasiswa untuk terlibat secara langsung dalam penulisan dan analisis kritis. Misalnya, mereka dapat diminta untuk menulis tentang bagaimana pemikiran tokoh-tokoh Islam klasik seperti Ibnu Khaldun atau Al-Farabi masih relevan dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi saat ini. 

Dengan menulis, mahasiswa tidak hanya menyerap informasi, tetapi juga merenungkan dan menganalisisnya. Mereka harus mampu mengaitkan gagasan-gagasan yang mereka pelajari dengan realitas yang mereka hadapi. Penulisan bukan sekadar tugas akademis, tetapi juga sarana untuk menyuarakan pemikiran kritis dan menantang narasi yang ada. Misalnya, mahasiswa bisa diminta menulis tentang dampak globalisasi terhadap identitas keislaman di era digital, atau bagaimana pemikiran Islam tentang etika bisnis bisa diaplikasikan dalam konteks ekonomi modern. 

Menulis bukan hanya sarana untuk menyampaikan informasi atau pemikiran, tetapi juga alat refleksi yang mendalam. Bagi mahasiswa, menulis tentang sejarah pemikiran Islam bukan hanya tentang mengulang kembali apa yang mereka pelajari di kelas, tetapi juga cara untuk merenungkan pemikiran mereka sendiri. Dengan menulis, mahasiswa dapat mengeksplorasi bagaimana pemikiran-pemikiran masa lalu mempengaruhi cara mereka melihat dunia saat ini, serta bagaimana gagasan-gagasan tersebut dapat membentuk identitas mereka sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. 

Saya teringat pada saat-saat di mana saya sendiri menulis untuk memahami dunia di sekitar saya. Di teras rumah, dengan secangkir teh manis yang menenangkan pikiran, saya sering merenungkan bagaimana narasi besar yang kita pelajari sering kali gagal menyentuh realitas sehari-hari. Sejarah tidak hanya harus menjadi bahan bacaan akademis, tetapi juga sumber inspirasi untuk bertindak dan berpikir lebih kritis. Menulis, dalam hal ini, menjadi proses yang sangat pribadi, di mana mahasiswa diajak untuk berinteraksi secara lebih intim dengan ide-ide besar yang mereka pelajari. 

Dengan menggunakan menulis sebagai alat refleksi, mahasiswa dapat lebih dalam memahami identitas mereka sendiri dalam konteks sejarah yang lebih luas. Mereka belajar untuk melihat bagaimana sejarah bukan hanya tentang narasi masa lalu, tetapi juga tentang cara kita membentuk masa depan. Inilah esensi dari literasi kritis—kemampuan untuk tidak hanya memahami dunia, tetapi juga berpartisipasi dalam perubahan dunia tersebut melalui pemikiran dan tindakan. 

Dalam prosesnya, penulisan yang kritis juga membantu mahasiswa mengembangkan kesadaran sosial. Ketika mereka menulis tentang peradaban Islam, mereka akan lebih peka terhadap dinamika kekuasaan, budaya, dan sosial yang ada di sekitar mereka. Misalnya, ketika mahasiswa di Kalimantan menulis tentang tantangan lingkungan dan sosial yang mereka hadapi, mereka akan lebih sadar tentang bagaimana struktur kekuasaan dan ekonomi berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah pemikiran Islam, dalam hal ini, bisa menjadi alat untuk membantu mahasiswa memahami bagaimana gagasan keadilan sosial, keberlanjutan, dan etika berkembang dalam tradisi Islam, dan bagaimana gagasan-gagasan tersebut relevan dengan tantangan kontemporer. 

Penulisan juga bisa menjadi sarana untuk memperjuangkan perubahan sosial. Melalui literasi kritis, mahasiswa belajar untuk menggunakan kata-kata mereka sebagai alat untuk menyuarakan ketidakadilan, mengkritik kebijakan yang tidak adil, dan membangun argumen yang kuat untuk mendukung ide-ide mereka. Ini bukan sekadar penulisan akademis, tetapi penulisan yang memiliki dampak sosial dan politik yang nyata. 

Mengarahkan Kajian Sejarah untuk Masa Depan 

Pada akhirnya, mengarahkan kajian sejarah pemikiran dan peradaban Islam untuk membangun literasi kritis adalah tentang memberi mahasiswa alat untuk memahami dan mengubah dunia. Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana kita dapat menggunakan pelajaran dari masa lalu untuk membentuk masa depan yang lebih baik. Literasi kritis memberi mahasiswa kemampuan untuk berpikir secara mendalam, menganalisis dengan kritis, dan menulis dengan penuh kesadaran sosial. 

Dalam suasana tenang di teras rumah saya, sambil menyesap teh manis yang mulai mendingin, saya kembali merenungkan esensi dari pendidikan. Mengapa literasi kritis begitu penting? Karena ia memberi mahasiswa kemampuan untuk tidak hanya memahami dunia, tetapi juga untuk menulis dan berbicara dengan otoritas. Melalui literasi kritis, mahasiswa dapat belajar untuk mempertanyakan narasi besar yang diajarkan kepada mereka, mencari relevansi sejarah dengan kehidupan mereka sendiri, dan menggunakan pengetahuan mereka untuk menciptakan perubahan sosial yang positif. 

Mahasiswa di kelas saya harus belajar bahwa kajian sejarah pemikiran dan peradaban Islam tidak boleh berhenti pada penaklukan dan kejayaan masa lalu. Mereka harus diajak untuk melihat sejarah sebagai alat untuk memahami dan memperbaiki dunia yang mereka hadapi saat ini. Dan, melalui penulisan yang kritis dan reflektif, mereka bisa belajar untuk menjadi pemikir yang lebih mandiri, lebih kritis, dan lebih peduli terhadap dunia di sekitar mereka.***

Thursday, September 19, 2024

Dari Ide ke Bukti: Menyusun Karya Tulis Ilmiah yang Orisinal dan Ilmiah

Oleh: Syamsul Kurniawan

PAGI ini, seperti biasa, saya duduk di depan layar komputer yang penuh dengan file-file tugas mahasiswa, hasil unggahan dari Google Form. Di tangan kiri saya, secangkir kopi hitam pekat yang masih mengepul. Rasanya sedikit pahit, namun justru di situ letak kenikmatannya. Ada sesuatu yang hampir ritualistik dalam momen ini, ketika saya membuka satu per satu file, memeriksa setiap tulisan, dan mencoba menelusuri jejak-jejak pemikiran yang tertuang di dalamnya. Dalam pekerjaan ini, saya sering kali menemukan keasyikan tersendiri: bukan sekadar menilai hasil akhir, tetapi juga menikmati proses menyaksikan mahasiswa saya tumbuh dalam menulis, meski itu berarti saya harus sabar menghadapi kesalahan yang berulang.

Namun, ketika membuka tugas-tugas ini, saya mendapati bahwa banyak dari mereka belum memahami sepenuhnya apa itu karya tulis ilmiah. Portofolio tugas-tugas mereka, meskipun dalam format digital, tetap membawa masalah lama—kebiasaan copy-paste yang masih sering mendominasi. Di tengah arus informasi yang begitu mudah diakses, para mahasiswa ini tampaknya belum bisa lepas dari godaan untuk mengambil jalan pintas. Ini adalah sebuah tantangan besar. Karya tulis ilmiah harus asli, bermanfaat, ilmiah, konsisten, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan tugas saya sebagai dosen adalah memastikan bahwa mereka memahami dan memenuhi semua syarat tersebut.

Asli (Original)

Hal pertama yang saya tekankan dalam setiap kesempatan adalah pentingnya keaslian. Menulis ilmiah bukan hanya soal menyalin informasi yang sudah ada, tetapi soal menghadirkan gagasan yang lahir dari proses berpikir kritis dan orisinal. Dalam Atomic Habits (2018), James Clear mengatakan bahwa perubahan besar dimulai dari kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten. Begitu juga dengan menulis orisinal. Mungkin mereka belum terbiasa, mungkin mereka merasa takut salah, tapi mereka harus memulainya dari langkah kecil: menyuarakan pikiran mereka sendiri.

Kebiasaan copy-paste ini sebenarnya adalah bentuk ketakutan yang terselubung. Ketakutan bahwa pemikiran mereka mungkin tidak cukup baik, tidak cukup berbobot. Sebagai dosen, saya berusaha membangun kepercayaan diri mereka, menunjukkan bahwa setiap pemikiran, sejauh itu jujur dan lahir dari proses berpikir yang mandiri, memiliki nilai. Orisinalitas adalah jantung dari sebuah karya tulis ilmiah. Jika seorang mahasiswa tidak bisa menulis dengan pemikiran sendiri, maka ia kehilangan esensi dari proses belajar itu sendiri.

Bermanfaat (Useful)

Namun, keaslian saja tidak cukup. Sebuah tulisan harus memberikan manfaat. Saya selalu bertanya kepada mahasiswa, "Apa yang ingin kalian sampaikan dalam tulisan ini? Apa yang akan diperoleh pembaca dari karya kalian?" Ini sering kali menjadi pertanyaan yang membuat mereka terdiam sejenak, berpikir, mungkin untuk pertama kalinya dalam proses menulis mereka, tentang apa manfaat konkret dari apa yang mereka tulis.

Karya tulis ilmiah harus memberikan sumbangsih, walaupun kecil, terhadap pengetahuan. Mereka harus belajar menempatkan diri bukan hanya sebagai penulis, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas akademik yang lebih besar, yang setiap ide dan gagasannya bisa membawa perubahan atau sekurang-kurangnya membuka pintu bagi diskusi baru. Ketika mahasiswa mulai menyadari pentingnya menulis yang bermanfaat, tulisan mereka mulai berubah, dari sekadar tugas yang harus diselesaikan menjadi sesuatu yang lebih berarti.

Ilmiah (Scientific)

Tentu saja, syarat lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa karya tulis ilmiah harus ilmiah. Ini berarti bahwa setiap argumen yang diajukan harus didukung oleh bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Menulis ilmiah bukanlah soal menulis opini pribadi, tetapi tentang bagaimana mengaitkan gagasan dengan data dan teori yang ada. Setiap kali saya membaca tulisan yang bertele-tele tanpa dasar, saya ingatkan kembali, bahwa ilmiah berarti berbicara berdasarkan fakta, bukan sekadar asumsi.

Banyak mahasiswa yang masih belum terbiasa dengan pendekatan ini. Mereka sering kali terjebak dalam narasi yang terlalu subjektif, tanpa memberikan bukti yang kuat. Di sinilah saya mencoba membantu mereka memahami bahwa sebuah argumen hanya akan sekuat data yang mendukungnya. Menulis ilmiah mengharuskan mereka untuk tidak hanya memahami topik yang dibahas, tetapi juga mampu menganalisis dan menyajikan data secara kritis.

Konsisten (Consistency)

Sambil menyeruput kopi yang sudah mulai mendingin, saya juga merenung tentang betapa pentingnya konsistensi dalam menulis. Sebuah tulisan yang baik harus konsisten dalam alur berpikir dan gaya penulisan. Banyak dari tugas mahasiswa yang sering kali kehilangan benang merah di tengah jalan. Mereka mulai dengan kuat, tetapi kemudian melemah karena tidak mampu menjaga fokus atau konsistensi argumen.

Saya sering kali mengingatkan mereka bahwa konsistensi adalah cerminan dari cara berpikir yang terstruktur. Menulis bukan hanya soal menyampaikan gagasan, tetapi juga soal menyampaikan gagasan itu secara runtut dan logis. Seperti yang ditekankan James Clear, kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten akan membawa hasil yang signifikan. Dalam hal ini, kebiasaan menulis dengan alur yang jelas dan konsisten akan membantu mereka menghasilkan tulisan yang lebih baik.

Dapat Dipertanggungjawabkan (Responsibility)

Terakhir, dan mungkin yang paling krusial, adalah tanggung jawab. Setiap kata, kalimat, dan paragraf dalam karya tulis ilmiah harus dapat dipertanggungjawabkan. Ini adalah masalah integritas akademik. Di era digital ini, ketika informasi bisa dengan mudah diakses dan disalin, mahasiswa harus diajari bahwa tanggung jawab akademik tidak bisa diabaikan. Karya tulis yang dihasilkan harus mencerminkan kejujuran dan usaha mereka sendiri.

Saya sering kali merasa perlu mengingatkan mereka bahwa karya tulis bukanlah sekadar tugas yang harus diselesaikan, tetapi sebuah pernyataan tanggung jawab intelektual. Jika mereka tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang mereka tulis, maka nilai dari tulisan itu pun hilang. Tanggung jawab ini mencakup segala aspek, mulai dari cara mereka mengutip sumber, hingga cara mereka menyusun argumen.

***

Melihat file-file tugas yang masih menumpuk di layar, saya tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Membangun pemahaman tentang orisinalitas, manfaat, ilmiah, konsistensi, dan tanggung jawab dalam menulis ilmiah bukanlah tugas yang mudah. Namun, di situlah saya menemukan kenikmatan. Seperti secangkir kopi yang pahit namun nikmat, proses ini mungkin tidak selalu mudah atau manis, tetapi di dalamnya ada kepuasan tersendiri.

Saya menikmati pekerjaan saya sebagai dosen, tidak hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai teman perjalanan bagi mahasiswa dalam menemukan kemampuan mereka sendiri. Jika mereka bisa memahami syarat-syarat dasar ini, saya yakin, mereka akan mampu menulis tanpa rasa takut, tanpa terbebani oleh ketakutan bahwa tulisan mereka tidak cukup baik. Mereka akan belajar bahwa menulis adalah sebuah proses, sebuah perjalanan yang memerlukan kesabaran dan ketekunan. Dan ketika itu tercapai, secangkir kopi di pagi hari akan terasa lebih manis.***

Monday, September 16, 2024

Eco-Sufisme

Oleh: Syamsul Kurniawan (Kaprodi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak)

Krisis ekologis kini telah menjadi ancaman nyata yang tak lagi dapat dipandang sebelah mata. Laporan terbaru yang dirilis oleh “Mongabay Indonesia” pada Hari Lingkungan Hidup 2024 menunjukkan bagaimana kondisi lingkungan di Indonesia semakin memburuk. Kerusakan hutan, polusi udara, pencemaran laut, dan degradasi lahan telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Krisis ini bukan hanya berdampak pada lingkungan secara fisik, tetapi juga membawa dampak sosial yang luas: hilangnya mata pencaharian, peningkatan kemiskinan, dan semakin memburuknya kualitas hidup masyarakat, khususnya di daerah pedesaan yang bergantung pada alam.

Namun, krisis ekologis yang kita hadapi bukan hanya soal lingkungan. Lebih dalam lagi, ini adalah refleksi dari krisis spiritual yang melanda manusia modern—sebuah keterasingan manusia dari alam dan dari Tuhannya. Dalam konteks ini, “Eco-Sufisme” hadir sebagai pendekatan holistik yang mengajak kita untuk meninjau ulang cara kita memperlakukan alam, melalui hikmah dan kearifan spiritual yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW.

Pada momen Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabiul Awal 1446 Hijriah, atau bertepatan dengan 16 September 2024 lalu, kita kembali diingatkan akan keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam segala aspek kehidupan. Salah satu sisi yang kerap dilupakan namun sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini adalah bagaimana Nabi Muhammad SAW memperlakukan alam dan lingkungan sekitarnya dengan penuh cinta dan kebijaksanaan. Relevan dengan: “Eco-Sufisme”. 

Nabi Muhammad SAW tidak hanya dikenal sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai sosok yang sangat memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam berbagai riwayat, kita dapat menemukan anjuran beliau untuk bersikap hemat dalam penggunaan air, bahkan saat berwudhu di sungai yang melimpah. Selain itu, Nabi juga menegaskan pentingnya menjaga pepohonan, dan bahkan menyarankan untuk menanam biji kurma, meski kiamat hendak tiba. Ini bukan sekadar ajakan simbolis, melainkan sebuah pesan mendalam tentang tanggung jawab manusia dalam menjaga alam. 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Jika kiamat hendak terjadi dan di tangan salah seorang dari kalian ada biji kurma, maka tanamlah biji itu jika ia mampu melakukannya sebelum kiamat tiba.” Pesan ini menunjukkan betapa pentingnya tindakan menjaga dan merawat alam, bahkan di saat-saat yang tampaknya tidak lagi relevan. Dalam Islam, menjaga alam adalah bentuk ibadah dan bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi.

 

Eco-Sufisme: Membangun Kesadaran Spiritual dan Ekologis 

Krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini tidak bisa hanya dijawab dengan solusi teknis atau kebijakan pemerintah. Pada level yang lebih mendalam, krisis ini membutuhkan pendekatan spiritual yang mampu menyentuh akar masalah—yaitu cara pandang manusia terhadap alam. Di sinilah pentingnya Eco-Sufisme, sebuah pendekatan yang memadukan dimensi spiritual dan ekologis. 

Dalam pandangan Sufisme, alam bukanlah entitas terpisah dari manusia, melainkan cerminan dari kebesaran Tuhan. Seyyed Hossein Nasr, dalam bukunya Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (2007), menekankan bahwa keterputusan spiritual manusia dari alam adalah akar dari krisis ekologis yang kita saksikan saat ini. Manusia modern yang terlalu terobsesi dengan eksploitasi materi telah kehilangan pandangan bahwa alam adalah refleksi dari Yang Maha Kuasa, dan karena itu harus diperlakukan dengan hormat. 

Menurut Nasr, penyembuhan krisis ekologis harus dimulai dengan penyembuhan spiritual manusia. Pandangan sufistik melihat alam sebagai ayat-ayat Tuhan yang nyata—tanda-tanda kebesaran-Nya yang harus dihargai. Dengan merusak alam, kita tidak hanya merusak ekosistem fisik, tetapi juga merusak hubungan kita dengan Sang Pencipta. Inilah esensi dari *Eco-Sufisme*: tanggung jawab kita sebagai manusia untuk menjaga alam sebagai bagian dari ibadah dan kesadaran spiritual kita. 

Hikmah dalam Tindakan: Solusi Holistik Eco-Sufisme 

“Hikmah” atau kebijaksanaan adalah konsep kunci dalam Sufisme yang sangat relevan dengan solusi terhadap krisis ekologis. Hikmah mengajarkan bahwa pengetahuan yang mendalam harus diterjemahkan ke dalam tindakan yang bijaksana. Dalam konteks eco-sufisme, hikmah menuntun kita untuk melihat alam bukan hanya sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi, tetapi sebagai amanah yang harus dijaga. 

Degradasi lingkungan yang kita hadapi saat ini, seperti yang dilaporkan oleh Mongabay, adalah cerminan dari hilangnya hikmah dalam cara manusia memperlakukan alam. Kita telah kehilangan kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan alam, memandangnya semata-mata sebagai objek yang dapat dieksploitasi tanpa batas. Alam adalah manifestasi dari Rahmat Ilahi, dan merusaknya berarti merusak hubungan kita dengan-Nya. 

Eco-Sufisme mengajarkan bahwa kita harus membersihkan diri dari sikap-sikap yang merusak alam (takhalli), kemudian mengisi diri dengan sifat-sifat baik yang mendukung kelestarian alam (tahalli), dan pada akhirnya mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi di mana kita melihat diri kita sebagai bagian integral dari alam (tajalli). Ini adalah proses yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan spiritualitas, memungkinkan kita untuk menjadi penjaga alam yang lebih bertanggung jawab dan bijaksana. 

Nabi Muhammad SAW, dalam banyak riwayat, menunjukkan bagaimana spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab ekologis. Salah satu contohnya adalah perintah beliau untuk tidak menebang pohon tanpa alasan yang benar, serta ajakan untuk memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana. Dalam konteks modern, ajaran ini sangat relevan dengan tantangan yang kita hadapi dalam menjaga kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati. 

Lebih dari itu, ajaran Nabi SAW juga mengajarkan kita bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah. Dalam Islam, manusia dipandang sebagai khalifah di bumi—wakil Tuhan yang bertugas untuk menjaga dan melestarikan alam. Tanggung jawab ini tidak bisa diabaikan, terutama di saat-saat seperti sekarang ketika kerusakan lingkungan mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. 

Harmoni antara Tuhan, Alam, dan Manusia: Solusi Eco-Sufisme 

Dalam pandangan sufistik, ada harmoni yang mendasar antara Tuhan, alam, dan manusia. Sachiko Murata, dalam bukunya The Tao of Islam (1992), menekankan pentingnya harmoni ini sebagai kunci kehidupan yang seimbang. Menurut Murata, krisis ekologis yang kita hadapi adalah akibat dari hilangnya harmoni tersebut—manusia modern telah melanggar hukum-hukum alam dan menyebabkan kerusakan yang tidak terelakkan. 

Eco-Sufisme mengajarkan kita untuk kembali kepada harmoni ini, dengan menjadikan hikmah sebagai panduan dalam setiap tindakan kita terhadap alam. Alam adalah cerminan dari Tuhan, dan menjaga kelestariannya adalah bagian dari tanggung jawab spiritual kita. Dengan menggabungkan hikmah dan kesadaran ekologis, kita bisa mulai memperbaiki hubungan kita dengan alam dan Tuhan. 

Dalam pendekatan ini, tindakan menjaga alam tidak hanya dilihat sebagai kewajiban moral, tetapi juga sebagai bentuk ibadah. Ketika kita merawat alam, kita tidak hanya melindungi lingkungan fisik, tetapi juga memperkuat hubungan spiritual kita dengan Sang Pencipta.

Krisis ekologis yang kita hadapi saat ini adalah panggilan untuk kembali kepada hikmah dan kearifan spiritual. Eco-Sufisme menawarkan jalan yang memungkinkan kita untuk melihat alam sebagai manifestasi dari Rahmat Ilahi, dan untuk bertindak dengan kesadaran penuh terhadap tanggung jawab kita sebagai khalifah di muka bumi. 

Dengan mengintegrasikan hikmah dalam tindakan kita, kita tidak hanya menjaga alam, tetapi juga memperkuat hubungan spiritual kita dengan Tuhan. Melalui berbagai langkah kecil seperti menanam pohon, menjaga kebersihan lingkungan, dan mengurangi konsumsi yang berlebihan, kita dapat membangun kembali harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. 

Kecuali itu, Maulid Nabi Muhammad SAW ini adalah momen yang tepat untuk merenungkan kembali ajaran-ajaran beliau tentang pentingnya menjaga alam dan melestarikan lingkungan. Melalui Eco-Sufisme, kita diajak untuk tidak hanya melihat krisis ekologis sebagai masalah fisik, tetapi juga sebagai tantangan spiritual yang memerlukan solusi yang lebih mendalam dan bijaksana. Dengan menjadikan hikmah sebagai panduan, kita bisa melangkah menuju masa depan yang lebih berkelanjutan, selaras dengan alam dan Sang Pencipta. ***

Menggali Makna Jihad Santri: Perspektif Baru dalam Konteks Bela Negara

Oleh: Syamsul Kurniawan

DALAM sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia, kita mengenal berbagai bentuk jihad. Salah satunya adalah perjuangan fisik melawan penjajah, yang terinspirasi oleh semangat keagamaan dan cinta tanah air. Jihad dalam konteks ini merupakan manifestasi dari bela negara, sebuah kewajiban yang tak terpisahkan dari kesalehan beragama. Islam menempatkan jihad untuk membela bangsa sebagai bagian dari jihad fi sabilillah, perjuangan di jalan Tuhan. Seperti yang diungkapkan dalam QS Al-Baqarah [2]:154, orang-orang yang gugur di jalan Allah tidaklah mati, melainkan hidup dengan kemuliaan yang tak terlihat oleh mata manusia.

Namun, di era modern, bentuk jihad tidak lagi hanya perlawanan fisik terhadap musuh eksternal. Musuh kita telah berubah menjadi penetrasi budaya, penjajahan ekonomi, dan imperialisme melalui media populer. Jean Baudrillard, dalam pemikirannya tentang “hyperreality” dan simulasi, memberikan kita kerangka untuk memahami bagaimana kebudayaan dan ideologi asing menyusup melalui jalur-jalur simbolis, menggantikan realitas dengan citra-citra yang tidak nyata. Dalam dunia yang dikuasai oleh simbol-simbol ini, jihad fi sabilillah mengalami transformasi, dari perlawanan fisik menjadi perlawanan kultural dan ideologis.

Bagi santri di Pondok Pesantren dan lulusan-lulusan pesantren, jihad modern ini memiliki makna yang mendalam. Jihad bukan lagi soal mengangkat senjata, tetapi bagaimana mereka melawan imperialisme melalui budaya, mengisi kemerdekaan dengan prestasi, dan membangun bangsa dengan nilai-nilai luhur. Ini adalah jihad yang lebih subtil, namun tak kalah pentingnya. Dalam dunia yang dikuasai oleh simulasi dan citra, santri harus menyadari bahwa perjuangan untuk mempertahankan identitas dan martabat bangsa membutuhkan ketangguhan kultural dan kecerdasan ideologis.

Transformasi Bela Negara: Dari Fisik ke Kultural

Jean Baudrillard, dalam bukunya Simulacra and Simulation (1994), menunjukkan bagaimana realitas yang kita hadapi hari ini sering kali bukanlah realitas yang sejati, melainkan simulasi yang diciptakan oleh media dan simbol-simbol budaya. Penjajahan modern tidak lagi datang dalam bentuk pasukan militer, melainkan melalui produk budaya, film, media sosial, dan gaya hidup yang secara perlahan mengikis nilai-nilai asli bangsa. Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai “hyperreality”, di mana masyarakat lebih terikat pada citra dan simulasi daripada realitas itu sendiri.

Dalam konteks bela negara, jihad modern berarti melawan infiltrasi budaya yang merusak dan mempertahankan identitas nasional melalui penguatan budaya lokal dan agama. Penjajahan budaya populer, yang terlihat sepele, sebenarnya memiliki daya hancur yang sangat besar terhadap tatanan sosial dan moral suatu bangsa. Oleh karena itu, semangat jihad dalam membela negara harus disalurkan ke arah perjuangan kultural—melalui pendidikan, seni, dan penciptaan narasi yang membangun. Santri, dengan latar belakang pendidikan keislaman yang kuat, memiliki modal besar untuk terlibat dalam jihad kultural ini, menjadi benteng pertahanan nilai-nilai moral dan spiritual. 

Namun, untuk dapat melawan simulasi budaya dan penetrasi asing, kita tidak bisa hanya mengandalkan semangat dan retorika. Kita butuh disiplin, kebiasaan, dan strategi yang terstruktur. James Clear, dalam bukunya Atomic Habits (2018), menekankan pentingnya perubahan kecil yang berkelanjutan dalam menciptakan transformasi besar. Dalam konteks jihad membangun bangsa, kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan dengan konsisten dapat menciptakan efek domino yang kuat dalam membentuk bangsa yang mandiri dan berdaya saing. 

Membangun Bangsa Melalui Kebiasaan Positif 

Jihad, seperti yang telah kita bahas, adalah perjuangan di jalan Allah yang mencakup segala aspek kehidupan, termasuk dalam konteks membela dan membangun bangsa. Dalam dunia modern, jihad tidak harus selalu berbentuk perjuangan besar yang dramatis. Sebaliknya, jihad dapat diwujudkan melalui upaya-upaya kecil yang dilakukan secara terus-menerus. Ini adalah esensi dari konsep “atomic habits” yang dijelaskan oleh James Clear. Menurut Clear, perubahan besar tidak selalu datang dari tindakan besar, tetapi dari serangkaian perubahan kecil yang konsisten. 

Jika santri di Pondok Pesantren dan lulusan pesantren ingin membangun bangsa yang maju dan berwibawa, semangat jihad harus diintegrasikan ke dalam kebiasaan-kebiasaan sehari-hari. Misalnya, santri yang berkomitmen untuk terus belajar, berprestasi di bidangnya, dan berkontribusi bagi masyarakat, tidak hanya menjalankan kewajibannya sebagai warga negara, tetapi juga melaksanakan jihad fi sabilillah. Prestasi akademis, profesionalisme dalam bekerja, dan kontribusi sosial semuanya adalah bentuk jihad modern yang memiliki dampak besar bagi kemajuan bangsa. 

Baudrillard memperingatkan kita tentang bahaya “hyperreality”, di mana masyarakat terjebak dalam ilusi citra dan simbol, sementara realitas yang sebenarnya diabaikan. Untuk melawan hal ini, santri harus membangun kebiasaan yang konkret dan nyata dalam hidupnya—membaca, menulis, belajar, dan bekerja keras. Dengan disiplin yang konsisten, mereka akan mampu melawan pengaruh destruktif dari budaya populer yang menyimpang. 

Peran Santri dalam Jihad Modern 

Dalam konteks jihad membela negara, santri memiliki peran yang sangat penting. Mereka adalah penerus perjuangan yang dulu dilakukan oleh para pahlawan kemerdekaan. Namun, bentuk perjuangan mereka berbeda. Jika dahulu pahlawan kita harus berjuang mengangkat senjata melawan penjajah, kini para santri harus melawan penjajahan dalam bentuk baru—penjajahan ideologis, budaya, dan ekonomi. 

Santri harus menyadari bahwa jihad modern adalah tentang bagaimana mereka membangun diri menjadi manusia unggul, yang tidak hanya kuat dalam iman, tetapi juga dalam ilmu pengetahuan dan keterampilan. Dalam bukunya, Atomic Habits (2018), James Clear mengajarkan bahwa kebiasaan-kebiasaan kecil yang positif, jika dilakukan secara terus-menerus, akan membentuk pribadi yang unggul. Santri yang rajin membaca, belajar, dan berkarya akan mampu memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan bangsa dan menjaga identitas serta kehormatan negaranya. 

Semangat jihad yang benar, jika tertanam kuat dalam diri santri, akan menjadi energi positif yang tak terbatas. Energi ini dapat mengantarkan mereka untuk terus berprestasi, menciptakan inovasi, dan menjadi manusia unggul yang mampu menghadapi tantangan zaman. Inilah jihad yang harus ditanamkan pada generasi santri saat ini—jihad yang tidak hanya terbatas pada aspek fisik, tetapi juga jihad intelektual dan spiritual. 

Dalam perspektif Islam, jihad tidak hanya berkaitan dengan perjuangan fisik, tetapi juga mencakup segala bentuk usaha untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam konteks bela negara, jihad modern memerlukan transformasi dari perlawanan fisik menjadi perjuangan kultural, ideologis, dan spiritual. Jean Baudrillard mengingatkan kita akan bahaya “hyperreality”, di mana penjajahan tidak lagi datang dalam bentuk militer, tetapi melalui budaya dan simbol-simbol yang menggantikan realitas sejati. 

Namun, seperti yang diajarkan James Clear dalam Atomic Habits (2018), transformasi besar selalu dimulai dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan dengan konsisten. Jihad modern bukanlah sesuatu yang harus dilakukan dengan dramatis, tetapi melalui usaha-usaha kecil yang dilakukan setiap hari. Santri, sebagai penerus bangsa, memiliki tanggung jawab besar dalam jihad ini. Dengan membangun kebiasaan positif, mereka dapat menjadi agen perubahan yang mampu menghadapi tantangan zaman dan membangun bangsa yang maju dan berwibawa.***

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...