Friday, September 20, 2024

Menempa Literasi Kritis dari Warisan Pemikiran dan Peradaban Islam

Oleh: Syamsul Kurniawan

Sabtu pagi, angin bertiup pelan dari celah dedaunan di halaman rumah saya yang hijau. Aroma teh manis yang mengepul di cangkir menghangatkan udara sejuk yang menyelimuti teras. Saya baru saja selesai membaca salah satu bab dari buku The End of Education (1995) karya Neil Postman, buku yang selama ini saya simpan di rak tanpa sempat saya telaah dengan baik. Postman, dengan gaya tulisannya yang tajam, menggambarkan pendidikan modern yang telah kehilangan arah: pendidikan yang terlalu terobsesi pada inovasi teknologi, tetapi gagal memberikan makna mendalam bagi siswa dalam memahami dunia mereka. Saya terdiam sejenak, memikirkan bagaimana pendidikan kita, terutama dalam kajian sejarah pemikiran dan peradaban Islam, bisa menghindari jebakan yang sama—menjadi sekadar transmisi informasi, tanpa memberi ruang bagi lahirnya pemikiran kritis yang berakar pada kehidupan sehari-hari.

Di sinilah kegelisahan saya mulai mengemuka. Ketika kita berbicara tentang sejarah pemikiran dan peradaban Islam, sering kali yang muncul adalah narasi besar tentang penaklukan dan kejayaan masa lalu. Kisah-kisah tentang bagaimana peradaban Islam menaklukkan dunia dari Andalusia hingga ke India, atau bagaimana ilmuwan Muslim menjadi pionir di berbagai bidang sains dan filsafat. Semua itu, tentu saja, penting dan membanggakan. Namun, apakah cukup sekadar menjadi nostalgia belaka? Saya merenung, sembari menyesap teh, apakah mahasiswa kita hanya akan tenggelam dalam romantisme sejarah ataukah mereka akan diajak untuk mengaitkan pelajaran masa lalu dengan tantangan zaman mereka? Inilah yang mendorong saya untuk merenungkan kembali bagaimana arah kajian mata kuliah ini bisa diarahkan untuk membangun literasi kritis yang sesungguhnya pada mahasiswa.

 

Nostalgia Sejarah: Penaklukan yang Hilang Makna

Ketika mahasiswa mempelajari sejarah pemikiran dan peradaban Islam, sering kali mereka terjebak dalam glorifikasi narasi penaklukan dan kejayaan. Mereka mempelajari tentang bagaimana Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia, atau bagaimana tentara Muslim menaklukkan Konstantinopel dan mengubahnya menjadi Istanbul. Namun, apakah penaklukan ini benar-benar relevan dengan dunia yang mereka hadapi sekarang? Jika hanya berhenti pada pujian terhadap kejayaan masa lalu, kita berisiko kehilangan esensi dari sejarah itu sendiri. 

Sejarah, menurut saya, harus lebih dari sekadar mengenang masa-masa emas. Ia harus menjadi jendela bagi mahasiswa untuk memahami kompleksitas dunia saat ini. Penaklukan yang mereka pelajari seharusnya tidak hanya menjadi ajang untuk membanggakan masa lalu, melainkan menjadi pelajaran tentang bagaimana kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan pemikiran kritis saling berkelindan dalam membentuk peradaban. Misalnya, dalam mempelajari jatuh bangunnya dinasti Abbasiyah, mahasiswa bisa diajak untuk melihat bagaimana perkembangan sains dan filsafat di bawah dinasti tersebut bukan hanya hasil dari kekuasaan politik, tetapi dari interaksi budaya dan pemikiran lintas peradaban. 

Di sinilah pentingnya literasi kritis. Mahasiswa tidak boleh hanya menerima narasi sejarah sebagai sesuatu yang statis dan final. Mereka harus diajak untuk mempertanyakan, menganalisis, dan mencari relevansi sejarah dengan kehidupan mereka sekarang. Literasi kritis adalah kemampuan untuk menggali makna di balik fakta sejarah, melihat bagaimana pengetahuan dapat digunakan untuk menantang status quo, dan bagaimana pembelajaran sejarah dapat menjadi bekal untuk menghadapi tantangan di masa depan.

Membangun Literasi Kritis melalui Sejarah Pemikiran dan Peradaban 

Literasi kritis adalah sebuah konsep yang jauh lebih dalam daripada sekadar kemampuan membaca dan menulis. Ini adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan menyikapi informasi dengan sikap kritis. Dalam konteks sejarah pemikiran dan peradaban Islam, literasi kritis berarti membekali mahasiswa dengan kemampuan untuk menelisik di balik narasi besar yang mereka pelajari. Misalnya, bagaimana pemikiran filsafat Islam berkembang di tengah-tengah pergulatan politik dan sosial yang kompleks? Bagaimana para ilmuwan Muslim mampu menghasilkan karya-karya monumental di tengah tekanan dari rezim politik? 

Sebagai contoh, mahasiswa sering kali mempelajari bagaimana Al-Ghazali menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah pemikiran Islam. Namun, apakah mereka juga diajak untuk mempertanyakan bagaimana kritik Al-Ghazali terhadap filsafat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam? Apakah mereka melihat bagaimana konflik antara pemikiran rasional dan tradisi keagamaan terus berlanjut hingga hari ini, tidak hanya di dunia Islam tetapi di seluruh dunia? 

Dengan pendekatan literasi kritis, mahasiswa diajak untuk melihat sejarah bukan sebagai kumpulan fakta-fakta yang harus dihafal, melainkan sebagai medan pergulatan ide-ide yang terus relevan dengan tantangan zaman mereka. Mereka akan belajar bahwa pemikiran kritis tidak hanya lahir dari pengetahuan, tetapi juga dari keberanian untuk mempertanyakan apa yang dianggap sudah mapan. 

Relevansi Kontekstual: Kebutuhan Mahasiswa di Jawa dan Kalimantan 

Konteks lokal sangat penting dalam mengajarkan literasi kritis. Apa yang relevan bagi mahasiswa di Jawa mungkin berbeda dengan kebutuhan mahasiswa di Kalimantan. Di Jawa, misalnya, mahasiswa mungkin lebih terfokus pada bagaimana Islam dan modernitas bertemu di tengah-tengah tantangan pluralitas budaya dan politik. Mereka bisa diajak untuk menulis dan menganalisis bagaimana pemikiran Islam Jawa berkembang, bagaimana Islam diadaptasi ke dalam tradisi lokal, dan bagaimana modernisasi mempengaruhi pemahaman agama.

 

Sementara itu, di Kalimantan, isu-isu yang dihadapi mahasiswa bisa sangat berbeda. Mahasiswa di sana hidup di tengah dinamika lingkungan yang sangat kompleks—deforestasi, ekspansi perkebunan sawit, dan konflik lahan adalah bagian dari kehidupan mereka. Bagaimana sejarah Islam dapat berbicara kepada mereka dalam konteks ini? Mungkin mereka perlu mempelajari bagaimana pemikiran Islam tentang keadilan sosial dan lingkungan dapat membantu mereka menghadapi tantangan yang ada. Dengan demikian, sejarah tidak hanya menjadi cerita tentang masa lalu, tetapi juga alat untuk memahami dunia di sekitar mereka dan membangun kesadaran kritis. 

Pendidikan yang berfokus pada literasi kritis memberikan mahasiswa alat untuk memahami dunia dengan lebih mendalam. Literasi kritis bukan sekadar kemampuan akademis, tetapi juga alat pemberdayaan. Dengan kemampuan ini, mahasiswa dapat mengidentifikasi ketidakadilan di sekitar mereka dan menggunakan pengetahuan yang mereka miliki untuk menantang status quo. 

Misalnya, mahasiswa yang belajar tentang sejarah pemikiran Islam dapat diajak untuk menganalisis bagaimana pemikiran Islam tentang keadilan sosial dapat diterapkan untuk menghadapi ketimpangan ekonomi di masyarakat mereka. Mereka dapat menulis esai, artikel, atau bahkan laporan penelitian yang menggali isu-isu ini dari perspektif sejarah, menghubungkannya dengan tantangan yang mereka hadapi saat ini. Dengan cara ini, literasi kritis bukan hanya tentang memahami masa lalu, tetapi juga tentang menggunakan pengetahuan tersebut untuk menciptakan perubahan di masa kini. 

Konteks Global: Belajar dari Peradaban Lain 

Ketika kita mempelajari sejarah pemikiran Islam, kita tidak boleh melupakan bahwa peradaban Islam berkembang melalui interaksi dengan berbagai peradaban lain. Dari Yunani Kuno hingga peradaban India dan Persia, Islam telah menyerap dan berinteraksi dengan berbagai gagasan dari luar. Inilah yang membuat peradaban Islam begitu kaya dan dinamis. Literasi kritis dalam kajian sejarah pemikiran Islam harus membuka mata mahasiswa terhadap interaksi lintas peradaban ini. 

Sebagai contoh, mahasiswa dapat mempelajari bagaimana filsafat Yunani diterjemahkan dan diadaptasi oleh para cendekiawan Muslim, seperti Al-Kindi dan Ibnu Sina. Mereka harus memahami bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan tidak berkembang dalam isolasi, melainkan melalui dialog antar peradaban. Ini juga berarti mahasiswa harus diajak untuk mempertanyakan bagaimana pemikiran Islam kontemporer berinteraksi dengan globalisasi dan modernitas saat ini. 

Mahasiswa bisa mempelajari bagaimana ide-ide tentang keadilan sosial dalam Islam berinteraksi dengan gagasan-gagasan keadilan di dunia Barat. Atau bagaimana pemikiran tentang hak asasi manusia dalam tradisi Islam berkontribusi pada diskusi global tentang hak-hak individu dan komunitas. Dengan memahami interaksi ini, mahasiswa tidak hanya belajar tentang sejarah Islam, tetapi juga tentang bagaimana peradaban Islam dapat berkontribusi pada solusi global untuk tantangan yang dihadapi dunia saat ini. 

Jadi, literasi kritis dalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam juga harus melampaui batas-batas lokal. Dalam dunia yang semakin terhubung, mahasiswa harus diajak untuk memahami bagaimana peradaban Islam berinteraksi dengan peradaban lain di dunia. Mereka harus memahami bahwa sejarah Islam tidak berkembang dalam isolasi, tetapi selalu terhubung dengan peristiwa global, baik di masa lalu maupun masa kini. 

Pembelajaran Berbasis Proyek: Menulis sebagai Sarana Pemikiran Kritis 

Salah satu cara terbaik untuk membangun literasi kritis dalam mata kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam adalah melalui pendekatan berbasis proyek. Pendekatan ini memungkinkan mahasiswa untuk terlibat secara langsung dalam penulisan dan analisis kritis. Misalnya, mereka dapat diminta untuk menulis tentang bagaimana pemikiran tokoh-tokoh Islam klasik seperti Ibnu Khaldun atau Al-Farabi masih relevan dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi saat ini. 

Dengan menulis, mahasiswa tidak hanya menyerap informasi, tetapi juga merenungkan dan menganalisisnya. Mereka harus mampu mengaitkan gagasan-gagasan yang mereka pelajari dengan realitas yang mereka hadapi. Penulisan bukan sekadar tugas akademis, tetapi juga sarana untuk menyuarakan pemikiran kritis dan menantang narasi yang ada. Misalnya, mahasiswa bisa diminta menulis tentang dampak globalisasi terhadap identitas keislaman di era digital, atau bagaimana pemikiran Islam tentang etika bisnis bisa diaplikasikan dalam konteks ekonomi modern. 

Menulis bukan hanya sarana untuk menyampaikan informasi atau pemikiran, tetapi juga alat refleksi yang mendalam. Bagi mahasiswa, menulis tentang sejarah pemikiran Islam bukan hanya tentang mengulang kembali apa yang mereka pelajari di kelas, tetapi juga cara untuk merenungkan pemikiran mereka sendiri. Dengan menulis, mahasiswa dapat mengeksplorasi bagaimana pemikiran-pemikiran masa lalu mempengaruhi cara mereka melihat dunia saat ini, serta bagaimana gagasan-gagasan tersebut dapat membentuk identitas mereka sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. 

Saya teringat pada saat-saat di mana saya sendiri menulis untuk memahami dunia di sekitar saya. Di teras rumah, dengan secangkir teh manis yang menenangkan pikiran, saya sering merenungkan bagaimana narasi besar yang kita pelajari sering kali gagal menyentuh realitas sehari-hari. Sejarah tidak hanya harus menjadi bahan bacaan akademis, tetapi juga sumber inspirasi untuk bertindak dan berpikir lebih kritis. Menulis, dalam hal ini, menjadi proses yang sangat pribadi, di mana mahasiswa diajak untuk berinteraksi secara lebih intim dengan ide-ide besar yang mereka pelajari. 

Dengan menggunakan menulis sebagai alat refleksi, mahasiswa dapat lebih dalam memahami identitas mereka sendiri dalam konteks sejarah yang lebih luas. Mereka belajar untuk melihat bagaimana sejarah bukan hanya tentang narasi masa lalu, tetapi juga tentang cara kita membentuk masa depan. Inilah esensi dari literasi kritis—kemampuan untuk tidak hanya memahami dunia, tetapi juga berpartisipasi dalam perubahan dunia tersebut melalui pemikiran dan tindakan. 

Dalam prosesnya, penulisan yang kritis juga membantu mahasiswa mengembangkan kesadaran sosial. Ketika mereka menulis tentang peradaban Islam, mereka akan lebih peka terhadap dinamika kekuasaan, budaya, dan sosial yang ada di sekitar mereka. Misalnya, ketika mahasiswa di Kalimantan menulis tentang tantangan lingkungan dan sosial yang mereka hadapi, mereka akan lebih sadar tentang bagaimana struktur kekuasaan dan ekonomi berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah pemikiran Islam, dalam hal ini, bisa menjadi alat untuk membantu mahasiswa memahami bagaimana gagasan keadilan sosial, keberlanjutan, dan etika berkembang dalam tradisi Islam, dan bagaimana gagasan-gagasan tersebut relevan dengan tantangan kontemporer. 

Penulisan juga bisa menjadi sarana untuk memperjuangkan perubahan sosial. Melalui literasi kritis, mahasiswa belajar untuk menggunakan kata-kata mereka sebagai alat untuk menyuarakan ketidakadilan, mengkritik kebijakan yang tidak adil, dan membangun argumen yang kuat untuk mendukung ide-ide mereka. Ini bukan sekadar penulisan akademis, tetapi penulisan yang memiliki dampak sosial dan politik yang nyata. 

Mengarahkan Kajian Sejarah untuk Masa Depan 

Pada akhirnya, mengarahkan kajian sejarah pemikiran dan peradaban Islam untuk membangun literasi kritis adalah tentang memberi mahasiswa alat untuk memahami dan mengubah dunia. Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana kita dapat menggunakan pelajaran dari masa lalu untuk membentuk masa depan yang lebih baik. Literasi kritis memberi mahasiswa kemampuan untuk berpikir secara mendalam, menganalisis dengan kritis, dan menulis dengan penuh kesadaran sosial. 

Dalam suasana tenang di teras rumah saya, sambil menyesap teh manis yang mulai mendingin, saya kembali merenungkan esensi dari pendidikan. Mengapa literasi kritis begitu penting? Karena ia memberi mahasiswa kemampuan untuk tidak hanya memahami dunia, tetapi juga untuk menulis dan berbicara dengan otoritas. Melalui literasi kritis, mahasiswa dapat belajar untuk mempertanyakan narasi besar yang diajarkan kepada mereka, mencari relevansi sejarah dengan kehidupan mereka sendiri, dan menggunakan pengetahuan mereka untuk menciptakan perubahan sosial yang positif. 

Mahasiswa di kelas saya harus belajar bahwa kajian sejarah pemikiran dan peradaban Islam tidak boleh berhenti pada penaklukan dan kejayaan masa lalu. Mereka harus diajak untuk melihat sejarah sebagai alat untuk memahami dan memperbaiki dunia yang mereka hadapi saat ini. Dan, melalui penulisan yang kritis dan reflektif, mereka bisa belajar untuk menjadi pemikir yang lebih mandiri, lebih kritis, dan lebih peduli terhadap dunia di sekitar mereka.***

No comments:

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...