Tuesday, September 24, 2024

Masyarakat Arab Pra-Islam: Antara Struktur dan Agen

Oleh: Syamsul Kurniawan

Di ruang kerja saya di Program Studi yang tenang, dengan ditemani satu gelas air mineral yang mulai berembun, saya baru saja menyelesaikan beberapa bab dari buku “History of the Arabs” karya Philip K. Hitti. Hujan deras di luar jendela tampak tak kunjung reda, membasahi Kota Pontianak. Suara tetes hujan memberi suasana kontemplatif, tepat saat saya merenungkan perjalanan panjang masyarakat Arab pra-Islam. Masyarakat yang sarat dengan adat istiadat, fanatisme kesukuan, serta struktur sosial yang kokoh, sebelum akhirnya datang perubahan besar yang dibawa oleh ajaran Islam.

Sejarah Arab pra-Islam selalu memunculkan daya tarik tersendiri. Bukan hanya karena masa itu dianggap sebagai “jahiliyah,” tetapi juga karena di balik kekerasan antar suku dan ketidakadilan sosial, terdapat tatanan sosial yang unik. Dengan menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens, kita bisa melihat bagaimana hubungan antara struktur sosial dan tindakan individu (agen) membentuk dinamika masyarakat ini. Giddens menekankan bahwa struktur bukanlah sesuatu yang kaku dan tidak bisa diubah. Sebaliknya, struktur terbentuk dari interaksi berulang antara agen dan norma yang ada, yang memungkinkan adanya perubahan. 

***

Masyarakat Arab pra-Islam sangat terikat dengan struktur kesukuan. Setiap orang diidentifikasi berdasarkan kabilah mereka, dan loyalitas utama bukanlah kepada bangsa atau negara, melainkan kepada suku masing-masing. Dalam masyarakat ini, syekh, atau pemimpin suku, memiliki kekuasaan besar. Kekuasaan ini, sebagaimana dijelaskan dalam teori strukturasi Giddens, adalah bagian dari struktur yang mendefinisikan tatanan sosial. Struktur kesukuan tersebut tidak hanya menentukan status dan peran seseorang di masyarakat, tetapi juga cara mereka berinteraksi satu sama lain.

Namun, seperti yang dikatakan oleh Giddens, agen – dalam hal ini individu-individu dalam masyarakat Arab – juga memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan bahkan mengubah struktur tersebut. Misalnya, perang antar-suku, meskipun menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Arab, juga mencerminkan bagaimana para pemimpin suku dan pejuang dapat bertindak sebagai agen perubahan. Melalui tindakan mereka, mereka tidak hanya mempertahankan norma-norma sosial, tetapi juga membuka ruang untuk negosiasi dan pergeseran kekuasaan di antara kabilah-kabilah tersebut.

Sebelum Islam hadir, agama di Jazirah Arab terdiri dari campuran kepercayaan paganisme, Yahudi, dan Kristen. Penyembahan berhala merupakan bagian penting dari struktur keagamaan masyarakat Arab pra-Islam, yang sangat terikat dengan identitas suku. Setiap suku memiliki berhala yang mereka sembah, dan ritual-ritual yang mereka lakukan berakar pada kepercayaan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. 

Namun, tidak semua orang menerima struktur keagamaan ini begitu saja. Beberapa tokoh seperti Waraqah bin Naufal dan kelompok hanif mulai mempertanyakan relevansi penyembahan berhala dan mencari kebenaran spiritual yang lebih dalam. Mereka adalah contoh agen-agen yang berusaha menantang dan mereformasi struktur keagamaan yang sudah lama mengakar. Dalam perspektif Giddens, ini adalah contoh bagaimana agen bisa mengganggu struktur sosial dan memicu perubahan, meskipun awalnya perubahan tersebut mungkin kecil dan tidak langsung terasa. 

Islam kemudian hadir sebagai revolusi spiritual yang benar-benar mengubah struktur masyarakat. Dengan ajaran tauhid yang menekankan keesaan Tuhan dan persamaan derajat di antara manusia, Islam menawarkan alternatif yang radikal bagi masyarakat Arab pra-Islam yang berstruktur hierarkis berdasarkan kesukuan dan kekuasaan elit agama. Nabi Muhammad, sebagai agen perubahan, memanfaatkan ajaran ini untuk merekonstruksi tatanan sosial yang ada dan membangun struktur baru yang lebih egaliter. 

Selain agama, struktur ekonomi Arab pra-Islam juga memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan masyarakat. Kota Mekkah, sebagai pusat perdagangan utama, menjadi simbol dari jaringan ekonomi yang luas yang menghubungkan Jazirah Arab dengan peradaban besar seperti Bizantium dan Persia. Di sini, kita melihat bagaimana pedagang Arab menjadi agen-agen perubahan yang memperkenalkan ide-ide dan pengaruh budaya dari luar Jazirah. 

Sebagai pedagang, orang-orang Arab tidak hanya berurusan dengan barang dagangan, tetapi juga memperluas cakrawala mereka. Interaksi perdagangan ini membantu memperkenalkan masyarakat Arab pada gagasan dan nilai-nilai yang berbeda, yang lambat laun mempengaruhi struktur sosial mereka. Dalam konteks teori strukturasi, pedagang adalah agen-agen yang menggunakan kekuatan mereka untuk menavigasi dan bahkan mengubah batasan-batasan sosial yang ada. 

Mengapa penting bagi kita untuk mempelajari sejarah Arab pra-Islam? Mengapa penting memahami bagaimana struktur dan agen berinteraksi dalam membentuk masyarakat? Sehubungan dengan ini, sejarah adalah guru yang mengajarkan hikmah bagi kita. Dengan mempelajari sejarah, kita bisa memahami bagaimana tindakan-tindakan masa lalu membentuk dunia yang kita huni sekarang. Sejarah juga memberikan kita pelajaran tentang bagaimana perubahan sosial terjadi, baik secara alami maupun melalui tindakan individu-individu yang berani menantang struktur yang ada. 

***

Dalam konteks Arab pra-Islam, mempelajari sejarah ini memungkinkan kita untuk melihat bahwa masyarakat yang dianggap sebagai “jahiliyah” tidak semata-mata terjebak dalam kegelapan. Mereka memiliki struktur sosial yang kompleks, yang meskipun penuh dengan ketidakadilan, juga memiliki dinamika yang memungkinkan terjadinya perubahan. Dengan mempelajari sejarah ini, kita bisa memahami bagaimana Islam muncul bukan hanya sebagai agama baru, tetapi juga sebagai kekuatan sosial yang mengubah struktur masyarakat Arab secara mendasar. 

Selain itu, sejarah ini juga penting karena memberikan kita wawasan tentang bagaimana masyarakat modern dibentuk. Kita bisa belajar banyak dari cara masyarakat Arab pra-Islam beradaptasi terhadap perubahan, dari bagaimana mereka memanfaatkan perdagangan untuk memperluas jaringan mereka, hingga bagaimana mereka merespons ajaran agama baru. Semua ini adalah pelajaran penting bagi kita yang hidup di dunia modern yang terus berubah. 

Melihat kembali masyarakat Arab pra-Islam melalui lensa teori strukturasi Giddens, kita dapat memahami bahwa tidak ada masyarakat yang sepenuhnya statis atau terjebak dalam struktur yang tidak bisa diubah. Setiap masyarakat, termasuk Arab pra-Islam, selalu berada dalam proses perubahan. Struktur sosial yang ada, baik itu kesukuan, agama, atau ekonomi, dibentuk dan diubah oleh tindakan individu-individu di dalamnya.

Di luar jendela, hujan perlahan mulai mereda, dan saya kembali meneguk air mineral yang tinggal setengah. Pikiran saya dipenuhi dengan pemahaman baru tentang betapa dinamisnya sejarah Arab pra-Islam. Masyarakat ini, meskipun tampak terjebak dalam struktur yang kuat, pada akhirnya bisa berubah karena tindakan individu-individu yang berani. Dan seperti halnya masyarakat Arab pra-Islam, kita pun berada dalam proses perubahan yang terus menerus, di mana struktur dan agen saling mempengaruhi dan membentuk masa depan kita bersama.*** 

No comments:

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...