Monday, September 16, 2024

Menggali Makna Jihad Santri: Perspektif Baru dalam Konteks Bela Negara

Oleh: Syamsul Kurniawan

DALAM sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia, kita mengenal berbagai bentuk jihad. Salah satunya adalah perjuangan fisik melawan penjajah, yang terinspirasi oleh semangat keagamaan dan cinta tanah air. Jihad dalam konteks ini merupakan manifestasi dari bela negara, sebuah kewajiban yang tak terpisahkan dari kesalehan beragama. Islam menempatkan jihad untuk membela bangsa sebagai bagian dari jihad fi sabilillah, perjuangan di jalan Tuhan. Seperti yang diungkapkan dalam QS Al-Baqarah [2]:154, orang-orang yang gugur di jalan Allah tidaklah mati, melainkan hidup dengan kemuliaan yang tak terlihat oleh mata manusia.

Namun, di era modern, bentuk jihad tidak lagi hanya perlawanan fisik terhadap musuh eksternal. Musuh kita telah berubah menjadi penetrasi budaya, penjajahan ekonomi, dan imperialisme melalui media populer. Jean Baudrillard, dalam pemikirannya tentang “hyperreality” dan simulasi, memberikan kita kerangka untuk memahami bagaimana kebudayaan dan ideologi asing menyusup melalui jalur-jalur simbolis, menggantikan realitas dengan citra-citra yang tidak nyata. Dalam dunia yang dikuasai oleh simbol-simbol ini, jihad fi sabilillah mengalami transformasi, dari perlawanan fisik menjadi perlawanan kultural dan ideologis.

Bagi santri di Pondok Pesantren dan lulusan-lulusan pesantren, jihad modern ini memiliki makna yang mendalam. Jihad bukan lagi soal mengangkat senjata, tetapi bagaimana mereka melawan imperialisme melalui budaya, mengisi kemerdekaan dengan prestasi, dan membangun bangsa dengan nilai-nilai luhur. Ini adalah jihad yang lebih subtil, namun tak kalah pentingnya. Dalam dunia yang dikuasai oleh simulasi dan citra, santri harus menyadari bahwa perjuangan untuk mempertahankan identitas dan martabat bangsa membutuhkan ketangguhan kultural dan kecerdasan ideologis.

Transformasi Bela Negara: Dari Fisik ke Kultural

Jean Baudrillard, dalam bukunya Simulacra and Simulation (1994), menunjukkan bagaimana realitas yang kita hadapi hari ini sering kali bukanlah realitas yang sejati, melainkan simulasi yang diciptakan oleh media dan simbol-simbol budaya. Penjajahan modern tidak lagi datang dalam bentuk pasukan militer, melainkan melalui produk budaya, film, media sosial, dan gaya hidup yang secara perlahan mengikis nilai-nilai asli bangsa. Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai “hyperreality”, di mana masyarakat lebih terikat pada citra dan simulasi daripada realitas itu sendiri.

Dalam konteks bela negara, jihad modern berarti melawan infiltrasi budaya yang merusak dan mempertahankan identitas nasional melalui penguatan budaya lokal dan agama. Penjajahan budaya populer, yang terlihat sepele, sebenarnya memiliki daya hancur yang sangat besar terhadap tatanan sosial dan moral suatu bangsa. Oleh karena itu, semangat jihad dalam membela negara harus disalurkan ke arah perjuangan kultural—melalui pendidikan, seni, dan penciptaan narasi yang membangun. Santri, dengan latar belakang pendidikan keislaman yang kuat, memiliki modal besar untuk terlibat dalam jihad kultural ini, menjadi benteng pertahanan nilai-nilai moral dan spiritual. 

Namun, untuk dapat melawan simulasi budaya dan penetrasi asing, kita tidak bisa hanya mengandalkan semangat dan retorika. Kita butuh disiplin, kebiasaan, dan strategi yang terstruktur. James Clear, dalam bukunya Atomic Habits (2018), menekankan pentingnya perubahan kecil yang berkelanjutan dalam menciptakan transformasi besar. Dalam konteks jihad membangun bangsa, kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan dengan konsisten dapat menciptakan efek domino yang kuat dalam membentuk bangsa yang mandiri dan berdaya saing. 

Membangun Bangsa Melalui Kebiasaan Positif 

Jihad, seperti yang telah kita bahas, adalah perjuangan di jalan Allah yang mencakup segala aspek kehidupan, termasuk dalam konteks membela dan membangun bangsa. Dalam dunia modern, jihad tidak harus selalu berbentuk perjuangan besar yang dramatis. Sebaliknya, jihad dapat diwujudkan melalui upaya-upaya kecil yang dilakukan secara terus-menerus. Ini adalah esensi dari konsep “atomic habits” yang dijelaskan oleh James Clear. Menurut Clear, perubahan besar tidak selalu datang dari tindakan besar, tetapi dari serangkaian perubahan kecil yang konsisten. 

Jika santri di Pondok Pesantren dan lulusan pesantren ingin membangun bangsa yang maju dan berwibawa, semangat jihad harus diintegrasikan ke dalam kebiasaan-kebiasaan sehari-hari. Misalnya, santri yang berkomitmen untuk terus belajar, berprestasi di bidangnya, dan berkontribusi bagi masyarakat, tidak hanya menjalankan kewajibannya sebagai warga negara, tetapi juga melaksanakan jihad fi sabilillah. Prestasi akademis, profesionalisme dalam bekerja, dan kontribusi sosial semuanya adalah bentuk jihad modern yang memiliki dampak besar bagi kemajuan bangsa. 

Baudrillard memperingatkan kita tentang bahaya “hyperreality”, di mana masyarakat terjebak dalam ilusi citra dan simbol, sementara realitas yang sebenarnya diabaikan. Untuk melawan hal ini, santri harus membangun kebiasaan yang konkret dan nyata dalam hidupnya—membaca, menulis, belajar, dan bekerja keras. Dengan disiplin yang konsisten, mereka akan mampu melawan pengaruh destruktif dari budaya populer yang menyimpang. 

Peran Santri dalam Jihad Modern 

Dalam konteks jihad membela negara, santri memiliki peran yang sangat penting. Mereka adalah penerus perjuangan yang dulu dilakukan oleh para pahlawan kemerdekaan. Namun, bentuk perjuangan mereka berbeda. Jika dahulu pahlawan kita harus berjuang mengangkat senjata melawan penjajah, kini para santri harus melawan penjajahan dalam bentuk baru—penjajahan ideologis, budaya, dan ekonomi. 

Santri harus menyadari bahwa jihad modern adalah tentang bagaimana mereka membangun diri menjadi manusia unggul, yang tidak hanya kuat dalam iman, tetapi juga dalam ilmu pengetahuan dan keterampilan. Dalam bukunya, Atomic Habits (2018), James Clear mengajarkan bahwa kebiasaan-kebiasaan kecil yang positif, jika dilakukan secara terus-menerus, akan membentuk pribadi yang unggul. Santri yang rajin membaca, belajar, dan berkarya akan mampu memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan bangsa dan menjaga identitas serta kehormatan negaranya. 

Semangat jihad yang benar, jika tertanam kuat dalam diri santri, akan menjadi energi positif yang tak terbatas. Energi ini dapat mengantarkan mereka untuk terus berprestasi, menciptakan inovasi, dan menjadi manusia unggul yang mampu menghadapi tantangan zaman. Inilah jihad yang harus ditanamkan pada generasi santri saat ini—jihad yang tidak hanya terbatas pada aspek fisik, tetapi juga jihad intelektual dan spiritual. 

Dalam perspektif Islam, jihad tidak hanya berkaitan dengan perjuangan fisik, tetapi juga mencakup segala bentuk usaha untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam konteks bela negara, jihad modern memerlukan transformasi dari perlawanan fisik menjadi perjuangan kultural, ideologis, dan spiritual. Jean Baudrillard mengingatkan kita akan bahaya “hyperreality”, di mana penjajahan tidak lagi datang dalam bentuk militer, tetapi melalui budaya dan simbol-simbol yang menggantikan realitas sejati. 

Namun, seperti yang diajarkan James Clear dalam Atomic Habits (2018), transformasi besar selalu dimulai dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan dengan konsisten. Jihad modern bukanlah sesuatu yang harus dilakukan dengan dramatis, tetapi melalui usaha-usaha kecil yang dilakukan setiap hari. Santri, sebagai penerus bangsa, memiliki tanggung jawab besar dalam jihad ini. Dengan membangun kebiasaan positif, mereka dapat menjadi agen perubahan yang mampu menghadapi tantangan zaman dan membangun bangsa yang maju dan berwibawa.***

No comments:

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...