Monday, September 16, 2024

Eco-Sufisme

Oleh: Syamsul Kurniawan (Kaprodi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak)

Krisis ekologis kini telah menjadi ancaman nyata yang tak lagi dapat dipandang sebelah mata. Laporan terbaru yang dirilis oleh “Mongabay Indonesia” pada Hari Lingkungan Hidup 2024 menunjukkan bagaimana kondisi lingkungan di Indonesia semakin memburuk. Kerusakan hutan, polusi udara, pencemaran laut, dan degradasi lahan telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Krisis ini bukan hanya berdampak pada lingkungan secara fisik, tetapi juga membawa dampak sosial yang luas: hilangnya mata pencaharian, peningkatan kemiskinan, dan semakin memburuknya kualitas hidup masyarakat, khususnya di daerah pedesaan yang bergantung pada alam.

Namun, krisis ekologis yang kita hadapi bukan hanya soal lingkungan. Lebih dalam lagi, ini adalah refleksi dari krisis spiritual yang melanda manusia modern—sebuah keterasingan manusia dari alam dan dari Tuhannya. Dalam konteks ini, “Eco-Sufisme” hadir sebagai pendekatan holistik yang mengajak kita untuk meninjau ulang cara kita memperlakukan alam, melalui hikmah dan kearifan spiritual yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW.

Pada momen Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabiul Awal 1446 Hijriah, atau bertepatan dengan 16 September 2024 lalu, kita kembali diingatkan akan keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam segala aspek kehidupan. Salah satu sisi yang kerap dilupakan namun sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini adalah bagaimana Nabi Muhammad SAW memperlakukan alam dan lingkungan sekitarnya dengan penuh cinta dan kebijaksanaan. Relevan dengan: “Eco-Sufisme”. 

Nabi Muhammad SAW tidak hanya dikenal sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai sosok yang sangat memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam berbagai riwayat, kita dapat menemukan anjuran beliau untuk bersikap hemat dalam penggunaan air, bahkan saat berwudhu di sungai yang melimpah. Selain itu, Nabi juga menegaskan pentingnya menjaga pepohonan, dan bahkan menyarankan untuk menanam biji kurma, meski kiamat hendak tiba. Ini bukan sekadar ajakan simbolis, melainkan sebuah pesan mendalam tentang tanggung jawab manusia dalam menjaga alam. 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Jika kiamat hendak terjadi dan di tangan salah seorang dari kalian ada biji kurma, maka tanamlah biji itu jika ia mampu melakukannya sebelum kiamat tiba.” Pesan ini menunjukkan betapa pentingnya tindakan menjaga dan merawat alam, bahkan di saat-saat yang tampaknya tidak lagi relevan. Dalam Islam, menjaga alam adalah bentuk ibadah dan bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi.

 

Eco-Sufisme: Membangun Kesadaran Spiritual dan Ekologis 

Krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini tidak bisa hanya dijawab dengan solusi teknis atau kebijakan pemerintah. Pada level yang lebih mendalam, krisis ini membutuhkan pendekatan spiritual yang mampu menyentuh akar masalah—yaitu cara pandang manusia terhadap alam. Di sinilah pentingnya Eco-Sufisme, sebuah pendekatan yang memadukan dimensi spiritual dan ekologis. 

Dalam pandangan Sufisme, alam bukanlah entitas terpisah dari manusia, melainkan cerminan dari kebesaran Tuhan. Seyyed Hossein Nasr, dalam bukunya Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (2007), menekankan bahwa keterputusan spiritual manusia dari alam adalah akar dari krisis ekologis yang kita saksikan saat ini. Manusia modern yang terlalu terobsesi dengan eksploitasi materi telah kehilangan pandangan bahwa alam adalah refleksi dari Yang Maha Kuasa, dan karena itu harus diperlakukan dengan hormat. 

Menurut Nasr, penyembuhan krisis ekologis harus dimulai dengan penyembuhan spiritual manusia. Pandangan sufistik melihat alam sebagai ayat-ayat Tuhan yang nyata—tanda-tanda kebesaran-Nya yang harus dihargai. Dengan merusak alam, kita tidak hanya merusak ekosistem fisik, tetapi juga merusak hubungan kita dengan Sang Pencipta. Inilah esensi dari *Eco-Sufisme*: tanggung jawab kita sebagai manusia untuk menjaga alam sebagai bagian dari ibadah dan kesadaran spiritual kita. 

Hikmah dalam Tindakan: Solusi Holistik Eco-Sufisme 

“Hikmah” atau kebijaksanaan adalah konsep kunci dalam Sufisme yang sangat relevan dengan solusi terhadap krisis ekologis. Hikmah mengajarkan bahwa pengetahuan yang mendalam harus diterjemahkan ke dalam tindakan yang bijaksana. Dalam konteks eco-sufisme, hikmah menuntun kita untuk melihat alam bukan hanya sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi, tetapi sebagai amanah yang harus dijaga. 

Degradasi lingkungan yang kita hadapi saat ini, seperti yang dilaporkan oleh Mongabay, adalah cerminan dari hilangnya hikmah dalam cara manusia memperlakukan alam. Kita telah kehilangan kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan alam, memandangnya semata-mata sebagai objek yang dapat dieksploitasi tanpa batas. Alam adalah manifestasi dari Rahmat Ilahi, dan merusaknya berarti merusak hubungan kita dengan-Nya. 

Eco-Sufisme mengajarkan bahwa kita harus membersihkan diri dari sikap-sikap yang merusak alam (takhalli), kemudian mengisi diri dengan sifat-sifat baik yang mendukung kelestarian alam (tahalli), dan pada akhirnya mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi di mana kita melihat diri kita sebagai bagian integral dari alam (tajalli). Ini adalah proses yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan spiritualitas, memungkinkan kita untuk menjadi penjaga alam yang lebih bertanggung jawab dan bijaksana. 

Nabi Muhammad SAW, dalam banyak riwayat, menunjukkan bagaimana spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab ekologis. Salah satu contohnya adalah perintah beliau untuk tidak menebang pohon tanpa alasan yang benar, serta ajakan untuk memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana. Dalam konteks modern, ajaran ini sangat relevan dengan tantangan yang kita hadapi dalam menjaga kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati. 

Lebih dari itu, ajaran Nabi SAW juga mengajarkan kita bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah. Dalam Islam, manusia dipandang sebagai khalifah di bumi—wakil Tuhan yang bertugas untuk menjaga dan melestarikan alam. Tanggung jawab ini tidak bisa diabaikan, terutama di saat-saat seperti sekarang ketika kerusakan lingkungan mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. 

Harmoni antara Tuhan, Alam, dan Manusia: Solusi Eco-Sufisme 

Dalam pandangan sufistik, ada harmoni yang mendasar antara Tuhan, alam, dan manusia. Sachiko Murata, dalam bukunya The Tao of Islam (1992), menekankan pentingnya harmoni ini sebagai kunci kehidupan yang seimbang. Menurut Murata, krisis ekologis yang kita hadapi adalah akibat dari hilangnya harmoni tersebut—manusia modern telah melanggar hukum-hukum alam dan menyebabkan kerusakan yang tidak terelakkan. 

Eco-Sufisme mengajarkan kita untuk kembali kepada harmoni ini, dengan menjadikan hikmah sebagai panduan dalam setiap tindakan kita terhadap alam. Alam adalah cerminan dari Tuhan, dan menjaga kelestariannya adalah bagian dari tanggung jawab spiritual kita. Dengan menggabungkan hikmah dan kesadaran ekologis, kita bisa mulai memperbaiki hubungan kita dengan alam dan Tuhan. 

Dalam pendekatan ini, tindakan menjaga alam tidak hanya dilihat sebagai kewajiban moral, tetapi juga sebagai bentuk ibadah. Ketika kita merawat alam, kita tidak hanya melindungi lingkungan fisik, tetapi juga memperkuat hubungan spiritual kita dengan Sang Pencipta.

Krisis ekologis yang kita hadapi saat ini adalah panggilan untuk kembali kepada hikmah dan kearifan spiritual. Eco-Sufisme menawarkan jalan yang memungkinkan kita untuk melihat alam sebagai manifestasi dari Rahmat Ilahi, dan untuk bertindak dengan kesadaran penuh terhadap tanggung jawab kita sebagai khalifah di muka bumi. 

Dengan mengintegrasikan hikmah dalam tindakan kita, kita tidak hanya menjaga alam, tetapi juga memperkuat hubungan spiritual kita dengan Tuhan. Melalui berbagai langkah kecil seperti menanam pohon, menjaga kebersihan lingkungan, dan mengurangi konsumsi yang berlebihan, kita dapat membangun kembali harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. 

Kecuali itu, Maulid Nabi Muhammad SAW ini adalah momen yang tepat untuk merenungkan kembali ajaran-ajaran beliau tentang pentingnya menjaga alam dan melestarikan lingkungan. Melalui Eco-Sufisme, kita diajak untuk tidak hanya melihat krisis ekologis sebagai masalah fisik, tetapi juga sebagai tantangan spiritual yang memerlukan solusi yang lebih mendalam dan bijaksana. Dengan menjadikan hikmah sebagai panduan, kita bisa melangkah menuju masa depan yang lebih berkelanjutan, selaras dengan alam dan Sang Pencipta. ***

No comments:

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...