Wednesday, August 14, 2024

Dari Panggung ke Layar: Bergesernya Peran Guru Agama

Oleh: Syamsul Kurniawan

Di tengah arus deras digitalisasi dan informasi yang tiada henti, perubahan besar yang mendalam merayap ke berbagai aspek kehidupan kita, termasuk ke dalam ranah pendidikan agama Islam. Kehadiran teknologi, terutama internet, telah mengubah lanskap pendidikan secara drastis, menggantikan metode tradisional dengan metode digital yang menawarkan akses tanpa batas namun mengundang pertanyaan mendalam tentang kedalaman dan kualitas pengalaman belajar.

Ketika kita membayangkan suasana pendidikan agama Islam tradisional, gambaran tersebut seringkali melibatkan sebuah desa kecil di mana masjid menjadi pusat kehidupan spiritual dan edukatif. Di sini, guru agama atau ustadz tidak hanya mengajarkan teks-teks suci tetapi juga membimbing para santri melalui interaksi langsung yang mendalam. Namun, saat ini, gambarannya telah berubah secara radikal. Dengan 185 juta pengguna internet di Indonesia pada awal 2024, informasi tentang agama kini dapat diakses dengan mudah dari layar perangkat digital di mana saja dan kapan saja. Teknologi, dengan segala kehebatannya, telah memindahkan pendidikan agama dari panggung fisik ke layar digital.

Bertaruh di Antara Simulasi dan Kenyataan

Dalam "Simulacra and Simulation" (1981), Jean Baudrillard memperkenalkan konsep simulasi sebagai representasi yang menggantikan pengalaman asli. Di era digital, teknologi menciptakan simulasi dari pengalaman agama yang dulu dilakukan secara langsung. Video ceramah, aplikasi pendidikan agama, dan materi digital menyajikan informasi agama yang seolah-olah sama dengan pengalaman langsung, tetapi seringkali kehilangan konteks emosional dan spiritual.

Misalnya, video ceramah di YouTube memungkinkan siapa saja untuk mengakses materi agama dari berbagai ulama, tetapi apakah pengalaman menonton video tersebut setara dengan menghadiri ceramah secara langsung di hadapan seorang ustadz? Pengalaman langsung dengan guru agama tidak hanya menyediakan pengetahuan tetapi juga membentuk hubungan emosional dan spiritual yang mendalam, yang sering kali tidak dapat digantikan oleh layar digital.

Dalam hal ini, kemudahan akses informasi yang disediakan oleh teknologi menghadirkan tantangan baru terkait kualitas dan otentisitas informasi. Di dunia digital, siapa saja bisa mengklaim sebagai guru dengan memposting video ceramah atau menulis artikel keagamaan. Namun, tidak semua konten yang diproduksi memiliki kualitas yang sama atau dapat dipercaya. Dalam laporan terbaru, ditemukan bahwa banyak konten agama di internet tidak selalu akurat atau sesuai dengan ajaran agama yang benar.

Hal ini menimbulkan kebutuhan mendesak untuk kritis dalam mengevaluasi sumber informasi. Pendekatan yang digunakan untuk memastikan validitas informasi sangat penting dalam menjaga kualitas pendidikan agama. Para pendidik agama harus memainkan peran kritis dalam menilai dan menyaring informasi yang tersedia, serta memastikan bahwa ajaran yang disampaikan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar agama.

Kecuali itu, terjadi pula apa yang ingin saya sebut dengan kehilangan dimensi interaksi personal dalam pendidikan agama. Di era digital ini, interaksi personal antara guru dan santri menjadi semakin langka. Padahal, pendidikan agama bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga tentang pembentukan karakter dan penghayatan spiritual. Hubungan interpersonal dalam pendidikan agama sering kali memberikan dampak yang lebih mendalam dibandingkan dengan pengalaman belajar yang dilakukan melalui media digital.

Contohnya, dalam pendidikan tradisional, guru agama tidak hanya menyampaikan materi tetapi juga membimbing santri dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Interaksi ini memberikan kesempatan bagi santri untuk bertanya, berdiskusi, dan mendapatkan klarifikasi secara langsung. Proses ini sering kali melibatkan pendekatan yang lebih personal dan mendalam, sesuatu yang sulit dicapai melalui interaksi digital.

Oleh sebab itu, dalam menghadapi perubahan ini, penting untuk mencari keseimbangan antara teknologi dan metode tradisional dalam pendidikan agama. Rhenald Kasali dalam bukunya "Disruption" (2017) menggarisbawahi bahwa disrupsi membawa perubahan besar tetapi juga membuka peluang untuk inovasi. Para pendidik agama harus mampu beradaptasi dengan teknologi tanpa mengorbankan nilai-nilai inti dari pendidikan agama.

Teknologi dapat menjadi alat bantu yang sangat berharga jika digunakan dengan bijaksana. Misalnya, platform digital dapat digunakan untuk menyebarkan materi pendidikan agama ke daerah-daerah yang sulit dijangkau atau untuk memperluas akses ke sumber-sumber keagamaan yang beragam. Namun, penting untuk memastikan bahwa teknologi tidak menggantikan interaksi langsung yang merupakan bagian penting dari proses pembelajaran agama.

Seberapa Mampu Bertahan dari Disrupsi?

Di Indonesia, disrupsi teknologi terhadap pendidikan agama bisa saja membawa perubahan signifikan dalam cara pandang dan cara hidup masyarakat dalam memandang pendidikan agama. Yasraf Amir Piliang dalam "Dunia yang Dilipat" (2004) mengamati bahwa disrupsi mengakibatkan kompresi ruang dan waktu, di mana teknologi membuat dunia terasa lebih kecil dan interaksi menjadi lebih cepat. Dalam konteks pendidikan agama, ini berarti bahwa pengetahuan agama dapat tersebar lebih luas dan cepat, tetapi ada risiko bahwa kedalaman pemahaman dan penghayatan spiritual akan berkurang.

Perubahan sosial dan budaya yang dibawa oleh teknologi juga mempengaruhi cara masyarakat memandang pendidikan agama. Di era digital, banyak orang mulai mengandalkan sumber informasi online, yang mungkin tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama lokal. Ini menggarisbawahi pentingnya mempertahankan nilai-nilai budaya dan tradisi dalam menghadapi perubahan teknologi.

Harapan dan Peluang di Tengah Disrupsi

Meskipun disrupsi teknologi membawa tantangan besar, ada juga harapan dan peluang untuk menciptakan model pendidikan agama yang lebih baik dan lebih relevan. Teknologi dapat digunakan untuk memperkaya pengalaman pendidikan agama tanpa menggantikan esensi dari bimbingan langsung. Dengan pendekatan yang bijaksana, kita dapat mengintegrasikan teknologi dengan metode tradisional untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih holistik dan inklusif.

Generasi yang cerdas secara intelektual dan matang secara spiritual adalah tujuan akhir dari pendidikan agama. Teknologi harus dianggap sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti. Dengan menciptakan keseimbangan antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai inti, kita dapat memastikan bahwa pendidikan agama tetap relevan dan bermakna di tengah perubahan zaman.

Disrupsi teknologi dalam pendidikan agama Islam adalah tantangan yang signifikan tetapi juga merupakan peluang untuk inovasi dan perbaikan. Dengan memahami konsep disrupsi dan bagaimana ia mempengaruhi metode pengajaran, materi pendidikan, dan interaksi guru-siswa, kita dapat lebih siap untuk menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang yang dihadirkan oleh era digital.

Kita harus terus beradaptasi dan berinovasi, sambil tetap teguh pada prinsip-prinsip dasar yang kita yakini. Dengan menciptakan model pembelajaran yang menggabungkan kekuatan teknologi dengan nilai-nilai inti dari pendidikan agama, kita dapat memastikan bahwa pendidikan agama tetap relevan dan bermakna di masa depan. Ini adalah upaya untuk menemukan keseimbangan antara kemajuan dan tradisi, antara teknologi dan esensi, dalam menciptakan masa depan yang lebih baik bagi pendidikan agama Islam.***

 

No comments:

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...