Friday, August 16, 2024

Larangan Jilbab: Dari Protes Netizen ke Pergeseran Kebijakan

Oleh: Syamsul Kurniawan

BARU-BARU ini, publik dihebohkan dengan kebijakan yang sempat melarang anggota Paskibraka perempuan untuk mengenakan jilbab. Kebijakan ini, yang kemudian diperbolehkan kembali setelah berbagai penolakan dan perdebatan, membuka ruang diskusi mendalam mengenai implikasinya, baik dalam ranah simbolik, sosial, maupun moral. Apakah keputusan awal tersebut sekadar pengaturan administratif yang berdampak praktis, ataukah ia mencerminkan dimensi kekerasan simbolik yang lebih kompleks, seperti yang diungkapkan oleh para teoretikus? Dalam upaya menjawab pertanyaan ini, kita perlu menggali lebih dalam bagaimana kebijakan ini bekerja dalam konteks kekuasaan simbolik, ruang publik, dan moralitas sosial.

Pierre Bourdieu, dalam karyanya “Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste” (1984), memperkenalkan konsep kekerasan simbolik, yang ia definisikan sebagai bentuk kekuasaan yang diterapkan melalui norma-norma sosial yang tampak natural dan diterima tanpa paksaan fisik. Kekerasan simbolik, menurut Bourdieu, berfungsi dengan cara memaksakan standar-standar tertentu sebagai universal, dan meminggirkan norma-norma yang berbeda. Ketika kebijakan larangan jilbab pada Paskibraka pertama kali diperkenalkan, meskipun sempat dicabut, hal ini tidak hanya mengatur soal penampilan, tetapi juga menegaskan bentuk kekerasan simbolik yang signifikan.

Dalam konteks kebijakan tersebut, kekerasan simbolik berfungsi dengan memaksakan norma-norma dominan atas anggota Paskibraka perempuan yang mengenakan jilbab. Larangan itu, meskipun sudah tidak diberlakukan lagi, sempat menunjukkan bagaimana kekuasaan simbolik bekerja: menegakkan norma-norma dominan dan mengabaikan variasi identitas yang ada. Dengan memaksa mereka untuk melepaskan jilbab, kebijakan ini secara implisit menghapus ekspresi identitas yang dianggap berbeda, identitas yang sebelumnya diakui dan dihargai oleh komunitas mereka. Hal ini menunjukkan bagaimana kekuasaan simbolik berusaha menyamakan identitas publik dengan standar yang ditetapkan oleh kelompok dominan, mengabaikan pandangan dan identitas kelompok lain.

Saya sendiri memandang kebijakan yang sempat diberlakukan ini sebagai bentuk kekerasan simbolik yang lebih dari sekadar pengaturan administratif. Ini adalah sebuah cerminan dari bagaimana kekuasaan simbolik bekerja dalam ruang publik, memaksakan standar yang dianggap sah oleh kelompok dominan, dan mengabaikan keberagaman identitas yang seharusnya dihargai dalam masyarakat pluralis seperti Indonesia.

Akar Masalah dalam Ruang Publik

 

Jurgen Habermas, dalam bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere (1962), menggambarkan ruang publik sebagai arena di mana individu dapat berpartisipasi dalam diskursus rasional dan membentuk konsensus. Ruang publik yang ideal memungkinkan berbagai pandangan untuk diungkapkan dan didiskusikan secara terbuka. Dalam konteks kebijakan jilbab pada Paskibraka, keputusan awal yang sempat melarang jilbab mencerminkan kekurangan dalam proses pengambilan keputusan yang inklusif dan demokratis. Dengan kata lain, kebijakan ini menunjukkan bagaimana ruang publik gagal berfungsi sebagaimana mestinya—sebuah ruang yang seharusnya menjadi tempat bagi diskursus rasional yang melibatkan semua pihak.

Habermas mengingatkan kita bahwa ruang publik yang sehat membutuhkan keterlibatan semua pihak untuk menciptakan konsensus yang mencerminkan keberagaman pandangan dalam masyarakat. Ketika kebijakan semacam ini diterapkan tanpa melibatkan diskursus publik yang memadai, ada risiko dominasi pandangan kelompok tertentu yang tidak mencerminkan pluralitas masyarakat. Pada kasus ini, kebijakan yang melarang jilbab pada anggota Paskibraka perempuan, meskipun sempat diubah, awalnya tampak sebagai hasil dari tekanan kelompok tertentu yang mendominasi ruang publik.

Keputusan yang sempat diambil tanpa diskusi terbuka menegaskan bagaimana norma dominan dapat mengendalikan ruang publik dengan cara yang tampaknya tidak memihak tetapi sebenarnya menyingkirkan variasi identitas. Ini adalah contoh nyata bagaimana keputusan yang diambil tanpa melibatkan berbagai suara dan perspektif cenderung mencerminkan dominasi pandangan kelompok tertentu, bukan konsensus masyarakat yang lebih luas. Dalam konteks ini, kebijakan tersebut tidak hanya mengabaikan keragaman identitas yang ada, tetapi juga merusak prinsip-prinsip dasar dari ruang publik yang inklusif dan demokratis.

Jonathan Haidt, dalam bukunya “The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion” (2012), menjelaskan bahwa keputusan moral sering kali dipengaruhi oleh norma sosial dan intuisi kelompok. Haidt berargumen bahwa keputusan moral tidak hanya didasarkan pada rasionalitas, tetapi juga dipengaruhi oleh norma-norma yang berkembang dalam kelompok dominan. Dalam kasus kebijakan jilbab pada Paskibraka, keputusan awal yang sempat melarang jilbab tampaknya dipengaruhi oleh norma kelompok dominan yang mengabaikan keberagaman dalam masyarakat.

Haidt menunjukkan bahwa norma kelompok sering kali menentukan apa yang dianggap benar atau salah dalam konteks tertentu. Dalam kasus ini, kebijakan yang melarang jilbab pada awalnya tampak mencerminkan pandangan kelompok dominan yang menolak simbol-simbol tertentu dalam ruang publik. Pandangan ini, meskipun akhirnya diubah, sempat menunjukkan bagaimana tekanan kelompok dominan dapat membentuk kebijakan publik, yang pada gilirannya, mengabaikan keberagaman identitas dan keyakinan di dalam masyarakat.

Dengan menghubungkan konsep kekerasan simbolik dengan pandangan moral Haidt, kita dapat melihat bagaimana norma kelompok dan kekuasaan simbolik saling terkait dalam mempengaruhi kebijakan publik. Kekerasan simbolik bekerja dengan menegakkan norma-norma tertentu dan mengabaikan keberagaman, sementara norma kelompok mempengaruhi bagaimana keputusan moral diambil. Dalam kasus kebijakan jilbab, meskipun sempat dilarang, kemudian diperbolehkan kembali, kita melihat bagaimana kedua elemen ini bekerja bersama untuk mempengaruhi ruang publik dan identitas individu.

Kekuatan Netizen dalam Mengubah Kebijakan

Namun, dalam era digital yang semakin mengglobal ini, satu elemen baru telah muncul dalam ruang publik dan menjadi kekuatan yang tidak bisa diabaikan: netizen. Jean Baudrillard, dalam berbagai karyanya, seperti Simulacra and Simulation (1981), berbicara tentang bagaimana realitas mulai digantikan oleh simulasi, di mana citra dan representasi menjadi lebih penting daripada objek atau kejadian itu sendiri. Dalam konteks kebijakan jilbab ini, kekuatan netizen—yang memanfaatkan media sosial sebagai platform utama mereka—berperan besar dalam membentuk realitas kebijakan publik. Mereka tidak hanya berpartisipasi dalam diskursus, tetapi juga menciptakan tekanan sosial yang nyata melalui simulasi opini dan reaksi massal.

Baudrillard menunjukkan bahwa dalam dunia yang semakin didominasi oleh simulasi, batas antara yang nyata dan yang tidak nyata menjadi kabur. Dalam kasus kebijakan jilbab Paskibraka, reaksi netizen di media sosial menciptakan sebuah "hiperrealitas"—dimana opini publik yang terbentuk di ruang maya ini menjadi sangat kuat, bahkan mampu mengubah kebijakan yang semula telah ditetapkan oleh pemerintah. Kekuatan netizen, yang secara kolektif menolak kebijakan tersebut, menciptakan gelombang simulasi yang begitu kuat sehingga memaksa para pembuat kebijakan untuk merespons dan akhirnya mencabut larangan tersebut.

Ini menggambarkan bagaimana netizen telah menjadi aktor penting dalam ruang publik kontemporer, mengubah dinamika kekuasaan yang sebelumnya dikuasai oleh elit atau kelompok dominan. Ketika suara-suara di media sosial menjadi begitu lantang dan tersebar secara viral, kebijakan publik harus menghadapi realitas baru, di mana opini dan tekanan dari netizen tidak bisa diabaikan.

Konsekuensi Simbolik dari Kebijakan

Kebijakan yang sempat melarang jilbab pada Paskibraka perempuan memiliki dampak signifikan, tidak hanya pada penampilan fisik mereka tetapi juga pada aspek identitas mereka. Jilbab bukan hanya simbol agama, tetapi juga simbol identitas sosial yang diakui dan dihargai. Dengan sempat dilarangnya jilbab, meskipun hanya untuk sementara, Paskibraka perempuan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan norma yang tidak mereka pilih, menciptakan rasa terasing dan mengurangi rasa memiliki dalam lingkungan yang seharusnya inklusif.

Namun, di tengah-tengah masyarakat, khususnya di ruang maya, kebijakan ini memicu perdebatan sengit mengenai hak individu dan kebebasan beragama. Ketika kebijakan tersebut sempat diberlakukan, banyak pihak, terutama netizen, yang merasa bahwa keputusan ini tidak mempertimbangkan keragaman budaya yang ada di Indonesia. Ketidakpuasan terhadap kebijakan ini kemudian memicu dialog dan debat mengenai bagaimana kebijakan publik seharusnya mencerminkan nilai-nilai pluralisme dan keberagaman yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia.

Jean Baudrillard menunjukkan bahwa dalam dunia yang semakin didominasi oleh simulasi, reaksi dan interaksi di ruang maya dapat menciptakan realitas baru yang memengaruhi dunia nyata. Dalam konteks kebijakan jilbab pada Paskibraka, netizen tidak hanya mengkritik kebijakan tersebut, tetapi secara efektif menciptakan tekanan sosial yang sedemikian kuat sehingga memaksa pemerintah untuk mempertimbangkan kembali keputusan mereka. Simulasi realitas yang diciptakan oleh netizen melalui media sosial ini membentuk sebuah hiperrealitas di mana opini publik di dunia maya memiliki kekuatan yang sama, atau bahkan lebih besar, dibandingkan dengan keputusan formal yang diambil oleh otoritas pemerintahan.

Kekuatan netizen dalam mengubah kebijakan ini menggambarkan bagaimana ruang publik telah berevolusi dengan sangat signifikan. Di masa lalu, ruang publik mungkin didominasi oleh elit politik atau kelompok dominan yang memiliki akses ke media massa tradisional. Namun, dengan kemunculan media sosial, distribusi kekuasaan dalam ruang publik menjadi lebih demokratis, memungkinkan individu-individu biasa untuk mengorganisir dan menyuarakan pendapat mereka dengan cara yang bisa memengaruhi kebijakan publik secara langsung. Ini adalah perubahan besar dalam dinamika kekuasaan, di mana pemerintah tidak bisa lagi mengabaikan suara-suara yang muncul dari dunia maya.

Konsekuensi Simbolik dan Pelajaran dari Kebijakan

Kebijakan yang sempat melarang jilbab pada Paskibraka perempuan, meskipun akhirnya dicabut, meninggalkan dampak simbolik yang penting. Kebijakan ini mengajarkan kita tentang betapa pentingnya menghargai keberagaman identitas dan menghormati hak-hak individu dalam konteks kebijakan publik. Ketika pemerintah mencoba untuk menegakkan norma-norma tertentu yang berasal dari kelompok dominan tanpa mempertimbangkan keberagaman yang ada, maka kebijakan tersebut akan mendapatkan perlawanan, terutama dari masyarakat yang merasa identitas dan hak-hak mereka terancam.

Namun, yang lebih penting, kasus ini menunjukkan bagaimana keterlibatan netizen dalam ruang publik mampu membawa perubahan nyata. Netizen, melalui media sosial, menciptakan sebuah gerakan yang menegaskan pentingnya pluralisme dan kebebasan berekspresi dalam masyarakat. Ketika tekanan dari publik semakin kuat, pemerintah akhirnya tidak memiliki pilihan lain selain mendengarkan suara-suara tersebut dan menyesuaikan kebijakan mereka sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Dalam konteks yang lebih luas, ini juga menunjukkan bahwa masa depan kebijakan publik di Indonesia harus lebih inklusif dan responsif terhadap suara-suara dari seluruh lapisan masyarakat. Kekuatan netizen dalam merubah kebijakan ini bukan hanya fenomena sementara, tetapi merupakan bagian integral dari demokrasi yang lebih partisipatif dan dinamis. Hanya dengan melibatkan semua pihak dalam proses pengambilan keputusan, kita bisa memastikan bahwa kebijakan publik tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil dan inklusif secara sosial.

Kebijakan publik dalam era digital tidak lagi hanya dibentuk oleh diskusi formal di ruang-ruang tertutup antara elit penguasa. Kekuatan netizen, yang mewakili suara kolektif masyarakat, telah menjadi elemen yang tidak bisa diabaikan dalam proses pengambilan keputusan. Seperti yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1981), simulasi realitas yang diciptakan oleh media sosial telah mengubah bagaimana kebijakan dirumuskan dan ditegakkan.

Dalam kasus kebijakan jilbab pada Paskibraka, kita melihat bagaimana kekuasaan simbolik, yang semula berada di tangan kelompok dominan, dapat ditantang dan diubah oleh kekuatan netizen. Ini adalah pelajaran penting bagi pembuat kebijakan: di era digital ini, kebijakan yang tidak mempertimbangkan keberagaman dan pluralisme akan dengan cepat mendapat tantangan dari publik, terutama dari netizen yang bersuara lantang di media sosial.

Masa depan kebijakan publik di Indonesia harus lebih inklusif dan responsif terhadap suara-suara dari seluruh lapisan masyarakat. Keterlibatan netizen dalam proses pengambilan keputusan bukan hanya sebuah fenomena sementara, tetapi telah menjadi bagian integral dari demokrasi yang lebih partisipatif dan dinamis. Hanya dengan demikian, kebijakan publik dapat mencerminkan nilai-nilai pluralisme dan keberagaman yang menjadi fondasi masyarakat Indonesia yang majemuk.***

No comments:

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...