Friday, May 24, 2024

Guru Ideal: Kutu Buku dan Penulis

Oleh: Syamsul Kurniawan (Kaprodi PAI, IAIN Pontianak)

Seorang guru adalah seorang agen perubahan sosial. Disebut begitu karena melalui kerja-kerja profesionalnya, yaitu mendidik dan mengajar, ia “membentuk” siswa-siswa sehingga “menjadi” pribadi-pribadi sukses yang kelak membangun negeri ini. Tentu, yang saya maksud bukanlah sembarang guru. Bukan, guru yang diibaratkan pepatah, “tong kosong nyaring bunyinya”, dalam pengertian “banyak omong” tapi tidak berisi dan tak menunjukkan teladan. Betul, kata-kata guru bisa menjadi “motivitamin” (baca: vitamin motivasi) bagi siswa-siswanya. Tapi apalah artinya, jika itu hanya omong kosong.


Seperti misalnya, dalam hal membaca dan menulis. Sejauh pengalaman saya, hampir semua guru yang saya temui mengakui pentingnya membaca dan menulis. Tidak sedikit pula di antara mereka, memotivasi siswa-siswanya agar giat membaca dan menulis. Tetapi, kebanyakan dari mereka ini hanya mampu memotivasi orang lain, tetapi tidak mampu memotivasi diri sendiri. Sedikit di antara mereka, yang hobi membaca. Demikian pula, tidak banyak di antara mereka-mereka ini, yang mampu menuangkan gagasan dan pemikirannya tentang sebuah hal ke dalam satu atau dua tulisan.

Jelas, ini sangat mengecewakan. Karena saya selalu didoktrin sejak saya sekolah sampai menamatkan kuliah, bahwa seorang guru adalah sosok yang “digugu” dan “ditiru”, terutama oleh siswa-siswanya. Sampai hari ini saya masih memegang keyakinan itu, bahwa dari sekian banyak guru-guru yang ada, masih ada guru-guru yang hobi baca dan punya kemampuan menulis yang memadai. Meski, jumlahnya tidak banyak.

Kecenderungan ini bisa kita tengok dari minimnya jumlah guru yang penuh sesak meramaikan perpustakaan-perpustakaan untuk memperkaya bacaannya. Atau, berkunjunglah ke rumah guru-guru dan berapa banyak di antara mereka punya perpustakaan pribadi di rumah dengan banyak koleksi buku. Atau, perhatikan juga berapa banyak seorang guru mampu membuat diktat untuk mengajar, mempublikasikan tulisannya di koran dalam bentuk opini, atau bahkan menerbitkan buku. Ini juga bisa kita lihat kecenderungannya pada guru-guru kita di Kalimantan Barat.

Tentu ada korelasi antara kemampuan menulis seorang guru dan gairahnya membaca, karena akan sulit seorang guru menuangkan gagasan-gagasannya sementara di otaknya tidak punya cukup wawasan. Wawasan ini tentu saja di antaranya bisa diperoleh dari kesediannya meluangkan waktu untuk membaca buku. Mengutip Hernowo, “Penulis yang baik, karena ia menjadi pembaca yang baik”.

“Buku ibarat jendela dunia”, demikian pepatah mengatakan. Memang benar, perpindahan pengetahuan dari seorang ahli kepada orang awam adalah melalui buku. Seorang guru yang banyak membaca berarti ilmu pengetahuan yang dimiliki juga akan semakin luas. Seorang guru yang malas membaca pengetahuan yang dimiliki juga akan sempit. Sebaliknya yang gemar membaca membuat mereka memiliki cakrawala berpikir yang luas. Tanpa buku, seseorang tidak akan dapat mengerti lebih jauh tentang ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah karya tulis, buku mampu menjaga pemikiran ataupun pesan-pesan tertentu hingga akhir hayat.

Semakin seorang guru banyak membaca buku, semakin membuatnya ingin membaca buku lain. Semakin seorang guru mendapatkan ilmu baru, mereka semakin merasa kekurangan ilmu, atau merasa ilmunya masih sedikit dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain yang belum diketahuinya. Yang muncul kemudian adalah perasaan tidak puas terhadap ilmu yang telah dimilikinya. Rasa tidak puas ini bagus karena dengan kata lain, posisinya sebagai guru tidak menghentikan keinginannya untuk terus belajar.

Hanya saja tidak banyak kita jumpai  seorang guru yang mau menyisihkan sebagian penghasilannya untuk menghilangkan dahaga akalnya dengan membeli buku dan mengkoleksinya. Atau paling tidak meminjam buku-buku perpustakaan untuk dibaca di tempat atau dibawa pulang untuk dibaca di rumah. Padahal seorang guru mesti sadar pentingnya mereka “meng-upgrade” pengetahuannya demi kualitas pengajarannya atau buku ajar yang harusnya mereka buat.

Guru yang berhobi membaca dan kutu buku seperti itu memang tidak banyak kalau boleh dikatakan “langka”. Jikapun ada, guru yang demikian pantas menjadi motor masyarakat baca-tulis, minimal di hadapan murid-muridnya. Jika guru tidak hobi membaca dan tidak mampu menulis, bagaimana mungkin siswa-siswa termotivasi membaca apalagi menulis? Tidakkah siswa-siswa menjadi kehilangan sosok yang mesti digugu dan ditiru. Guru yang ideal dalam pemikiran saya, adalah seorang kutu buku dan seorang penulis.

Jika mengajar adalah tugas mulia, maka menulis pun tentu juga mulia, dan karenanya membaca atau menulis perlu ditradisikan oleh para guru. Menulis sama saja dengan menyebarkan ilmu. Maka tulisan, baik artikel maupun buku, adalah warisan guru yang paling berharga.

Jadi, kebiasaan membaca dan menulis di kalangan guru perlu dikembangkan sejak dini. Jangan sampai guru-guru semangatnya tidak jauh lebih baik dari siswa-siswanya dalam hal baca tulis. Pada hari ini saja, tidak sedikit siswa usia SMP dan SMA telah produktif berkarya, contohnya novel. Bukan hanya satu, tetapi nyaris sama dengan jumlah jari tangannya. Beberapa di antaranya bahkan menjadi best seller. Tentu kabar ini menggembirakan.

Tapi bagi guru, seharusnya ini menjadi semacam cambuk untuk berubah. “Jika siswa saya bisa produktif, kenapa saya tidak?” begitulah kira-kira. Guru bisa menulis sesuai bidang ilmu yang ditekuni, guru sejarah menulis sesuai pengetahuannya di bidang sejarah, guru agama menulis pemikiran-pemikirannya tentang keagamaan, guru bahasa Indonesia menulis tentang sastra dan lain-lain.

Bayangkan, jika guru dan siswa sama-sama hobi membaca dan produktif menulis, tidakkah betapa indahnya pembelajaran di sekolah kita?. Mungkinkah?. Ini sangat-sangat mungkin!. Terpenting ada kemauan dan komitmen dari para guru untuk mulai mentradisikan baca-tulis di kalangan mereka, dan bukan sekedar mampu memotivasi saja. Untuk tujuan ini, seorang guru, mengutip Stephen King, “yang dibutuhkan hanyalah kemauan keras untuk menulis dan kemudian mempraktekkannya. Orang yang hanya mempunyai kemauan untuk menulis namun tidak pernah melakukannya maka ia sama saja dengan bermimpi untuk memiliki mobil, tanpa ada usaha dan kerja keras untuk memilikinya”.***

No comments:

Masa Depan Dialog Antar-Agama di Indonesia

Oleh: Syamsul Kurniawan (Instruktur dan Fasilitator Nasional Moderasi Beragama) " Tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian an...