Radikalisme adalah paham yang
berbahaya, sebab paham ini bisa mendorong mereka yang berpaham ini ke aksi-aksi
terorisme. Ironinya, tidak sedikit dari umat beragama yang terjebak pada paham
ini. Sehingga wajar, keberadaan paham ini telah menjadi isu strategis global
dalam dua dasawarsa terakhir. (Zuhdi, 2017)
Apalagi, paham ini kerap
menunggangi “agama”. Jadilah agama, seolah-olah dekat dengan radikalisme,
meskipun sejatinya tidaklah demikian. Hal ini karena ayat-ayat suci dari
teks-teks keagamaan ditafsirkan dengan kebutuhan radikalisme. (Naharong, 2013)
Jelas ini mengkhawatirkan.
Bagaimana tidak?! Banyak kasus menunjukkan, bagaimana radikalisme yang diikuti
oleh dorongan pemahaman keagamaan yang sempit, bisa menyebabkan pemeluknya
tidak berpikir panjang untuk melakukan aksi-aksi kekerasan dan melukai
sesamanya. Lebih ekstrem lagi jika ini mengarah pada aksi terorisme, dan bahkan
bom bunuh diri, yang tidak hanya merenggut nyawanya tetapi pula mengakibatkan
jatuhnya banyak korban jiwa. (Misrawi, 2013)
Radikalisme sebagai paham yang
radikal, sejatinya muncul oleh karena ketidakpuasan seseorang atau sekelompok
orang terhadap kondisi sosial politik, dan menghendaki perubahan dan
pembaharuan terhadap hal itu, meski itu ditempuh dengan cara ekstrem dan kekerasan.
Sehingga pada poin di sini, radikalisme bisa berbentuk radikalisme dalam
pemikiran, dan radikalisme dalam tindakan. Sebab, tindakan-tindakan radikal
selayaknya dipicu oleh pemikiran-pemikirannya yang radikal. (Faiqah & Pransiska, 2018) Trennya dengan
mempertentangkan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh
kelompok (aliran) agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau
dipandang mapan pada saat itu. (Kementerian Agama RI, 2014)
Ancaman radikalisme ini terus menjamur,
dan mulai menyasar pada pelajar. Banyak hasil survei yang menyebutkan,
bagaimana pelajar ini mudah terpapar paham radikalisme. Survei yang dilakukan
oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian misalnya, terhadap 1.000 pelajar
secara random di Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang dan Bekasi, menyebutkan hampir 50% pelajar
mendukung cara-cara kekerasan dalam mengatasi krisis moralitas dan/atau konflik
keagamaan di tengah-tengah mereka, 25 persen siswa menyatakan Pancasila tidak
lagi relevan, dan sebagai penggantinya menyetujui penerapan syariat Islam di
Indonesia. Lebih dari 63% pelajar yang mengisi survey juga bersedia melibatkan
diri dalam tindakan-tindakan anarkhis, seperti menyegel rumah ibadah pemeluk
agama yang berbeda dengannya. Bahkan,
belasan pelajar berdasarkan hasil survey, menyetujui aksi bom bunuh diri.
Survey ini dilakukan sejak Oktober 2010 hingga Januari 2011.(BBC News Indonesia, 2011)
Di jenjang pendidikan anak usia
dini, tidak kalah problematisnya. Masih belum luput dari ingatan kita tentang,
pawai karnaval Taman Kanak-Kanak dari berbagai lembaga pendidikan anak usia
dini dan TK di Probolinggo Jawa Timur dalam memperingati Hari Ulang Tahun (HUT)
RI ke-73, yang menjadi heboh oleh karena ada di antara peserta karnaval yang
seluruh peserta didiknya mengenakan jubah dan cadar sembari memegang senapan
mainan; mirip dengan aksi yang dipertontonkan teroris. Meskipun pihak lembaga
pendidikan menyangkalnya, dan memberi klarifikasi bahwa aksi tersebut sebatas
hiburan, namun kekhawatiran banyak pihak tentang menyusupnya radikalisme ke
lembaga-lembaga pendidikan, termasuk ke pendidikan anak usia dini semakin
santer dibicarakan. (BBC News Indonesia, 2018)
Sejumlah hasil riset menyebutkan
bagaimana ancaman radikalisme pada dunia pendidikan ini dapat terselip pada
suatu proses pendidikan. Apalagi ketika di lembaga-lembaga pendidikan, tidak
ada kesadaran dari guru-gurunya untuk membangun kesadaran moderasi beragama di
kalangan pelajarnya, dan tambahan lagi justru menjadi tersangka penyebar dari
paham ini, maka jadilah para pelajar terpapar paham yang berbahaya tersebut.
Ini sekaligus menunjukkan pentingnya guru-guru di semua jenjang pendidikan,
memiliki kesadaran tentang moderasi beragama dan ikut serta dalam upaya
membangun kesadaran moderasi beragama pada seluruh pelajar yang dididiknya. (Arifin & Rizal, 2017; Yani & Jazariyah, 2021; Yuliana,
Lusiana, Ramadhanyaty, Rahmawati, & Anwar, 2022)
Apa Hubungannya dengan PTKI?
Jika ini ditelusuri, bukannya
tidak mungkin, akar dari masalahnya adalah pada perguruan tinggi yang
memproduksi guru-guru di lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Jika yang
dimaksud adalah guru agama, bisa jadi perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) baik
langsung atau tidak langsung turut memproduksinya. (Wildan dkk., 2019) Hal ini mungkin saja, jika indikator
sikap dari moderasi beragama, tidak menjadi bagian prioritas dalam upaya
membangun karakter di perguruan tinggi tersebut. Adapun indikator tersebut yaitu,
komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan akomodatif pada kebudayaan
lokal. (Tim Penyusun Kementerian Agama RI, 2019)
Dengan demikian, penting
membangun struktur dan sistem sosial yang support terhadap pengkondisian
lembaga pendidikan ke arah penguatan tersebut. Struktur sosial jelas sangat
berpengaruh di sini. Neil J. Smelser,
mengatakan bahwa struktur sosial ini merupakan motif dan keinginan yang berada
di luar individu. Namun demikian, sulit menampik, bagaimana struktur sosial ini
sangat kuat memberi pengaruh, oleh karena menentukan pola perilaku individu dan
kelompok yang membentuk sistem sosial. (Smelser, 1988) Sebagaimana diungkap oleh Soerjono Soekamto,
sistem sosial sebagai pola-pola dari individu yang berhubungan dan
berinteraksi. (Soekamto, 1993)
Dengan demikian, sistem sosial
bisa berbeda polanya, bergantung dari struktur sosial yang membentuknya. Namun
kala itu berhasil terbentuk polanya, maka pola yang ada cenderung bersifat
sistemik, memiliki kecenderungan dan/atau memiliki sifat “homeostatis” dan
bersifat fungsional terhadap maksud dan tujuan yang ingin dicapai secara
kolektif. (Abercrombie, Hill, & Turner, 2010)
Manakala struktur dan sistem
sosial support terhadap penguatan moderasi beragama massif dilakukan,
maka lembaga pendidikan dan komponen-komponen yang ada di dalamnya, yang
menjadi bagian dari struktur dan sistem sosial tersebut tentu diseret ikut ke
dalam pola-pola yang ingin dicapainya. Kalaupun ada individu-individu dan
kelompok yang tidak bersepaham dengan ini, sulit baginya, keluar dari jeratan
struktur dan sistem sosial. Mereka mau tidak mau mesti beradaptasi agar bisa
diterima di dalam struktur dan sistem sosial yang ada. (Kusmanto & Elizabeth, 2018) Sulit membayangkan jika
struktur dan sistem sosial justru sebaliknya tidak support terhadap hal
ini, sehingga sulit untuk mengoptimalkan penguatan moderasi beragama bisa dilakukan
secara massif di lembaga-lembaga pendidikan. Pastilah, yang menjamur adalah
yang sebaliknya yaitu: radikalisme.
Jadi, untuk optimalisasi
penguatan moderasi beragama, yang dalam hal ini adalah perguruan tinggi
keagamaan Islam, support dari struktur dan sistem sosial sangat
dibutuhkan. Dengan support ini, perguruan tinggi memiliki daya tahan
dalam mengoptimalisasikan kegiatan-kegiatan yang beririsan dengan kebutuhan
penguatan moderasi beragama, dan khususnya pada fakultas-fakultas atau
prodi-prodi di PTKI yang memproduksi guru-guru agama. Sebab di lembaga-lembaga
pendidikan ini yang memproduksi guru-guru agama Islam, harapannya akan lahir
guru-guru agama yang moderat, yang berkomitmen terhadap upaya-upaya
meminimalkan radikalisme beragama.***
DAFTAR PUSTAKA
Abercrombie, N., Hill, S., & Turner, B. S. (2010). Kamus
Sosiologi (D. Noviyani, Penerj.). Jakarta: Pustaka Pelajar.
Arifin, Z.,
& Rizal, S. (2017). Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah. Al-Qodiri:
Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Keagamaan, 12(1), 79–91.
https://doi.org/10.14421/jpi.2012.12.159-181
BBC News
Indonesia. (2011, April 26). Survei: Hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal
[Berita]. Diambil 26 Oktober 2023, dari BBC News Indonesia website:
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2011/04/110426_surveiradikalisme
BBC News
Indonesia. (2018, Agustus). Pawai Murid TK bercadar dan bawa replica senjata,
‘isyarat ancaman radikalisme mulai mengakar [Berita]. Diambil 26 Oktober 2023,
dari BBC News Indonesia website:
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45248639
Faiqah, N.,
& Pransiska, T. (2018). Radikalisme Islam vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai. Al-Fikra, 17(1),
33–60.
Kementerian
Agama RI (Ed.). (2014). Radikalisme agama, tantangan kebangsaan (Cetakan
pertama). Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI.
Kusmanto,
T. Y., & Elizabeth, M. Z. (2018). Struktur dan Sistem Sosial pada Aras
Wacana dan Praksis. JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo, 2(1), 39–50.
https://doi.org/10.21580/jsw.2018.2.1.2252
Misrawi, Z.
(2013). Kesadaran Multikultural dan Deradikalisasi Islam: Pengalaman Bhineka
Tinggal Ika dan Qabul al-Akhar. Jurnal Pendidikan Islam, 2(1),
197–215.
Naharong,
A. M. (2013). Terorisme Atas Nama Agama. Refleksi: Jurnal Kajian Agama dan
Filsafat, 13(5), 593–622. https://doi.org/10.15408/ref.v13i5.915
Smelser, N.
J. (Ed.). (1988). Social Structure. Dalam Handbook of Sociology. Newbury
Park, Calif: Sage Publications.
Soekamto,
S. (1993). Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tim
Penyusun Kementerian Agama RI. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Wildan, M.,
Rozaki, A., Muttaqin, A., Salehudin, A., Qibtiyah, A., Hussein, F., … Sukiman.
(2019). Menanam Benih di Ladang Tandus. Yogyakarta: Cisform UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Yani, A.,
& Jazariyah. (2021). Penyelenggaraan PAUD Berbasis Karakter Kebhinekaan
sebagai Upaya Pencegahan Radikalisme Sejak Dini. Jurnal Obsesi: Jurnal
Pendidikan Anak Usia Dini, 5(1), 1–13.
https://doi.org/10.31004/obsesi.v5i1.503
Yuliana,
Lusiana, F., Ramadhanyaty, D., Rahmawati, A., & Anwar, R. N. (2022).
Penguatan Moderasi Beragama Pada Anak Usia Dini Sebagai Upaya Pencegahan
Radikalisme di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak
Usia Dini, 6(2), 2974–2984.
Zuhdi, M.
H. (2017). Radikalisme Agama dan Upaya Deradikalisme Pemahaman Keagamaan. Akademika,
22(1), 199–224.
No comments:
Post a Comment