Friday, October 27, 2023

Heterogenitas yang Rentan, Quo Vadis Kelembagaan Pendidikan Islam?

Oleh: Syamsul Kurniawan

KONSEKUENSI dari kehidupan sosial keagamaan masyarakat Indonesia yang heterogen berkonsekuensi terhadap kerentanannya terhadap konflik. Semacam “bara dalam sekam”. Meskipun, juga bisa dimafhumi, jika heterogenitas ini menjadi semacam modal untuk membangun dan menjadi wujud kekayaan tersendiri, manakala di tengah heterogenitas sosial keagamaan tersebut ada kesadaran untuk menyatu. Sebagaimana semboyan bangsa kita, Bhineka Tunggal Ika.(Abdul Aziz SR, 2019, hlm. 29)

Sulit memungkiri bagaimana di negara ini, Islam menjadi agama yang paling banyak dipeluk oleh penduduknya. Kesadaran umat Islam tentang kuantitasnya yang banyak ini mestinya diikuti kesadaran tentang tanggung jawabnya yang berat dalam merawat harmonisasi di tengah-tengah heterogenitas sosial keagamaan negara ini. Jika kita menyetujui bahwa karakter dari seluruh umat manusia dibentuk salah satunya oleh fungsi-fungsi pendidikan, maka bagi umat Islam di negara ini, fungsi-fungsi tersebut mestinya bisa diperhatikan.

Hanya saja, pendidikan Islam, baik secara kelembagaan maupun materi-materi yang diberikan, oleh para pemerhati dipandang seringkali menerima kritik, oleh karena berkembang ke arah yang dogmatis, ekslusif, dan kurang optimal dalam membangun sisi afektif dari siswa yang belajar, dalam artian lebih banyak membangun sisi kognitif dan psikomotorik saja. Kecenderungan semacam ini, terjadi di lembaga-lembaga pendidikan Islam, sebutlah seperti pesantren, madrasah, dan sekolah-sekolah bercirikan Islam.

Apa Indikatornya?

Indikatornya menurut M. Amin Abdullah, dilihat dari prosesnya yang lebih menekankan pada terbentuknya pandangan tentang “keselamatan individu dan kelompok sendiri” ketimbang keselamatan banyak orang, yang berarti ada pertimbangan untuk menjamin keselamatan individu atau kelompok “yang lain” di luar kelompoknya.(Abdullah, 2001, hlm. 14)

Sementara menurut Munir Mulkhan, indikator dari betapa dogmatis, ekslusif, dan kurang optimalnya pesantren, madrasah, dan sekolah-sekolah bercirikan Islam dalam membangun sisi afektif dari siswa yang belajar, terlihat pada: satu, terbatasnya ruang perbedaan pendapat antara guru dan peserta didik, dan atau antara peserta didik dengan sesama peserta didik, sehingga pembelajarannya bersifat indoktrinatif; dua, fokus pendidikannya hanya pada pencapaian kemampuan ritual dan keyakinan tauhid, dengan materi ajar pendidikan agama Islam yang sifatnya hitam-putih, dan/atau benar-salah. Dengan demikian sangat kaku. Hal ini disetujui oleh Muhammad Ali dan Ahmad Fuad Fanani dalam opini yang mereka tulis di Harian Kompas.(Ali, 2008; Fanani, 2002)

Kecuali itu, Abdurrahman Mas‘ud berbagi pandangan yang hampir identik, dengan menyebut sejumlah indikator, seperti: satu, guru yang lebih sering menasihati peserta didik dengan cara mengancam; dua, guru yang hanya mengejar standar nilai akademik sehingga kurang memperhatikan budi pekerti; dan tiga, kecerdasan intelektual peserta didik tidak diimbangi dengan kepekaan sosial dan ketajaman spritualitas beragama.(Ramadhan & Radinah, 2004, hlm. 87–88)

Pentingnya Reparadigma

Kecenderungan model pendidikan semacam ini, sebagaimana digambarkan di atas, jelas kurang relevan dalam konteks masyarakat kita yang heterogenitasnya sangat tinggi. Oleh sebab itu, diperlukan reparadigma kelembagaan pendidikan Islam yang dibangun berdasarkan multikulturalisme. Dengan kata lain, penting bagi pendidikan Islam, baik dari sisi kelembagaan maupun materi yang diberikan, serta prosesnya, sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan multikultural.

Telah dipaparkan di atas, penting di sini melakukan reparadigma. Menurut James A. Banks, pendidikan multikultural adalah konsep pendidikan yang memberi kesempatan yang sama pada seluruh peserta didik tanpa membeda-bedakan gender dan kelas sosial, etnik , ras, agama, dan karakeristik kultural mereka di dalam proses pendidikan/pembelajaran. Sementara menurut Fransisco Hidalgo, bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang dalam pembelajarannya bebas dari rasisme, seksisme, dan bentuk-bentuk dominasi sosial dan intoleransi.(Hidalgo, 1988)

Dengan adanya reparadigma ini, terbentuklah karakter dari peserta didik yang belajar di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersedia mengenal, hidup bersama, saling menghargai dan saling merayakan keberagamaan sosial dan keagamaan di tengah-tengah mereka. Demikianlah tujuannya. Berhasil atau tidaknya kelembagaan pendidikan Islam dalam mewujudkan pendidikan multikultural indikatornya di tengah-tengah masyarakat adalah lulusan-lulusannya yang memiliki komitmen terhadap kedamaian dan harmonisasi.***

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz SR. (2019). Transformasi Konflik dan Peran Pemerintah Daerah. Jurnal of Urban Sociology, 2(1), 28–41. http://dx.doi.org/10.30742/jus.v2i1.609

Abdullah, M. A. (2001). Pengajaran Kalam dan Teologi di Era Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama. Tashwirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, 11, 14.

Ali, M. (2008). Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Kompas.

Fanani, A. F. (2002, Juli 3). Pendidikan Pluralis-Multikultural dan Liberatif. Kompas.

Hidalgo, F. (1988). Multicultural Education landscape for Reform in the Twently-first Century. Pergamon.

Ramadhan, M., & Radinah, H. (Ed.). (2004). Format Baru Pola Pendidikan Keagamaan Pada Masyarakat Multikultural dalam Perspektif Sisdiknas. Dalam Antologi Studi Agama dan Pendidikan (hlm. 87–88). Aneka Ilmu.

 

 

 

No comments:

Mahasiswa dan Copy Paste Karya Tulis Ilmiah

  MENUMBUHKAN tradisi menulis  di kalangan mahasiswa bukanlah perkara gampang. Apalagi, belakangan muncul gaya hidup instant di kalangan mah...