Thursday, October 17, 2024

Mengintegrasikan HAM dalam Kurikulum PTKI

Oleh: Syamsul Kurniawan

PENDIDIKAN tinggi merupakan benteng penting dalam pembentukan manusia yang berwawasan luas, kritis, dan manusiawi. Dalam konteks Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), tugas ini semakin mendalam karena ada tanggung jawab moral yang melekat untuk menanamkan nilai-nilai agama sekaligus hak asasi manusia (HAM). Integrasi HAM ke dalam kurikulum PTKI bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan yang mendesak dalam upaya mencetak generasi mahasiswa Muslim yang memahami dan menghidupi nilai-nilai keadilan, persamaan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. 

Thomas Jefferson, seorang filsuf dan negarawan, menegaskan bahwa HAM bukanlah hak yang diberikan oleh negara, melainkan hak alami yang dianugerahkan oleh Tuhan. Dalam ranah pendidikan tinggi, terutama di PTKI, pandangan ini harus dipahami secara mendalam. Hak asasi bukanlah sekadar topik diskusi teoritis, melainkan fondasi etis yang menghidupi setiap interaksi sosial dan akademik. Dengan begitu, pendidikan di PTKI sepatutnya berperan sebagai katalis utama dalam membangun kesadaran mahasiswa akan HAM sebagai nilai yang inheren dalam setiap aspek kehidupan mereka (United State Information Agency, 1991, hlm. 8). 

HAM, sebagaimana dipahami dalam Universal Declaration of Human Rights, merupakan hak kodrati yang tidak dapat dipisahkan dari esensi kemanusiaan. Pendidikan yang gagal mengintegrasikan prinsip ini berisiko menghasilkan lulusan yang cerdas secara intelektual, tetapi tumpul secara moral. Di PTKI, kurikulum yang memuat nilai-nilai HAM tidak hanya berbicara tentang hukum atau hak legalistik, melainkan juga tentang bagaimana mahasiswa belajar menghargai hak orang lain dalam setiap interaksi sosial dan akademik mereka (United State Information Agency, 1991, hlm. 20). 

Sebagaimana diungkapkan oleh Mariam Budiardjo, HAM adalah hak yang dimiliki setiap manusia sejak lahir, tanpa memandang bangsa, agama, atau jenis kelamin. Mengintegrasikan HAM ke dalam pendidikan berarti membuka ruang bagi mahasiswa untuk memahami hak-hak mereka sendiri, sekaligus tanggung jawab mereka dalam menjaga hak orang lain. Dalam pendidikan yang berlandaskan HAM, mahasiswa tidak hanya didorong untuk menjadi individu yang mandiri, tetapi juga untuk menjadi anggota masyarakat yang peduli terhadap keadilan sosial dan kesejahteraan kolektif (Budiharjo, 1985, hlm. 120). 

Di Indonesia, pentingnya HAM dalam pendidikan tinggi telah diakui secara legal. UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa negara, hukum, dan pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi HAM setiap warga negara. Di PTKI, peran strategis pendidikan agama menjadi sangat penting dalam menanamkan kesadaran HAM kepada mahasiswa Muslim. Namun, dalam praktiknya, integrasi HAM ke dalam kurikulum masih sering terbatas pada wacana normatif, tanpa aplikasi nyata yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari. 

Pendidikan yang mengedepankan HAM harus berangkat dari cara PTKI mengoperasikan lembaganya. Relasi antara dosen dan mahasiswa, serta interaksi antarmahasiswa, harus dilandasi oleh prinsip saling menghormati dan menjaga martabat manusia. Nilai-nilai moral dan spiritual yang diajarkan di PTKI seharusnya menjadi fondasi kuat untuk memperdalam kesadaran akan pentingnya HAM. Di sinilah peran pendidikan agama bukan hanya sebatas transfer pengetahuan, melainkan juga sebagai medium transformasi karakter. 

Namun demikian, tantangan yang dihadapi dalam mengintegrasikan HAM di PTKI tidaklah sederhana. Salah satu tantangan utama adalah keberadaan budaya kekerasan, baik fisik maupun psikologis, yang kadang terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Kekerasan ini bisa datang dari sesama mahasiswa atau bahkan dari dosen, yang tentunya bertentangan dengan esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang aman bagi setiap individu untuk berkembang tanpa ancaman atau tekanan. 

UU Pendidikan Nasional melalui Pasal 4 ayat 1 menegaskan bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis, berkeadilan, dan nondiskriminatif. Ini menandakan pentingnya penghormatan terhadap HAM dalam seluruh aspek proses pendidikan. Setiap tindakan yang merendahkan martabat manusia—baik melalui kekerasan verbal maupun fisik—harus dieliminasi dari lingkungan pendidikan tinggi. Implementasi pendidikan HAM tidak bisa hanya berada pada tataran teori, tetapi harus tercermin dalam setiap tindakan dan kebijakan yang diambil oleh PTKI (Nurkhoiron, 2018). 

Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, PTKI memiliki keistimewaan tersendiri dalam mengintegrasikan HAM ke dalam kurikulum. Ajaran agama Islam yang menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kasih sayang terhadap sesama manusia menjadi landasan yang kokoh untuk membentuk generasi mahasiswa yang peka terhadap HAM. Hal ini memberikan peluang besar bagi PTKI untuk menjadi pelopor dalam menyebarkan kesadaran HAM di kalangan mahasiswa Muslim. 

Meski demikian, upaya ini seringkali terhalang oleh interpretasi agama yang kaku. Beberapa PTKI melihat HAM sebagai konsep yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai agama, padahal, jika dipahami secara mendalam, ajaran agama justru mendukung nilai-nilai HAM yang universal. Peran dosen sangat penting dalam mengajarkan pemahaman agama yang inklusif dan komprehensif kepada mahasiswa, sehingga mereka bisa menghargai HAM sebagai bagian integral dari ajaran agama mereka. 

Pendidikan HAM di PTKI seharusnya tidak hanya sebatas mengajarkan hak-hak individu, tetapi juga tanggung jawab kolektif untuk menjaga hak orang lain. Proses pendidikan harus mencerminkan penghargaan terhadap martabat manusia, baik dalam hubungan antara dosen dan mahasiswa maupun dalam interaksi antar sesama mahasiswa. Penghormatan ini akan membentuk karakter mahasiswa yang lebih peduli dan memiliki rasa tanggung jawab sosial yang tinggi (Nurkhoiron, 2018). 

Konsep pendidikan melalui HAM, sebagaimana dinyatakan dalam UN Declaration on Education and Training 2012, menekankan bahwa relasi dalam proses pembelajaran harus didasarkan pada penghormatan HAM. Ini berarti, integrasi HAM dalam kurikulum PTKI tidak cukup hanya pada materi pelajaran, tetapi juga harus diterapkan dalam cara berinteraksi dan berelasi di ruang kelas. Setiap individu, baik dosen maupun mahasiswa, harus diperlakukan dengan adil, setara, dan tanpa diskriminasi. 

Perguruan tinggi keagamaan Islam perlu melakukan refleksi terhadap budaya internal yang ada. Budaya kekerasan dan diskriminasi harus digantikan dengan budaya dialog yang menghargai martabat manusia. Tanpa perubahan budaya ini, upaya integrasi HAM dalam kurikulum hanya akan menjadi jargon yang tidak memiliki dampak nyata. Oleh karena itu, perubahan struktural dan kultural di PTKI menjadi prasyarat penting untuk keberhasilan integrasi HAM dalam pendidikan. 

Pelatihan bagi dosen terkait HAM juga sangat diperlukan. Dosen memegang peran sentral dalam menciptakan lingkungan belajar yang menghargai HAM. Pelatihan ini akan memberikan mereka wawasan tentang bagaimana prinsip-prinsip HAM dapat diterapkan dalam praktik pengajaran, serta bagaimana mereka bisa menjadi contoh yang baik bagi mahasiswa dalam menjunjung nilai-nilai HAM. Keterlibatan aktif dosen dalam menyebarkan nilai-nilai HAM di PTKI sangat penting untuk menciptakan lingkungan akademik yang inklusif dan demokratis. 

Pendidikan yang berbasis HAM juga harus melibatkan partisipasi aktif mahasiswa. Mereka tidak hanya dipandang sebagai objek pendidikan, tetapi juga sebagai subjek yang memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Dalam konteks PTKI, pendidikan HAM harus membuka ruang bagi mahasiswa untuk berdiskusi secara kritis tentang isu-isu HAM yang relevan dengan kehidupan mereka, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar. 

Penting bagi kurikulum PTKI untuk mengakomodasi metode pembelajaran yang interaktif, yang mendorong mahasiswa berpikir kritis dan reflektif. Mahasiswa perlu dilatih untuk memahami bahwa kebebasan mereka tidak berarti kebebasan untuk melanggar hak orang lain. Pendidikan HAM di PTKI harus mampu menanamkan kesadaran bahwa setiap hak harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial terhadap sesama. 

Dalam proses ini, dukungan pemerintah dan lembaga terkait sangat diperlukan. Pemerintah harus memastikan bahwa PTKI benar-benar mengimplementasikan prinsip-prinsip HAM dalam penyelenggaraan pendidikannya. Lembaga-lembaga HAM juga dapat berperan dalam memberikan pelatihan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung implementasi HAM di perguruan tinggi, sehingga kesadaran akan pentingnya HAM semakin tumbuh di kalangan mahasiswa Muslim. 

Integrasi HAM dalam kurikulum PTKI adalah langkah penting menuju terciptanya generasi Muslim yang manusiawi, adil, dan bertanggung jawab. Generasi yang tidak hanya memahami hak-hak mereka, tetapi juga berkomitmen untuk menjaga hak-hak orang lain. Dengan pendidikan yang berlandaskan HAM, PTKI akan mampu mencetak lulusan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki jiwa kemanusiaan yang kuat, serta mampu berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa.*** 

Bahan Bacaan

Budiharjo, M. (1985). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia.

Nurkhoiron, M. (2018, Mei). Membangun Paradigma HAM di Sekolah. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/opini/159231/membangun-paradigma-ham-di-sekolah

United State Information Agency. (1991). What is Democracy [Magazine]. United State Information Agency.

Wednesday, October 2, 2024

Literasi Kritis dan Pesan di Balik Batik

Oleh: Syamsul Kurniawan

Batik bukan hanya sekadar kain; ia adalah tanda yang menyimpan beragam makna dan simbol. Menggunakan perspektif semiotika Ferdinand de Saussure, kita dapat memahami batik sebagai sistem tanda yang terdiri dari penanda dan petanda. Setiap motif batik, seperti kawung atau parang, bukan hanya estetika, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan mendalam tentang hubungan antara manusia dan alam.

Dalam semiotika, tanda memiliki tiga komponen utama. Pertama, tanda itu sendiri sebagai objek visual. Kedua, penanda, yang mencakup elemen fisik seperti gambar atau tulisan. Ketiga, petanda, yang melibatkan makna mental atau konsep yang terkait. Batik berfungsi sebagai tanda yang menghubungkan masyarakat dengan budaya dan lingkungan mereka. Sebagai contoh, motif batik yang menggambarkan flora dan fauna menjadi simbol dari keindahan alam yang harus dijaga.

Roland Barthes memperluas teori ini dengan mengenalkan makna denotatif dan konotatif. Makna denotatif dari batik dapat dilihat dari estetika dan tradisi budaya, sedangkan makna konotatif melibatkan emosi, nilai-nilai, dan pandangan masyarakat. Dalam konteks Kalimantan, di mana deforestasi dan isu lingkungan menjadi tantangan serius, batik bisa berfungsi sebagai medium untuk menyuarakan kesadaran sosial dan lingkungan. 

Desain pembelajaran yang mempromosikan literasi kritis harus mampu menyentuh kedua makna ini. Dengan memanfaatkan batik dalam kurikulum, siswa dapat diajak untuk tidak hanya mengapresiasi keindahan kain, tetapi juga menggali makna di balik motif-motifnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Neil Postman yang menekankan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya mentransfer informasi, tetapi juga membantu siswa menemukan makna dalam dunia mereka.

Menggunakan pendekatan berbasis proyek atau "Project-Based Learning," siswa bisa terlibat dalam analisis motif batik dan menulis tentang bagaimana simbol-simbol tersebut mencerminkan isu-isu lingkungan yang mereka hadapi. Misalnya, ketika siswa menganalisis motif yang melambangkan keharmonisan antara manusia dan alam, mereka tidak hanya belajar tentang batik, tetapi juga tentang pentingnya menjaga lingkungan.

Pentingnya literasi kritis dalam konteks batik terletak pada kemampuannya untuk membantu siswa mengembangkan pemikiran kritis dan reflektif. Melalui penulisan dan analisis, siswa belajar untuk mempertanyakan dan memahami dunia di sekitar mereka. Dengan demikian, batik menjadi lebih dari sekadar produk budaya; ia menjadi alat untuk membentuk identitas dan kesadaran sosial yang lebih luas.

Selain itu, dalam proses pembelajaran, siswa harus didorong untuk menulis tentang pengalaman dan pandangan mereka terkait isu-isu lokal yang kompleks. Literasi kritis memberi mereka kemampuan untuk tidak hanya memahami simbol-simbol budaya, tetapi juga untuk menggunakan pengetahuan tersebut sebagai sarana untuk berkontribusi dalam diskusi sosial yang lebih besar. Batik, sebagai teks budaya, memberikan ruang bagi siswa untuk membangun narasi yang relevan dengan kehidupan mereka.

Mengapa penting untuk mengaitkan batik dengan literasi kritis? Karena batik memberikan peluang untuk menggali makna yang lebih dalam, memperkuat kesadaran siswa terhadap lingkungan, serta membekali mereka dengan keterampilan berpikir kritis yang diperlukan di masa depan. 

Dengan mengintegrasikan batik dalam kurikulum, kita tidak hanya merayakan warisan budaya, tetapi juga menciptakan siswa yang siap menghadapi tantangan sosial dan lingkungan. Ini adalah tantangan besar, tetapi juga kesempatan berharga untuk memperkaya pendidikan dan membentuk generasi yang peduli dan sadar akan dunia di sekitar mereka. Selamat hari batik.***

Tuesday, September 24, 2024

Masyarakat Arab Pra-Islam: Antara Struktur dan Agen

Oleh: Syamsul Kurniawan

Di ruang kerja saya di Program Studi yang tenang, dengan ditemani satu gelas air mineral yang mulai berembun, saya baru saja menyelesaikan beberapa bab dari buku “History of the Arabs” karya Philip K. Hitti. Hujan deras di luar jendela tampak tak kunjung reda, membasahi Kota Pontianak. Suara tetes hujan memberi suasana kontemplatif, tepat saat saya merenungkan perjalanan panjang masyarakat Arab pra-Islam. Masyarakat yang sarat dengan adat istiadat, fanatisme kesukuan, serta struktur sosial yang kokoh, sebelum akhirnya datang perubahan besar yang dibawa oleh ajaran Islam.

Sejarah Arab pra-Islam selalu memunculkan daya tarik tersendiri. Bukan hanya karena masa itu dianggap sebagai “jahiliyah,” tetapi juga karena di balik kekerasan antar suku dan ketidakadilan sosial, terdapat tatanan sosial yang unik. Dengan menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens, kita bisa melihat bagaimana hubungan antara struktur sosial dan tindakan individu (agen) membentuk dinamika masyarakat ini. Giddens menekankan bahwa struktur bukanlah sesuatu yang kaku dan tidak bisa diubah. Sebaliknya, struktur terbentuk dari interaksi berulang antara agen dan norma yang ada, yang memungkinkan adanya perubahan. 

***

Masyarakat Arab pra-Islam sangat terikat dengan struktur kesukuan. Setiap orang diidentifikasi berdasarkan kabilah mereka, dan loyalitas utama bukanlah kepada bangsa atau negara, melainkan kepada suku masing-masing. Dalam masyarakat ini, syekh, atau pemimpin suku, memiliki kekuasaan besar. Kekuasaan ini, sebagaimana dijelaskan dalam teori strukturasi Giddens, adalah bagian dari struktur yang mendefinisikan tatanan sosial. Struktur kesukuan tersebut tidak hanya menentukan status dan peran seseorang di masyarakat, tetapi juga cara mereka berinteraksi satu sama lain.

Namun, seperti yang dikatakan oleh Giddens, agen – dalam hal ini individu-individu dalam masyarakat Arab – juga memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan bahkan mengubah struktur tersebut. Misalnya, perang antar-suku, meskipun menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Arab, juga mencerminkan bagaimana para pemimpin suku dan pejuang dapat bertindak sebagai agen perubahan. Melalui tindakan mereka, mereka tidak hanya mempertahankan norma-norma sosial, tetapi juga membuka ruang untuk negosiasi dan pergeseran kekuasaan di antara kabilah-kabilah tersebut.

Sebelum Islam hadir, agama di Jazirah Arab terdiri dari campuran kepercayaan paganisme, Yahudi, dan Kristen. Penyembahan berhala merupakan bagian penting dari struktur keagamaan masyarakat Arab pra-Islam, yang sangat terikat dengan identitas suku. Setiap suku memiliki berhala yang mereka sembah, dan ritual-ritual yang mereka lakukan berakar pada kepercayaan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. 

Namun, tidak semua orang menerima struktur keagamaan ini begitu saja. Beberapa tokoh seperti Waraqah bin Naufal dan kelompok hanif mulai mempertanyakan relevansi penyembahan berhala dan mencari kebenaran spiritual yang lebih dalam. Mereka adalah contoh agen-agen yang berusaha menantang dan mereformasi struktur keagamaan yang sudah lama mengakar. Dalam perspektif Giddens, ini adalah contoh bagaimana agen bisa mengganggu struktur sosial dan memicu perubahan, meskipun awalnya perubahan tersebut mungkin kecil dan tidak langsung terasa. 

Islam kemudian hadir sebagai revolusi spiritual yang benar-benar mengubah struktur masyarakat. Dengan ajaran tauhid yang menekankan keesaan Tuhan dan persamaan derajat di antara manusia, Islam menawarkan alternatif yang radikal bagi masyarakat Arab pra-Islam yang berstruktur hierarkis berdasarkan kesukuan dan kekuasaan elit agama. Nabi Muhammad, sebagai agen perubahan, memanfaatkan ajaran ini untuk merekonstruksi tatanan sosial yang ada dan membangun struktur baru yang lebih egaliter. 

Selain agama, struktur ekonomi Arab pra-Islam juga memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan masyarakat. Kota Mekkah, sebagai pusat perdagangan utama, menjadi simbol dari jaringan ekonomi yang luas yang menghubungkan Jazirah Arab dengan peradaban besar seperti Bizantium dan Persia. Di sini, kita melihat bagaimana pedagang Arab menjadi agen-agen perubahan yang memperkenalkan ide-ide dan pengaruh budaya dari luar Jazirah. 

Sebagai pedagang, orang-orang Arab tidak hanya berurusan dengan barang dagangan, tetapi juga memperluas cakrawala mereka. Interaksi perdagangan ini membantu memperkenalkan masyarakat Arab pada gagasan dan nilai-nilai yang berbeda, yang lambat laun mempengaruhi struktur sosial mereka. Dalam konteks teori strukturasi, pedagang adalah agen-agen yang menggunakan kekuatan mereka untuk menavigasi dan bahkan mengubah batasan-batasan sosial yang ada. 

Mengapa penting bagi kita untuk mempelajari sejarah Arab pra-Islam? Mengapa penting memahami bagaimana struktur dan agen berinteraksi dalam membentuk masyarakat? Sehubungan dengan ini, sejarah adalah guru yang mengajarkan hikmah bagi kita. Dengan mempelajari sejarah, kita bisa memahami bagaimana tindakan-tindakan masa lalu membentuk dunia yang kita huni sekarang. Sejarah juga memberikan kita pelajaran tentang bagaimana perubahan sosial terjadi, baik secara alami maupun melalui tindakan individu-individu yang berani menantang struktur yang ada. 

***

Dalam konteks Arab pra-Islam, mempelajari sejarah ini memungkinkan kita untuk melihat bahwa masyarakat yang dianggap sebagai “jahiliyah” tidak semata-mata terjebak dalam kegelapan. Mereka memiliki struktur sosial yang kompleks, yang meskipun penuh dengan ketidakadilan, juga memiliki dinamika yang memungkinkan terjadinya perubahan. Dengan mempelajari sejarah ini, kita bisa memahami bagaimana Islam muncul bukan hanya sebagai agama baru, tetapi juga sebagai kekuatan sosial yang mengubah struktur masyarakat Arab secara mendasar. 

Selain itu, sejarah ini juga penting karena memberikan kita wawasan tentang bagaimana masyarakat modern dibentuk. Kita bisa belajar banyak dari cara masyarakat Arab pra-Islam beradaptasi terhadap perubahan, dari bagaimana mereka memanfaatkan perdagangan untuk memperluas jaringan mereka, hingga bagaimana mereka merespons ajaran agama baru. Semua ini adalah pelajaran penting bagi kita yang hidup di dunia modern yang terus berubah. 

Melihat kembali masyarakat Arab pra-Islam melalui lensa teori strukturasi Giddens, kita dapat memahami bahwa tidak ada masyarakat yang sepenuhnya statis atau terjebak dalam struktur yang tidak bisa diubah. Setiap masyarakat, termasuk Arab pra-Islam, selalu berada dalam proses perubahan. Struktur sosial yang ada, baik itu kesukuan, agama, atau ekonomi, dibentuk dan diubah oleh tindakan individu-individu di dalamnya.

Di luar jendela, hujan perlahan mulai mereda, dan saya kembali meneguk air mineral yang tinggal setengah. Pikiran saya dipenuhi dengan pemahaman baru tentang betapa dinamisnya sejarah Arab pra-Islam. Masyarakat ini, meskipun tampak terjebak dalam struktur yang kuat, pada akhirnya bisa berubah karena tindakan individu-individu yang berani. Dan seperti halnya masyarakat Arab pra-Islam, kita pun berada dalam proses perubahan yang terus menerus, di mana struktur dan agen saling mempengaruhi dan membentuk masa depan kita bersama.*** 

Mengintegrasikan HAM dalam Kurikulum PTKI

Oleh: Syamsul Kurniawan PENDIDIKAN tinggi merupakan benteng penting dalam pembentukan manusia yang berwawasan luas, kritis, dan manusiawi....