Wednesday, November 20, 2024

Tragedi Raja Midas: Peringatan bagi Pendidikan di Era Serba Digital

Oleh: Syamsul Kurniawan

Pagi ini, secangkir teh hangatku menjadi saksi bisu atas kegelisahan yang bergejolak dalam benak. Bagaimana tidak, di tengah derasnya arus transformasi teknologi, kita dihadapkan pada tantangan memilih "selera" pendidikan yang tepat - sebuah pilihan yang seolah sederhana, namun mengandung kompleksitas luar biasa.

Bagai tragedi Raja Midas, kemajuan teknologi yang kita nikmati hari ini menyimpan ancaman tersembunyi. Tatkala segala yang disentuh sang raja berubah menjadi emas, kita pun kini dihadapkan pada risiko kehilangan "rasa kemanusiaan" di balik kemudahan yang ditawarkan digitalisasi. Empati, kepedulian, dan ketulusan dapat terkikis, tergantikan oleh keangkuhan, keserakahan, serta individualisme yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan.

Selera dalam pendidikan, layaknya pilihan antara teh atau kopi, mencerminkan preferensi kita sebagai masyarakat. Apa yang kita anggap penting dalam kurikulum - dari penekanan pada keterampilan teknis hingga penanaman nilai-nilai moral - adalah cermin dari harapan, ketakutan, dan kepentingan yang beragam. Di era digital yang kian mendominasi, pertanyaan mendasarnya adalah, selera siapakah yang sebenarnya diutamakan dalam pendidikan kita saat ini?


Bagaikan kisah tragedi Raja Midas, kemajuan teknologi yang kita nikmati juga menyimpan ancaman tersembunyi. Jika tidak diimbangi dengan karakter yang kuat, teknologi dapat menjadi bencana yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Seperti raja Midas yang akhirnya menyesali kemampuannya, kemajuan teknologi juga dapat menjerumuskan kita ke dalam lubang kesengsaraan.

Pendidikan di era digital harus mampu menjembatani teknologi dengan kemanusiaan, bukan sekadar mencetak individu yang mahir dalam keterampilan digital. Kurikulum harus memuat kedalaman - ruang di mana peserta didik tidak hanya belajar menguasai teknologi, tetapi juga menemukan identitas dan tujuan hidup mereka. Hanya dengan begitu, mereka tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga bijaksana dalam menjalani hidup.

Seperti Raja Midas yang akhirnya memohon agar kemampuannya dihilangkan, kita pun harus mampu mengendalikan hasrat untuk terus-menerus bergantung pada teknologi. Hanya dengan begitu, teknologi dapat menjadi sahabat yang setia, bukan monster yang mengancam kemanusiaan kita. Membangun karakter yang kuat menjadi kunci agar kemajuan teknologi tidak justru menghancurkan peradaban.

Integritas moral, kebijaksanaan, empati, tanggung jawab, dan kemampuan untuk tetap berpijak pada nilai-nilai luhur kemanusiaan harus menjadi fondasi dalam memanfaatkan kemajuan teknologi. Selera pendidikan di era digital seharusnya tidak dibentuk hanya untuk memenuhi tuntutan zaman, tetapi juga untuk mengakar pada nilai-nilai yang lebih abadi.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, dihadapkan pada tantangan besar untuk menciptakan kurikulum yang seimbang antara penguasaan teknologi dan pembentukan karakter yang tangguh. Dengan latar belakang keagamaannya yang kuat, Mu'ti diharapkan mampu menghadirkan pendidikan yang tidak hanya mementingkan kecakapan teknis, tetapi juga memuat nilai-nilai moral yang relevan.

Jangan biarkan tragedi Raja Midas terulang di zaman kita. Marilah kita bersama-sama menjadi "penakluk" teknologi yang bijak dan bertanggung jawab. Hanya dengan begitu, kemajuan teknologi yang kita nikmati dapat menjadi berkah, bukan bencana bagi peradaban. Selera pendidikan yang kita pilih hari ini akan menentukan masa depan generasi mendatang - apakah mereka hanya akan menjadi roda penggerak dalam mesin teknologi, ataukah mampu menjadi pribadi yang kuat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dalam.

Harapan kita adalah, selera pendidikan kita dapat melahirkan generasi yang lebih dari sekadar mahir teknologi, tetapi juga manusia yang memiliki kompas moral yang kuat - seperti layaknya kisah Raja Midas yang akhirnya memohon agar kemampuannya dihilangkan. Dalam pilihan selera ini, tersimpan masa depan bangsa yang akan kita wariskan.***

Monday, November 18, 2024

Mendorong Batu Menuju Dunia Inklusif

Oleh: Syamsul Kurniawan

Siang itu, di sebuah kafe kecil dekat kampus, saya duduk merenungi genangan air yang memenuhi jalanan. Di depan saya, segelas Avocado Milo Lava dan sepiring kecil bakso goreng menjadi teman dalam perenungan. Langit cerah di atas memberikan harapan, namun di bawahnya, genangan air menjadi pengingat bahwa perjalanan menuju perubahan selalu penuh tantangan. Seperti genangan air itu, dunia pendidikan juga menghadapi rintangan dalam upayanya menciptakan ruang yang inklusif.

Pendidikan multikultural adalah batu besar yang harus terus kita dorong. Ia bukan sekadar ide, melainkan kebutuhan di tengah dunia yang saling terhubung, tetapi juga sering terpecah. Kita hidup di era Society 5.0, di mana teknologi seharusnya menjadi penghubung. Namun, tantangan keberagaman sering kali menghalangi langkah menuju harmoni.

Teringat kisah Sisyphus, tokoh mitologi Yunani yang dihukum untuk mendorong batu besar ke puncak bukit, hanya untuk melihatnya kembali jatuh. Perjuangannya tampak sia-sia, tetapi bagi Albert Camus, justru di situ letak maknanya. Pendidikan multikultural adalah batu kita. Meski tantangan terus muncul, setiap dorongan adalah bagian dari perjalanan menuju dunia inklusif.

Di dalam kelas, guru adalah tokoh utama dalam cerita ini. Mereka adalah para penjaga nyala api yang membawa siswa melintasi batas-batas budaya, nilai, dan keyakinan. Namun, tanpa alat yang tepat, perjuangan mereka seperti mendorong batu di jalan yang licin. Di sinilah pelatihan berbasis teknologi menjadi sangat penting.

Seorang guru yang memahami pedagogi multikultural dan mampu menggunakan teknologi adalah pemahat batu yang telaten. Mereka membentuk ruang belajar yang inklusif, di mana siswa belajar memahami bahwa keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman. Dengan setiap langkah kecil, mereka membawa kita lebih dekat ke puncak bukit.

Namun, batu ini berat. Resistensi budaya dan minimnya akses terhadap teknologi menjadi tantangan besar. Sebagian masyarakat menganggap pendidikan multikultural sebagai ancaman terhadap identitas lokal. Padahal, ia justru merangkul keberagaman, menjadikannya kekuatan yang memperkaya.

Teknologi menawarkan alat untuk menjembatani perbedaan, tetapi hanya jika digunakan dengan bijak. Dalam pendidikan multikultural, teknologi adalah jembatan, bukan pengganti nilai-nilai kemanusiaan. Seorang guru yang kreatif bisa memanfaatkan media sosial, aplikasi pembelajaran, atau “big data” untuk menciptakan pengalaman belajar yang inklusif.

Di sisi lain, kurikulum adalah peta dalam perjalanan ini. Kurikulum yang inklusif, yang mengintegrasikan nilai-nilai keberagaman, teknologi, dan spiritualitas, menjadi kompas moral bagi siswa. Namun, kurikulum ini harus hidup di dalam kelas, bukan hanya di atas kertas kebijakan.

Higher Order Thinking Skills (HOTS) adalah salah satu cara untuk menghidupkan kurikulum ini. Dengan HOTS, siswa diajak berpikir kritis, kreatif, dan analitis, melampaui sekadar memahami keberagaman. Mereka belajar mengevaluasi dan merangkul perbedaan sebagai bagian dari hidup mereka.

Namun, seperti dorongan Sisyphus, HOTS membutuhkan ketekunan. Pemikiran kritis adalah proses panjang yang membutuhkan konsistensi. Setiap pertanyaan yang diajukan siswa, setiap diskusi yang mereka lakukan, adalah langkah kecil menuju puncak bukit.

Genangan air di luar kafe itu mengingatkan saya bahwa tantangan adalah bagian dari perjalanan. Genangan itu pada waktunya akan surut, dan begitu pula dengan hambatan dalam pendidikan multikultural. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk terus melangkah, meski dengan kaki yang basah.

Dalam setiap ruang kelas, dalam setiap diskusi tentang budaya dan nilai, ada peluang untuk menanamkan kebiasaan berpikir inklusif. James Clear dalam Atomic Habits (2018) mengingatkan bahwa perubahan besar dimulai dari kebiasaan kecil. Dalam pendidikan, kebiasaan itu adalah mendorong siswa untuk bertanya, mendengarkan, dan memahami.

Setiap dorongan terhadap batu besar ini adalah langkah menuju dunia yang lebih inklusif. Meski jalannya terjal, setiap usaha mendekatkan kita pada masyarakat yang menghargai perbedaan. Teknologi, jika digunakan dengan bijak, bisa menjadi alat berat yang membantu meringankan beban.

Namun, batu ini tidak akan bergerak dengan sendirinya. Dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak: guru, siswa, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas. Dalam perjalanan ini, tidak ada peran yang terlalu kecil. Setiap individu adalah bagian dari upaya kolektif ini.

Pendidikan multikultural adalah perjalanan tanpa akhir. Ia bukan tentang mencapai kesempurnaan, tetapi tentang keberanian untuk terus mendorong, meski batu itu jatuh berulang kali. Dalam absurditas perjuangan ini, ada makna yang hanya bisa ditemukan jika kita memilih untuk melanjutkan.

Langkah kecil, seperti menyusun kurikulum yang inklusif atau melatih guru dengan keterampilan baru, adalah awal dari perubahan besar. Setiap dorongan membawa kita lebih dekat ke dunia yang kita bayangkan—dunia di mana keberagaman dirayakan, bukan dipertentangkan.

Ketika saya menyeruput sisa terakhir Avocado Milo Lava, saya memikirkan Sisyphus, bukan sebagai tokoh tragis, tetapi sebagai simbol harapan. Ia terus mendorong, bukan karena ia harus, tetapi karena ia memilih untuk percaya pada makna perjuangannya.

Pendidikan multikultural adalah batu besar yang harus terus kita dorong bersama. Meski berat, setiap langkah adalah bukti bahwa kita sedang bergerak menuju dunia inklusif yang lebih baik. Dan dalam proses ini, kita menemukan makna sejati dari perjuangan.***

Saturday, November 9, 2024

Kepahlawanan dalam Dunia Simulasi

Oleh: Syamsul Kurniawan

Hari Pahlawan, yang diperingati setiap 10 November, adalah momen ketika kita menghormati mereka yang dengan gagah berani memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Mereka, para pahlawan, adalah simbol keberanian yang nyata, yang dengan darah dan keringat mempertahankan kedaulatan tanah air. Namun, di era yang dikuasai teknologi dan informasi seperti sekarang, apakah makna kepahlawanan masih sesederhana dulu? Jika dahulu perjuangan bersifat fisik, bagaimana dengan tantangan di era Society 5.0 yang penuh dengan ilusi dan simulasi?

Di era Society 5.0, kita hidup di dunia simulasi, sebuah tatanan masyarakat yang digerakkan oleh teknologi yang semakin sulit dibedakan dari kenyataan. Jean Baudrillard (1994), seorang pemikir postmodernis, menggambarkan kondisi ini sebagai “hiperrealitas”—di mana kita, dalam banyak hal, hidup dalam simulasi yang begitu meyakinkan sehingga kita sulit lagi membedakan mana yang nyata dan mana yang ilusi. Dalam konteks pendidikan, simulasi ini hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari kurikulum yang berbasis teknologi, ruang kelas digital, hingga realitas virtual yang meniru pengalaman dunia nyata.

Kepahlawanan dalam dunia simulasi ini bukanlah sekadar keberanian untuk memimpin atau bertindak heroik di dunia nyata, tetapi kemampuan untuk menavigasi lapisan-lapisan simulasi yang tak kasat mata namun sangat memengaruhi kehidupan. Pahlawan masa kini tidak lagi bersenjatakan bambu runcing atau senapan, tetapi kritis dalam menghadapi arus informasi yang masif dan terampil dalam menggunakan teknologi sebagai alat, bukan tujuan. Di sinilah peran pendidikan menjadi vital untuk membentuk pahlawan-pahlawan baru yang tangguh dalam realitas digital.

Untuk mencetak pahlawan di era Society 5.0, pendidikan tidak bisa sekadar berfungsi sebagai penyedia informasi. Pendidikan harus menjadi kompas yang mengarahkan siswa untuk memahami batas antara simulasi dan realitas. Siswa tidak hanya dituntut untuk cakap dalam teknologi, tetapi juga memiliki kepekaan untuk mengidentifikasi mana informasi yang autentik dan mana yang hanyalah citra kosong. Menjadi pahlawan di era ini berarti berani mempertanyakan narasi yang terbentuk oleh algoritma, berpikir kritis, dan memiliki keberanian untuk mengeksplorasi kebenaran di balik simulasi.

Salah satu pilar penting dari kepahlawanan di dunia simulasi adalah kompetensi digital. Namun, kemampuan ini lebih dari sekadar memahami teknologi; ia juga mencakup pemahaman etis dan sikap bijak dalam menggunakannya. Teknologi seharusnya mempermudah kita untuk belajar dan bekerja, bukan menciptakan jarak antara manusia dengan realitasnya. Di sinilah peran pendidikan karakter—membimbing siswa untuk tidak terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh kecanggihan teknologi.

Ironisnya, banyak sistem pendidikan di era Society 5.0 yang justru terjebak dalam simulasi tanpa substansi. Kurikulum yang disusun tampak progresif dan inovatif, namun sering kali lebih berfokus pada penggunaan teknologi daripada nilai-nilai dasar pembelajaran. Teknologi yang semula dihadirkan untuk mempermudah malah menjadi pusat, dan pendidikan menjadi teralihkan pada citra digital, bukan esensi pengetahuan itu sendiri. Jika hal ini tidak disadari, kita hanya menciptakan “simulasi kepahlawanan,” di mana siswa terlihat terampil secara digital tetapi dangkal dalam pemahaman.

Dalam dunia simulasi, ruang kelas fisik pun mengalami transformasi menjadi ruang virtual. Ini menghadirkan tantangan baru: bagaimana kita memastikan ruang virtual tersebut tetap menjadi tempat yang kondusif bagi perkembangan karakter dan pengetahuan? Bukan hanya sekadar ilusi belajar yang terjadi di dalamnya, tetapi pembelajaran yang sejati. Pendidikan harus mempertimbangkan aspek ini, jika tidak, kita hanya menciptakan ilusi dari pengalaman belajar yang seolah nyata namun kosong dari nilai.

Kepahlawanan di dunia simulasi juga harus melibatkan dukungan struktural, termasuk pemberian beasiswa bagi siswa yang memiliki minat dan bakat. Beasiswa ini bukan sekadar bantuan finansial, tetapi juga cara untuk mengakui potensi sejati siswa di tengah gempuran tuntutan teknologi. Ini adalah bentuk nyata dari kepahlawanan, di mana kita tidak hanya mengikuti arus teknologi tetapi menggunakannya sebagai alat untuk menumbuhkan bakat-bakat yang terpendam.

Begitu pula, guru dan tenaga pendidik harus dilibatkan sebagai bagian integral dalam mencetak pahlawan di era Society 5.0. Mereka harus memiliki akses pada pelatihan, sertifikasi, serta kesejahteraan yang layak agar dapat beradaptasi dengan perubahan teknologi tanpa kehilangan kendali atas esensi pendidikan. Guru adalah aktor utama dalam membimbing siswa agar tidak terjebak dalam simulasi pendidikan, tetapi mampu memanfaatkannya sebagai medium untuk menggali pengetahuan dan pemahaman.

Sayangnya, banyak guru yang diharuskan menguasai teknologi tanpa diberikan dukungan yang memadai. Mereka hanya diberi alat dan kurikulum tanpa penjelasan mendalam tentang bagaimana teknologi ini bisa memperkaya pembelajaran. Tanpa bimbingan yang tepat, mereka rentan terjebak dalam simulasi digital yang hanya mengutamakan tampilan luar dan bukan makna dari proses belajar itu sendiri. Ini adalah tantangan besar, dan solusi atasnya adalah bentuk kepahlawanan modern yang mesti kita perjuangkan.

Menjadi pahlawan dalam dunia simulasi juga berarti harus mampu memahami konteks sosial-budaya yang ada di sekitar kita. Dunia virtual sering kali menghadirkan nilai-nilai yang homogen, sementara Indonesia kaya akan keberagaman budaya. Pendidikan yang ideal harus mengajarkan siswa untuk bangga pada akar budaya mereka, tidak hanya mengikuti tren global yang sering kali homogen. Jika tidak, kita hanya menciptakan generasi yang terasing di dunia sendiri, generasi yang lebih dekat dengan simulasi daripada dengan jati diri mereka.

Pendidikan karakter menjadi komponen penting dalam menciptakan pahlawan di era Society 5.0. Meskipun teknologi menawarkan kemudahan, nilai-nilai seperti kejujuran, kerja keras, dan rasa hormat tidak bisa dipelajari dari algoritma atau aplikasi. Ini adalah nilai-nilai yang harus ditanamkan secara langsung melalui contoh nyata, bukan simulasi. Kita membutuhkan pahlawan yang memiliki integritas di era digital, mereka yang mampu membedakan mana yang benar dan salah di tengah arus informasi yang begitu besar.

Di era Society 5.0 ini, kita juga perlu meninjau ulang definisi evaluasi dalam pendidikan. Evaluasi tidak hanya harus fokus pada hasil akhir, tetapi juga pada proses belajar yang dijalani siswa. Dalam dunia simulasi, ada kecenderungan untuk lebih fokus pada hasil yang terlihat baik di permukaan, sementara proses pembelajaran yang sejati terabaikan. Kepahlawanan dalam pendidikan berarti berani menilai siswa tidak hanya dari hasil akhir tetapi dari usaha dan dedikasi yang mereka berikan selama proses belajar.

Kepahlawanan di dunia simulasi juga melibatkan keberanian untuk merombak manajemen pendidikan, memastikan bahwa setiap unit pendidikan, mulai dari kelas, asrama, hingga perangkat pembelajaran, mendukung pengalaman belajar yang otentik. Sebuah ruang belajar yang nyaman, baik fisik maupun virtual, adalah bentuk kepahlawanan nyata dalam mendukung siswa dan guru menjalani proses pendidikan yang bermakna. Namun, jika hanya terbatas pada tampilan luar, semua ini hanya menjadi simulasi tanpa substansi.

Menciptakan pahlawan di dunia simulasi juga berarti mempersiapkan siswa untuk menjadi kreator, bukan hanya konsumen teknologi. Mereka harus didorong untuk menciptakan, menemukan solusi baru, dan mengembangkan ide-ide orisinal yang bermanfaat. Pendidikan yang ideal akan membekali mereka dengan keterampilan untuk menguasai teknologi tanpa kehilangan kreativitas dan kemandirian. Pahlawan di era ini adalah mereka yang mampu memanfaatkan teknologi untuk tujuan kemanusiaan, bukan sekadar mengikutinya secara pasif.

Di tengah tantangan Society 5.0, Hari Pahlawan adalah momentum untuk merefleksikan kembali apa arti kepahlawanan di era digital ini. Kepahlawanan bukanlah peran yang eksklusif bagi mereka yang berdiri di garis depan pertempuran fisik, tetapi bisa hadir dalam kehidupan sehari-hari, dalam cara kita menggunakan teknologi dan beradaptasi dengan perubahan. Pahlawan di era ini adalah mereka yang berani mempertanyakan, menggali lebih dalam, dan menembus batas simulasi untuk mencapai kebenaran dan kemajuan yang otentik.***

Tragedi Raja Midas: Peringatan bagi Pendidikan di Era Serba Digital

Oleh: Syamsul Kurniawan Pagi ini, secangkir teh hangatku menjadi saksi bisu atas kegelisahan yang bergejolak dalam benak. Bagaimana tidak,...