Oleh: Syamsul
Kurniawan
Hari Pahlawan,
yang diperingati setiap 10 November, adalah momen ketika kita menghormati
mereka yang dengan gagah berani memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Mereka, para
pahlawan, adalah simbol keberanian yang nyata, yang dengan darah dan keringat
mempertahankan kedaulatan tanah air. Namun, di era yang dikuasai teknologi dan
informasi seperti sekarang, apakah makna kepahlawanan masih sesederhana dulu?
Jika dahulu perjuangan bersifat fisik, bagaimana dengan tantangan di era
Society 5.0 yang penuh dengan ilusi dan simulasi?
Di era Society
5.0, kita hidup di dunia simulasi, sebuah tatanan masyarakat yang digerakkan
oleh teknologi yang semakin sulit dibedakan dari kenyataan. Jean Baudrillard
(1994), seorang pemikir postmodernis, menggambarkan kondisi ini sebagai
“hiperrealitas”—di mana kita, dalam banyak hal, hidup dalam simulasi yang
begitu meyakinkan sehingga kita sulit lagi membedakan mana yang nyata dan mana
yang ilusi. Dalam konteks pendidikan, simulasi ini hadir dalam berbagai bentuk,
mulai dari kurikulum yang berbasis teknologi, ruang kelas digital, hingga
realitas virtual yang meniru pengalaman dunia nyata.
Kepahlawanan
dalam dunia simulasi ini bukanlah sekadar keberanian untuk memimpin atau
bertindak heroik di dunia nyata, tetapi kemampuan untuk menavigasi
lapisan-lapisan simulasi yang tak kasat mata namun sangat memengaruhi
kehidupan. Pahlawan masa kini tidak lagi bersenjatakan bambu runcing atau
senapan, tetapi kritis dalam menghadapi arus informasi yang masif dan terampil
dalam menggunakan teknologi sebagai alat, bukan tujuan. Di sinilah peran
pendidikan menjadi vital untuk membentuk pahlawan-pahlawan baru yang tangguh
dalam realitas digital.
Untuk mencetak
pahlawan di era Society 5.0, pendidikan tidak bisa sekadar berfungsi sebagai
penyedia informasi. Pendidikan harus menjadi kompas yang mengarahkan siswa
untuk memahami batas antara simulasi dan realitas. Siswa tidak hanya dituntut
untuk cakap dalam teknologi, tetapi juga memiliki kepekaan untuk
mengidentifikasi mana informasi yang autentik dan mana yang hanyalah citra
kosong. Menjadi pahlawan di era ini berarti berani mempertanyakan narasi yang
terbentuk oleh algoritma, berpikir kritis, dan memiliki keberanian untuk
mengeksplorasi kebenaran di balik simulasi.
Salah satu
pilar penting dari kepahlawanan di dunia simulasi adalah kompetensi digital.
Namun, kemampuan ini lebih dari sekadar memahami teknologi; ia juga mencakup
pemahaman etis dan sikap bijak dalam menggunakannya. Teknologi seharusnya
mempermudah kita untuk belajar dan bekerja, bukan menciptakan jarak antara
manusia dengan realitasnya. Di sinilah peran pendidikan karakter—membimbing
siswa untuk tidak terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh kecanggihan
teknologi.
Ironisnya,
banyak sistem pendidikan di era Society 5.0 yang justru terjebak dalam simulasi
tanpa substansi. Kurikulum yang disusun tampak progresif dan inovatif, namun
sering kali lebih berfokus pada penggunaan teknologi daripada nilai-nilai dasar
pembelajaran. Teknologi yang semula dihadirkan untuk mempermudah malah menjadi
pusat, dan pendidikan menjadi teralihkan pada citra digital, bukan esensi
pengetahuan itu sendiri. Jika hal ini tidak disadari, kita hanya menciptakan
“simulasi kepahlawanan,” di mana siswa terlihat terampil secara digital tetapi
dangkal dalam pemahaman.
Dalam dunia
simulasi, ruang kelas fisik pun mengalami transformasi menjadi ruang virtual.
Ini menghadirkan tantangan baru: bagaimana kita memastikan ruang virtual
tersebut tetap menjadi tempat yang kondusif bagi perkembangan karakter dan
pengetahuan? Bukan hanya sekadar ilusi belajar yang terjadi di dalamnya, tetapi
pembelajaran yang sejati. Pendidikan harus mempertimbangkan aspek ini, jika
tidak, kita hanya menciptakan ilusi dari pengalaman belajar yang seolah nyata
namun kosong dari nilai.
Kepahlawanan
di dunia simulasi juga harus melibatkan dukungan struktural, termasuk pemberian
beasiswa bagi siswa yang memiliki minat dan bakat. Beasiswa ini bukan sekadar
bantuan finansial, tetapi juga cara untuk mengakui potensi sejati siswa di
tengah gempuran tuntutan teknologi. Ini adalah bentuk nyata dari kepahlawanan,
di mana kita tidak hanya mengikuti arus teknologi tetapi menggunakannya sebagai
alat untuk menumbuhkan bakat-bakat yang terpendam.
Begitu pula,
guru dan tenaga pendidik harus dilibatkan sebagai bagian integral dalam
mencetak pahlawan di era Society 5.0. Mereka harus memiliki akses pada
pelatihan, sertifikasi, serta kesejahteraan yang layak agar dapat beradaptasi
dengan perubahan teknologi tanpa kehilangan kendali atas esensi pendidikan.
Guru adalah aktor utama dalam membimbing siswa agar tidak terjebak dalam
simulasi pendidikan, tetapi mampu memanfaatkannya sebagai medium untuk menggali
pengetahuan dan pemahaman.
Sayangnya,
banyak guru yang diharuskan menguasai teknologi tanpa diberikan dukungan yang
memadai. Mereka hanya diberi alat dan kurikulum tanpa penjelasan mendalam
tentang bagaimana teknologi ini bisa memperkaya pembelajaran. Tanpa bimbingan
yang tepat, mereka rentan terjebak dalam simulasi digital yang hanya
mengutamakan tampilan luar dan bukan makna dari proses belajar itu sendiri. Ini
adalah tantangan besar, dan solusi atasnya adalah bentuk kepahlawanan modern
yang mesti kita perjuangkan.
Menjadi
pahlawan dalam dunia simulasi juga berarti harus mampu memahami konteks
sosial-budaya yang ada di sekitar kita. Dunia virtual sering kali menghadirkan
nilai-nilai yang homogen, sementara Indonesia kaya akan keberagaman budaya.
Pendidikan yang ideal harus mengajarkan siswa untuk bangga pada akar budaya
mereka, tidak hanya mengikuti tren global yang sering kali homogen. Jika tidak,
kita hanya menciptakan generasi yang terasing di dunia sendiri, generasi yang
lebih dekat dengan simulasi daripada dengan jati diri mereka.
Pendidikan
karakter menjadi komponen penting dalam menciptakan pahlawan di era Society
5.0. Meskipun teknologi menawarkan kemudahan, nilai-nilai seperti kejujuran,
kerja keras, dan rasa hormat tidak bisa dipelajari dari algoritma atau
aplikasi. Ini adalah nilai-nilai yang harus ditanamkan secara langsung melalui
contoh nyata, bukan simulasi. Kita membutuhkan pahlawan yang memiliki
integritas di era digital, mereka yang mampu membedakan mana yang benar dan
salah di tengah arus informasi yang begitu besar.
Di era Society
5.0 ini, kita juga perlu meninjau ulang definisi evaluasi dalam pendidikan.
Evaluasi tidak hanya harus fokus pada hasil akhir, tetapi juga pada proses
belajar yang dijalani siswa. Dalam dunia simulasi, ada kecenderungan untuk
lebih fokus pada hasil yang terlihat baik di permukaan, sementara proses
pembelajaran yang sejati terabaikan. Kepahlawanan dalam pendidikan berarti
berani menilai siswa tidak hanya dari hasil akhir tetapi dari usaha dan
dedikasi yang mereka berikan selama proses belajar.
Kepahlawanan
di dunia simulasi juga melibatkan keberanian untuk merombak manajemen
pendidikan, memastikan bahwa setiap unit pendidikan, mulai dari kelas, asrama,
hingga perangkat pembelajaran, mendukung pengalaman belajar yang otentik.
Sebuah ruang belajar yang nyaman, baik fisik maupun virtual, adalah bentuk
kepahlawanan nyata dalam mendukung siswa dan guru menjalani proses pendidikan
yang bermakna. Namun, jika hanya terbatas pada tampilan luar, semua ini hanya
menjadi simulasi tanpa substansi.
Menciptakan
pahlawan di dunia simulasi juga berarti mempersiapkan siswa untuk menjadi
kreator, bukan hanya konsumen teknologi. Mereka harus didorong untuk
menciptakan, menemukan solusi baru, dan mengembangkan ide-ide orisinal yang
bermanfaat. Pendidikan yang ideal akan membekali mereka dengan keterampilan
untuk menguasai teknologi tanpa kehilangan kreativitas dan kemandirian.
Pahlawan di era ini adalah mereka yang mampu memanfaatkan teknologi untuk
tujuan kemanusiaan, bukan sekadar mengikutinya secara pasif.
Di tengah
tantangan Society 5.0, Hari Pahlawan adalah momentum untuk merefleksikan
kembali apa arti kepahlawanan di era digital ini. Kepahlawanan bukanlah peran
yang eksklusif bagi mereka yang berdiri di garis depan pertempuran fisik,
tetapi bisa hadir dalam kehidupan sehari-hari, dalam cara kita menggunakan
teknologi dan beradaptasi dengan perubahan. Pahlawan di era ini adalah mereka
yang berani mempertanyakan, menggali lebih dalam, dan menembus batas simulasi
untuk mencapai kebenaran dan kemajuan yang otentik.***